BAB I
PENDAHULUAN
Islam merupakan ajaran yang Syamil (universal), kamil (sempurna),
dan mutakamil (menyempurnakan) yang diberikan oleh Allah yang diangkat
sebagai Khalifah (pemimpin) di bumi ini yang berkewajiban untuk
memakmurkannya baik secara material maupun secara spiritual dengan landasan
aqidah dan syari’ah yang masing-masing akan melahirkan peradaban yang lurus dan
akhlaqul karimah (perilaku mulia).
Islam dalam menentukan
suatu larangan terhadap aktivitas duniawiyah tentunya memberi hikmah yang akan
memberikan kemaslahatan, ketenangan dan keselamatan hidup didunia maupun di
akhirat. Namun demikian, Islam tidak melarang begitu saja kecuali di sisi lain
ada alternatif konsepsional maupun operasional yang diberikannya. Misalnya saja
larangan terhadap riba, alternatif yang diberikan Islam dalam rangka
rrienghapus riba dalam praktek mu’amalah yang dilakukan manusia
melalui dua jalan. Jalan yang pertama, berbentuk shadaqah ataupun qardhul
hasan (pinjaman tanpa adanya kesepakatan kelebihan berupa apapun pada saat
pelunasan) Sedangkan jalan yang kedua
adalah melalui sistem perbankan Islam yang didalamnya menyangkut penghimpunan
dana melalui tabungan mudharabah, deposito dan giro wadiah yang
kemudian disalurkan melalui pinjaman dengan prinsip tiga hasil (seperti mudharabah,
musyarakah,murabahah), prinsip jual beli (bai’ bithaman ajil,
mudarabah dan sebagainya) serta prinsip sewa/fee (Ijarah). Dari
kedua jalan di atas, secara sistematik diatur dan dikelola melalui kelembagaan
yang dalam istilah Islam disebut Baitul Maal wat Tamwil, leasing dan modal
ventura.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Baitu al-Mal wa al-Tamwil (BMT)
A.
Pengertian dan
Peranan Baitul al-Mal wa al-Tamwil
Baitul al-mal wa al-tamwil adalah lembaga
keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan
bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat martabat serta membela
kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi Baitul
Tamwil (Bait = Rumah, At Tamwil = Pengembangan Harta). Jadi
BMT adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa
al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha proktif dan
investasi dalam meningkatkan kualitas kegitan ekonomi pengusaha bawah dan kecil
dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan
kegiatan.[1]
Baitul mal wa tamwil atau pendanaan balai usaha mandiri terpadu adalah lembaga
ekonomi atau keuangan mikro yang dioperasikan berdasarkan prinsip bagi hasil
dan disebut sebagai lembaga keuangan syariah non perbankan yang sifatnya informal.
Disebut informal karena lembaga ini dibentuk atau didirikan oleh kelompok
swadaya masyarakat (KSM) yang berbeda dengan lembaga keuangan perbankan dan
lembaga keuangan formal
lainnya. Sebagai lembaga keuangan ia bertugas menghimpun dana dari masyarakat
(anggota BMT) dan menyalurkan dana kepada masyarakat (anggota BMT). sebagai
lembaga ekonomi ia juga berhak melakukan kegiatan ekonomi, seperti perdagangan,
industri, dan pertanian.
Dengan begitu, BMT dikelola secara profesional sehingga mencapai tingkat
efiiensi ekonomi tertentu, demi mewujudkan kesejahteraan anggota, seiiring
penguatan kelembagaan BMT itu sendiri. Pada sudut pandang sosial, BMT (dalam
hal ini baitul mal) berorientasi pada peningkatan kehidupan anggota yang
tidak mungkin dijangkau dengan prinsip bisnis. Stimulan melalui dana ZIS akan
mengarahkan anggota untuk mengembangkan usahanya, untuk pada akhirnya mampu
mengembangkan dana bisnis.
Secara umum profil BMT dapat dirangkum dalam butir-butir berikut:[2]
a.
tujuan BMT, yaitu meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan
anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
b.
Sifat BMT, yaitu memiliki usaha bisnis yang bersifat mandiri,
ditumbuhkembangkan dengan swadaya dan dikelola secara professional serta
berorientasi untuk kesejahteraan anggota dan masyarakat lingkungannya.
c.
Visi BMT, yaitu menjadi lembaga keuangan yang mandiri, sehat dan kuat, yang
kualitas ibadah anggotanya meningkat sedemikian rupa sehingga mampu berperan
menjadi wakil pengabdi Allah memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan
pada umat manusia umumnya.
d.
Misi BMT, yaitu mewujudkan gerakan pembebasan anggota dan masyarakat dari
belenggu rentenir, jerit kemiskinan dan ekonomi ribawi, gerakan pemberdayaan
meningkatkan kapasitas dalam kegiatan ekonomi riil dan kelembagaannya menuju
tatanan kelembagaannya menuju perekonomian yang makmur dan maju dan gerakan
keadilan membangun stuktur masyarakat madani yang adil dan berkemakmuran
berkemajuan , serta makmur maju keadilan berlandaskan syariah dan ridha Allah
SWT.
e.
Fungsi BMT, yaitu:
1.
Mengindentifikasi, memobilisasi, mengorganisir, mendorong, dan
mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi anggota, kelompok usaha anggota
muamalat dan kerjanya.
2.
Latihan mempertinggi kualitas SDM anggota menjadi lebih professional dan
islami sehingga semakin utuh dan tangguh menghadapi tantangan global.
3.
Menggalang dan mengorganisir potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan anggota.
f.
Prinsip-prinsip utama BMT, yaitu:
1.
Keimanan dan ketaqwaan pada Allah SWT. Dengan mengimplementasikan
prinsip-prinsip syariah dan muamalah Islam kedalam kehidupan nyata.
2.
Keterpaduan dimana nilai-nilai spiritual berfungsi mengarahkan dan menggerakan
etika dan moral yang dinamis, proaktif, progessif, adil, dan berakhlak mulia.
3.
Kekeluargaan
4.
Kebersamaan
5.
Kemandirian
6.
Profesionalisme,
7.
Konsisten, kontinuitas/berkelanjutan tanpa henti dan putus asa.
g.
Cirri-ciri utama BMT, yaitu:
1.
Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi
paling banyak untuk anggota dan lingkungnnya.
2.
Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengefektifkan
penggunaan zakat, infak dan sedekah bagi kesejahteraan orang banyak.
3.
Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat sekitarnya.
4.
Milik bersama masyarakat kecil dan bawah dari lingkungan BMT itu sendiri,
bukan milik orang seorang atau orang dari luar masyarakat itu.
B.
Sejarah Berdirinya Baitu al-Mal dalam Islam.[3]
Semasa pemerintahan
Rasulullah Saw. dan sahabat-sahabatnya (Khulafaur Rasyidin), lembaga baitu al-mal (rumah dana), merupakan
lembaga bisnis dan sosial yang pertama dibangun oleh Nabi. Lembaga ini
berfungsi sebagai tempat penyimpanan dana.
Lembaga baitu al-mal yang didirikan oleh Rasul
di masa itu berfungsi sebagai lembaga penerima pendapatan (revenue collection) dan pembelanjaan (expenditure) yang dilakukan secara transparan. Hal ini merupakan
suatu ide baru, mengingat waktu itu pajak–pajak dan pungutan dari masyarakat
yang lain selalu dikumpulkan oleh pengusaha dan hanya diberikan untuk raja. Para penguasa di sekitar jazirah
Arabia seperti Romawi dan Persia waktu itu menarik upeti dari rakyat dan
diberikan untuk raja demi kepentingan
kerajaan. Sedangkan mekanisme baitu al-mal,
tidak saja untuk kepentingan umat Islam, tetapi juga untuk melindungi kepentingan
kafir dhimmi (warga negara non
muslim).
Dalam
menafsirkan baitu al-mal, para
sarjana dan ahli ekonomi Islam memiliki sedikit perbedaan. Sebagian
berpendapat, bahwa baitu al-mal itu
semacam bank sentral, seperti yang ada saat ini. Tentunya dengan berbagai
kesederhanaannya karena keterbatasan-keterbatasan yang ada waktu itu. Sebagian
lagi berpendapat, bahwa baitu al-mal itu
semacam menteri keuangan atau bendahara negara. Hal itu mengingat fungsinya
untuk menyeimbangkan antara pendapatan dan belanja negara. Meskipun demikian
kehadiran lembaga ini telah membawa pembaharuan yang besar. Dana-dana umat,
baik yang bersumber dari dana sosial seperti infak, sedekah, denda (dam), dan juga dana-dana yang wajib dikeluarkan umat Islam seperti
zakat dan jizyah dikumpulkan melalui
lembaga baitu al-mal serta disalurkan
untuk kepentingan ummat. Arahan-arahan dari Nabi Muhammad Saw. mengenai
pemungutan dan pendistribusian kekayaan negara memberikan bentuk kesucian
kepada baitul maal sehingga lembaga
ini diidentifikasi sebagai lembaga trust
(kepercayaan) umat Islam dengan khalifahnya sebagai trustee. Khalifah bertanggung jawab atas setiap sen uang yang
terkumpul dan pendistribusiannya. Akan tetapi dengan terjadinya regenerasi di
kalangan umat Islam, konsep baitu al-mal
menjadi kabur dikarenakan oleh adanya penyimpangan-penyimpangan oleh pejabat
negara. Akhirnya baitu al-mal
dipergunakan untuk kepentingan pribadi.
Menurut Mannan
dalam Ridwan (2004), baitu al-mal
dibagi menjadi tiga, yaitu pertama, Baitu al-Mal
Khas merupakan perbendaharaan kerajaan atau dana
rahasia. Dana ini khusus untuk pengeluaran pribadi raja dan keluarganya, dana
pengawal raja serta hadiah bagi tamu–tamu kerajaan. Kedua, Baitu al-Mal merupakan sejenis bank sentral untuk kerajaan. Namun
pola operasionalnya sebatas kepentingan kerajaan seperti mengatur keuangan
kerajaan. Sistem pengelolaan model baitu
al-mal ini sangat sentralistik, karena pengelola tertinggi berada di tangan
raja. Ketiga, Baitu al-Mal Al Islamin merupakan baitu al-mal yang berfungsi secara luas untuk kepentingan
masyarakat, baik muslim maupun non muslim. Fungsi–fungsinya mencakup untuk
kesejahteraan seluruh warga tanpa memandang jenis kelamin, ras, dan bahkan
agama. Baitu al-mal jenis ini
berlokasi di masjid-masjid utama kerajaan. Di pusat kerajaan dikelola oleh Qodhi sedangkan di Propinsi dikelola
oleh Rakan Qohdi. Tugas khalifah
adalah mengawasi jalannya masing–masing baitu
al-mal, agar supaya setiap penerimaan dapat dipisahkan sesuai dengan
sumbernya dengan penggunaan yang tepat.
Pada masa
Rasulullah terdapat lembaga pengontrol pemerintahan dalam urusan muamalat, baik
ekonomi, politik, maupun sosial. Lembaga ini bernama Wilayatul Hazbah. Rasulullah sering menegur bahkan melarang
langsung praktik bisnis yang merusak harga dan mendzalimi seperti riba,
monopoli dan penimbunan barang. Setelah Rasulullah wafat, tradisi yang telah
dibangun pada masa hidup Rasulullah diteruskan oleh para khalifah. Pada masa
kepemimpinan Abu Bakar, kebiasaan pengumpulan zakat terus dilaksanakan sebagai
bagian dari ajaran Islam dan menjadi sumber pendapatan keuangan negara.
Keberadaan lembaga baitu al-mal
semakin mapan pada masa khalifah Umar bin Khattab. Bagi warga negara yang
muslim, diwajibkan untuk membayar zakat, sedangkan warga non muslim yang damai
(dhimmi) diwajibkan membayar kharaj dan jizyah. Pada masa ini, khalifah mendirikan baitu al-mal untuk mengelola keuangan negara, pada masa ini pula,
mata uang dinar dan dirham mulai dibuat. Semua kebijakan khalifah Umar ini
ditindaklanjuti oleh khalifah Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Di masa
itu, baitu al-mal telah dikelola
dengan baik dan serius, sehingga berfungsi dengan baik dan mampu mengentaskan
kemiskinan ummat.[4]
Sejarah BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB
di Masjid Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syariah
bagi usaha kecil. Kemudian BMT lebih diberdayakan oleh ICMI (Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia) sebagai sebuah gerakan yang secara operasional
ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK).
BMT membuka
kerjasama dengan lembaga pemberi pinjaman dan peminjam bisnis skala kecil
dengan berpegang pada prinsip dasar tata ekonomi dalam agama Islam yakni saling
rela, percaya dan tanggung jawab, serta terutama sistem bagi hasilnya. BMT
terus berkembang.
BMT akan terus
berproses dan berupaya mencari trobosan baru untuk memajukan perekonomian masyarakat,
karena masalah muamalat memang berkembang dari waktu ke waktu. BMT begitu marak
belakangan ini seiring dengan upaya umat untuk kembali berekonomi sesuai
syariah dan berkontribusi menanggulangi krisis ekonomi yang melanda Indonesia
sejak tahun 1997.
Karena prinsip
penentuan suka rela yang tak memberatkan, kehadiran BMT menjadi angin segar
bagi para nasabahnya. Itu terlihat dari operasinya yang semula hanya terbatas
di lingkungannya, kemudian menyebar ke daerah lainnya. Dari semua ini, jumlah
BMT pada tahun 2003 ditaksir 3000-an tersebar di Indonesia, dan tidak menutup
kemungkinan pertumbuhan BMT pun akan semakin meningkat seiring bertambahnya
kepercayaan masyarakat.
Seperti halnya lembaga keuangan
syariah yang lainnya BMT dalam kegiatan
operasionalnya menggunakan 3 prinsip, yaitu:
1.
Prinsip bagi
hasil
a)
Mudharabah
b)
Musyarakah
c)
Muzara’ah
d)
Musaqah
2.
Jual beli
dengan margin (keuntungan);
a)
Murabahah
b)
Ba’i
As-Salam
c)
Ba’i
Al-Istisna
3.
Sistem
profit lainnya;
Kegiatan operasional
dalam menghimpun dana dari masyarakat dapat berbentuk giro wadi’ah, tabungan
mudharabah, Deposito investasi mudharabah, Tabungan haji, Tabungan Qurban.
Baitul Mal
Wa Tamwil suatu lembaga keuangan mikro syariah yang
digerakan awal tahun sembilan puluhan oleh para aktivis muslim yang resah
melihat keberpihakan ekonomi negara yang tidak berpihak kepada pelaku
ekonomi kecil dan menengah.[6]
D. Prosedur Pendirian BMT[7]
BMT dapat didirikan dan dikembangkan dengan suatu proses legalitas hukum
yang bertahap. Awalnya dapat dimulai sebagai kelompok swadaya masyarakat dengan
mendapatkan sertifikat operasi/kemitraan dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis
Usaha Kecil dan Menengah)dan jika telah mencapai nilai asset tertentu segera
menyiapkan diri kedalam badan hukum koperasi.
Penggunaan
badan hukum kelompok swadaya masyarakat dan koperasi untuk BMT disebabkan
karena BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan dalam
UU No. 10 tahun 1998. Tentang perbankan, yang dapat dioperasikan untuk
menghimpun dan menyalurkan dan menghimpun dana masyarakat adalah bank umum dan
bank pengkreditan rakyat, baik dioperasikan dengan cara konvesional maupun
dengan prinsip bagi hasil. Namun demikian, jika BMT dengan badan hukum KSM
(Kelompok Swadaya Masyarakat) atau kopersi telah berkembang dan telah memenuhi
syarat-syarat BPR, maka pihak manajemen dapat mengusulkan diri kepada
pemerintah agar BMT itu dijadikan sebagai Bank Perkreditan Rakyat Syariah
dengan badan hukum koperasi dan perseroan terbatas.
Sebelum masuk kepada
langkah-langkah pendirian BMT, ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan,
yaitu mengenai lokasi atau tempat usaha BMT. Sebaiknya berlokasi ditempat
kegiatan-kegiatan ekonomi para anggotanya berlangsung, baik anggota penyimpanan
dana maupun pengenmbangan uasaha atau pengguna dana. Selain itu, BMT dalam
operasionalnya bisa menggunakan masjid atau sekretariat pesantren sebagai basis
kegiatan.
Untuk mendirikan BMT terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui,
sebagaimana dapat dijelaskan sebagai berikut:[8]
1.
Perlu ada pemrakarsa,
motivator yang telah mengetahui BMT. Pemrakarsa mencoba meluaskan jaringan para sahabat dengan
menjelaskan tentang BMT dan peranannya dalam mengangkat harkat dan martabat
rakyat. Jika dukugan cukup ada, maka perlu berkonsultasi dengan tokoh-tokoh
masyarakat setempat yang berpengaruh, baik yang formal maupun informal.
2.
Di antara pemrakarsa membentuk Panitia Penyiapan Pendirian BMT
(P3B) di lokasi jamaah masjid, pesantren desa miskin, kelurahan, kecamatan dan
lainnya.
3.
P3B mencari modal awal atau modal perangsang sebesar Rp
10.000.000,- sampai dengan Rp 30.000.000,- agar BMT memulai operasi dengan
syarat modal itu. Modal awal ini dapat berasal dari perorangan, lembaga,
yayasan, BAZIS, Pemda, dan sumber lainnya.
4.
P3B bisa juga mencari modal-modal pendiri (Simpanan Pokok
Khusus/SPK semacam saham) dari sekitar 20-44 orang di kawasan tersebut untuk
mendapatkan dana urunan. Untuk kawasan perkotaan mencapai
jumlah Rp 20 sampai 35 juta. Sedangkan untuk kawasan pedesaan SPK antara
10-20 juta. Masing-masing para pendiri perlu membuat komitmen tentang peranan
masing-masing.
5.
Jika calon pemodal-pemodal pendiri telah ada, maka dipilih pengurus
yang berkualitas (3 atau 5 orang) yang akan mewakili pendiri dalam mengarahkan
kebijakan BMT. Pengurus mewakili para pemilik modal BMT.
6.
P3B atau pengurus jika telah ada mencari dan memilih calon
pengelola BMT.
7.
Mempersiapkan legalitas hukum untuk usaha sebagai
a.
KSM/LKM dengan mengirim surat ke PINBUK.
b.
Koperasi simpan pinjam (KSP) Syariah atau Koperasi Serba Usaha
(KSU) unit syariah dengan menghubungi kepala kantor, dinas, badan koperasi dan
pembinaan pengusaha kecil di ibu kota kabupaten dan kota.
8.
Melatih calon pengelola sebaiknya juga diikuti oleh satu orang
pengurus dengan menghubungi kantor PINBUK terdekat.
9.
Melaksanakan persiapan sarana kantor dan berkas administrasi yang
diperlukan.
10.
Melaksanakan bisnis operasi BMT.
Setelah BMT berdiri maka perlu diperhatikan bahwa struktur
organisasi BMT yang paling sederhana harus terdiri dari badan pendiri, badan
pengawas, anggota BMT, dan badan pengelola. Hubungan antara keempat struktur
ini dapat dilihat pada skema berikut:[9]
![]() |
Skema hubungan empat struktur organisasi BMT
Berdasarkan skema di atas maka dapat dijelaskan bahwa badan pendiri
adalah orang-orang yang mendirikan BMT dan mempunyai hak prerogative yang
seluas-luasnya dalam menentukan arah dan kebijaksanaan BMT. Dalam kapasitas
ini, badan pendiri adalah salah satu struktur dalam BMT yang berhak mengubah
anggaran dasar dan bahkan sampai membubarkan BMT.
Badan pengawas adalah badan yang berwenang dalam menetapkan
kebijakan operasional BMT. Yang termasuk dalam kebijakan operasional adalah
antara lain memilih badan pengelola, menelaah dan memeriksa pembukuaan BMT, dan
memberikan saran kepada badan pengelola berkenaan dengan operasional BMT. Pihak-pihak
yang bisa masuk menjadi bahan pengawas ini adalah anggota badan pendiri,
penyerta modal awal yang memiliki penyertaan tetap, dan anggota BMT yang
diangkat dan ditetapkan badan pendiri atas usulan badan pengawas.[10]
Anggota BMT adalah orang-orang yang secara resmi mendaftarkan diri
sebagai anggota BMT dan dinyatakan diterima oleh badan pengelola. Selain hak
untuk mendapatkan keuntungan atau menanggung kerugian yang diperoleh BMT,
anggota juga memiliki hak untuk memilih dan dipilih sebagai anggota badan
pengawas. Anggota BMT bisa terdiri dari para pendiri dan para anggota biasa
yang mendaftarkan diri setelah BMT berdiri dan beroperasi.
Badan pengelola adalah sebuah badan yang mengelola BMT serta
dipilih dari dan oleh anggota badan pengawas (badan pendiri dan perwakilan
anggota). Sebagai pengelola BMT, badan pengelola ini biasanya memiliki struktur
organisasi tersendiri. Struktur organisasi pengelola BMT secara umum dapat
disusun baik secara lengkap.[11]
E.
Struktur Organisasi dan Tahapan Pencapaian Tujuan BMT
A.
Tahapan Pencapaian
Tujuan Organisasi BMT.
Dimaksudkan untuk, menjaga tujuan organisasi, menjaga keseimbangan
antara tujuan-tujuan yang saling bertentangan, serta mencapai tingkat
efektifitas dan efisiensi.
1.
Tahapan Awal, manajemen harus merumuskan visi yang jelas dan
tegas. Visi dapat diubah setiap 5 tahunan.
2.
Tahap kedua, BMT harus mampu merumuskan misinya.
3.
Tahap ketiga, BMT harus mapu merumuskan tujuan organisasi.
4.
Tahap keempat, BMT harus mampu merumuskan program kerja. Program
kerja mencakup semua bidang kegiatan dan level manajemen
5.
Tahap terakhir, BMT harus menetapkan anggaran dan
target / budgeting, yang mencakup aspek keuangan :
a)
Rencana penerimaan bagi hasil dan margin.
b)
Rencana biaya dan laba rugi (SHU).
c)
Target perolehan tabungan dan
deposito.
d)
Target pembiayaan dan
bidang ekonominya serta target keuangan lainnya, yang dirumuskan dalam rencana
aliran kas masuk dan kas keluar (cash flow).
e)
Target pasar yang akan
dimasuki.
f)
Strategi dan teknik untuk
meraih pasar serta budgeting itu.
g)
Pembentukan gugus kendali /
orang yang bertanggungjawab terhadap pencapaian budget
![]() |
||||||||
|
![]() |
|||||||
![]() |
Dalam struktur organisasi standar dari PINBUK
tersebut, musyawarah anggota pemegang simpanan pokok melakukan koordinasi
dengan Dewan Syariah dan pembina manajemen dalam mengambil kebijakan yang akan
dilakukan oleh manajer. Manajer memimpin keberlangsungan mal dan tamwil. Tamwil
terdiri dari pemasaran, kasir, dan pembukuan. Sedangkan anggota dan nasabah
berhubungan koordinatif dengan mal,
pemasaran, kasir, dan pembukuan. Meskipun demikian dalam kenyataannya setiap Baitu al-Mal wa al-Tamwil memiliki
bentuk struktur organisasi yang berbeda–beda, hal ini dipengaruhi oleh ruang
lingkup atau wilayah operasi BMT, efektivitas dalam pengelolaan organisasi BMT,
orientasi program kerja yang akan direalisasikan dalam jangka pendek dan jangka
panjang, dan jumlah sumber daya manusia yang diperlukan dalam menjalankan
operasi BMT.
a. Badan pengurus/komisaris, memiliki tugas dan wewenang untuk mewakili
seluruh anggota dalam musyawarah anggota, mewakili dan memantau pelaksanaan
operasional BMT, menerima dan memberikan kebijakan dalam laporan kelembagaan
BMT, sebagai pengelola dalam operasional BMT, mengangkat dan memberhentikan
pengelola BMT sesuai Anggaran Dasar atau Anggaran Rapat Tahunan, membuat
kebijakan lain yang dianggap perlu untuk mendukung perkembangan BMT.
b. Manajer, bertugas untuk membuat laporan keuangan dan kelembagaan BMT,
membuat laporan keuangan dan pertanggungjawaban kelembagaan BMT kepada
musyawarah anggota, membuat dan melaksanakan serta mengawasi kebijakan
operasional BMT, memeriksa laporan dari pegawai sesuai dengan pekerjaan
masing–masing dan memberikan penghargaan yang dianggap perlu untuk perkembangan
BMT. Bertanggungjawab atas kegiatan operasional, membuat ketentuan operasional
dan kepegawaian, menerima pertanggungjawaban dari karyawan atas operasional, mewakili
BMT dalam hal hubungan ke luar maupun ke dalam, melakukan tindakan–tindakan
yang dianggap perlu dalam menyelamatkan keuangan BMT dengan koordinasi bersama
pengurus lainnya, sebagai koordinator dan membina tahapan kinerja karyawan
dalam pengelolaan BMT, melaksanakan rekrutmen dan pengawasan terhadap kinerja
karyawan, bertanggungjawab atas kebutuhan dan pemeliharaan kekayaan BMT.
c. Teller (kasir), bertanggungjawab untuk melaksanakan
tugas dalam menerima dan mengeluarkan dana, membuat laporan keuangan dan kondisi
kas BMT, menjaga keamanan kas selama didalam dan diluar jam kerja, membuat
laporan sirkulasi BMT, membantu melayani bagian jasa nasabah dalam hal
penerimaan tabungan, angsuran pembiayaan dan konsultasi dan produk–produk BMT,
dan melakukan koordinasi dengan seluruh bagian yang menyangkut keuangan yang
ada, melakukan tindakan atas segala kemungkinan penyelamatan keuangan, membantu
bagian jasa nasabah dalam menghitung bagi hasil tabungan.
d. Kepala Bagian Marketing dan Sektor Riil, bertugas untuk mengkoordinasikan
bagian–bagian yang menjadi tanggungjawabnya dalam melaksanakan kegiatan. Kepala
Bagian ini juga bertanggungjawab kepada manajer BMT, melakukan koordinasi
dengan seluruh bagian dalam kegiatan operasional BMT, membina usaha sektor riil
antara lain dengan cara melakukan segala kebijakan usaha sektor riil atas
petunjuk manajer, menciptakan dan menggali peluang usaha dalam membantu
perkembangan BMT, membuat laporan usaha secara tertib dan sistematis, melakukan
koordinasi atas segala pelaksanaan usaha sektor lain, dan bertanggungjawab atas
pelaksanaan usaha sektor riil dan usaha operasional.
e. Account Officer (Bagian Pembiayaan), bertugas untuk membuat
kebijaksanaan tentang syarat pembiayaan atas petunjuk manajer, menerima
permohonan dan melakukan analisa baik administrasi maupun kelayakan usaha
anggota, melakukan survey lokasi atas bantuan bagian jasa nasabah dan tokoh
setempat, memproses diterima atau tidaknya terhadap permohonan pembiayaan atas
petunjuk manajer, melakukan pencairan pembiayaan setelah mendapat persetujuan
manajer dan koordinasi dengan kasir, melakukan pembinaan terhadap debitur dan
melakukan tindakan yang dianggap perlu dalam penanggulangan pembiayaan
bermasalah, melakukan koordinasi dengan seluruh bagian dalam rangka operasional
BMT.[12]
Dalam menjaga keberlangsungan dan menjalankan
fungsi BMT sebagai lembaga keuangan, diperlukan suatu pengelolaan manajemen
yang baik. Diperlukan pula pengelolaan BMT yang dapat memadukan kegiatan sosial
dan kegiatan ekonomi. Agar kedua kegiatan tersebut dapat berjalan selaras dalam
usaha untuk memberdayakan potensi umat.
Sebagai lembaga yang umumnya didirikan oleh
suatu kelompok masyarakat dengan pendekatan bottom
up, rata-rata BMT didirikan dengan modal seadanya. Meskipun demikian
lembaga ini amat berguna dan betul-betul bermanfaat untuk membantu keuangan
masyarakat kalangan bawah dalam mengembangkan usaha mikro dan kecil. Sebelum
adanya BMT, kebutuhan dana untuk modal usaha pengusaha mikro kebanyakan
dipenuhi dari pinjaman rentenir. Hal ini dikarenakan kurangnya akses para
pengusaha mikro terhadap layanan perbankan konvensional, sehingga membuat
mereka harus mencari modal usaha dari lembaga keuangan non formal seperti
rentenir. Pinjaman dari rentenir ini meskipun mudah dan cepat, akan tetapi
bunga yang dipungut kepada peminjam ini sangat tinggi. Keadaan yang cukup
memprihatinkan ini menimbulkan semangat sebagian kalangan masyarakat di daerah
penelitian untuk mendirikan suatu lembaga keuangan berdasar prinsip syariah
yang dapat berlaku lebih adil bagi kedua belah pihak. Sebagai institusi
keuangan yang baru berdiri, belum diperoleh legalitas dari pemerintah sehingga keberadaannya
cukup riskan.
F.
Penghimpunan dan
Penyaluran Dana BMT
1.
Penghimpunan dana
Penghimpunan dana BMT
diperoleh melalui simpanan, yaitu dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada
BMT untuk disalurkan kesektor produktif dalam bentuk pembiayaan. Simpanan ini
dapat berbentuk tabungan wadi’ah, simpanan mudharabah jangka pendek dan jangka panjang.
2.
Penyaluran dana
Penyaluran dana BMT kepada nasabah terdiri atas dua jenis:
a)
Pembiayaan dengan sistem bagi hasil
b)
Jual beli dengan pembayaran ditangguhkan
Pembiayaan merupakan penyaluran dana BMT kepada pihak ketiga berdasarkan
kesepakatan pembiayaaan antara BMT dengan pihak lain dengan jangka waktu
tertentu dan nisbah bagi hasil yang disepakati.
Pembiayaan dibedakan menjadi pembiayaan musharabah dan musyarakah. Penyaluran
dana dalam bentuk jual beli dengan pembayaran ditangguhkan adalah penjualan
barang dari BMT kepada nasabah, dengan harga ditetapkan sebesar biaya perolehan
ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati untuk keuntungan BMT.
G.
Problematika BMT
Dengan segala kekurangan, kelebihan, keunggulan dari BMT, problematika
tetap saja ada, antara lain :
1.
Modal
Modal yang relatif kecil menjadi permasalahan yang setiap saat ada pada
BMT. Didukung dengan perputaran modal yang belum tentu kembali 100 % untuk BMT.
Diperlukan adanya suntikan dana yang cukup baik dari pemerintah atau
pihak-pihak yang tertarik untuk berinvestasi di BMT.
2.
Kredit Macet
Lambatnya angsuran yang diterima oleh BMT menjadi alasan yang klasik bagi
BMT. Persoalan ini sudah menjadi santapan tiap terjadi akad-akad pembiayaan
walaupun tidak semua peminjam selalu bermasalah.
3.
Likuiditas
Dengan modal yang relatif kecil dan diharuskan terjadi perputaran untuk
memperoleh laba, di samping dana pihak ketiga juga ikut diputar agar dana yang
disimpan memperoleh bagi hasil, maka BMT akan mengalami permasalahan likuiditas
jika tidak dapat memenuhi permintaan uang oleh nasabah.
H. Dampak Perkembangan dan Pertumbuhan BMT di Indonesia
1. Membangkitkan usaha mikro di
kalangan masyarakat menengah ke bawah.
2.
Membantu
masyarakat dalam hal simpan pinjam.
3.
Meningkatkan taraf hidup melalui mekanisme kerja sama ekonomi dan bisnis
4.
Dengan adanya BMT maka tidak terjadi penimbunan uang karena uang terus
berputar
5.
Memperluas
lapangan pekerjaan khususnya didalam sector riil.
II. Leasing ( Sewa Guna Usaha)
A. Pengertian[13]
Sewa guna usaha adalah istilah yang dipakai
dalam peraturan tentang Lembaga Pembiayaan sebagai terjemahan dari istilah
bahasa Inggris leasing dari kata dasar lease, artinya
sewa-menyewa. Kemudian dalam dunia bisnis berkembang leasing sebagai bentuk
khusus sewa-menyewa, yaitu dalam bentuk pembiayaan perusahaan berupa penyediaan
barang modal yang digunakan untuk menjalankan usahanya dengan membayar sewa
selama jangka waktu tertentu.
The Equipment Leasing Association di Inggris
mendefinisikan:
”Lease adalah kontrak antara lessor dengan lesse untuk
penyewaan suatu jenis barang (asset) tertentu langsung dari pabrik atau Agen
penjual oleh Lessee. Hak kepemillikan atas barang tetap pada Lessor, hak pakai
atas barang ada pada Lessee dengan membayar sewa yang jumlah dan jangka
waktunya telah ditetapkan”
Definisi ini murni mengenai sewa-menyewa barang, tidak
mempersoalkan barang modal dan tujuan penggunaan barang secara khusus untuk
dipakai menjalankan perusahaan.
Untuk mengetahui konsep leasing sebagai Sewa Guna
Usaha, yaitu bentuk khusus dari sewa-menyewa, perlu ditelaah ketentuan yang
terdapat dalam Peraturan Perizinan Usaha Leasing. Menurut Surat
Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
tangal 7 januari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.
”yang dimaksud dengan leasing adalah setiap kegiatan
pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang modal untuk digunakan oleh
suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran
secara berkala disertai hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli
barang modal yang bersangkutan, atau memperpanjang jangka waktu leasing
berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.”
Dalam definisi di atas konsep leasing sebagai
bentuk khusus sewa-menyewa yang disebut Sewa Guna Usaha sudah lebih terarah dan
jelas. Hal ini dinyatakan oleh unsur-unsur berikut:
a.
Pembiayaan perusahaan. Pembiayaan tidak dalam bentuk
dana, melainkan dalam bentuk barang modal yang digunakan untuk kegiatan usaha.
b.
Penyediaan barang modal. Biasanya disediakan oleh supplier
atas biaya lessor untuk digunakan oleh lessee bagi keperluan
bisnis, misalnya kapal, mesin, pabrik, traktor, kendaraan bermotor, komputer.
c.
Digunakan oleh suatu perusahaan. Barang modal tersebut
merupakan bentuk pembiayaan suatu peusahaan dalam menjalankan usahanya.
d.
Pembayaran sewa secara berkala. Kewajiban, Lessee
membayar angsuran harga barang modal kepada Lessor yang sudah
melunasinya kepada supplier.
e.
Jangka waktu tertentu. Berapa tahun Sewa Guna Usaha
dilakukan, setelah jangka waktu berakhir, ditentukan status kepemilikan barang
modal.
f.
Hak opsi untuk membeli barang modal. Pada saat kontrak
berakhir, Lessee diberi hak opsi untuk membeli barang tersebut sesuai
dengan harga yang telah disepakati, atau mengembalikannya pada Lessor.[14]
Dalam leasing sendiri terdapat dua kategori global yaitu operating
lease dan financial lease. Operating lease merupakan suatu
proses menyewa suatu untuk mendapatkan hanya manfaat barang yang disewanya,
sedangkan barangnya itu sendiri tetap menjadi milik pihak yang memberi sewa.
Sewa jenis ini berpadanan dengan konsep ijarah di dalam Islam, yang secara
hukum Islam diperbolehkan.
Adapun yang dimaksud dengan financial lease
adalah suatu bentuk sewa yang di mana kepemilikan barang tersebut berpindah
dari pihak pemberi sewa kepada penyewa.bila pada akhir masa sewa pihak penyewa
tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut merupakan milik pemberi sewa
(perusahaan leasing). Akad tersebut dianggap akad sewa. Adapun bila
pada masa akhir sewa, penyewa dapat
melunasi cicilannya, maka barang tersebut menjadi pihak penyewa. Biasanya
adanya pengalihan hak kepemilikan ini dilakukan dengan alasan hadiah pada akhir
penyewaan, pemberian cuma-cuma, janji, atau alasan lainnya. Intinya, dalam financial
lease terdapat dua proses akad sekaligus: sewa sekaligus beli. Inilah
sebabnya mengapa leasing yang berbentuk financial lease
juga biasa disebut dengan sewa beli.
Financial lease mempunyai beberapa ciri berikut:[16]
a. Objek leasing tetap menjadi hak milik lessor sampai
dilakukannya hak opsi.
b. Barang modal dapat berupa benda bergerak maupun tidak bergerak.
c. Masa sewa barang modal sama dengan umur ekonomis barang tersebut.
d. Lessor tidak dapat mngakhiri kontrak secara sepihak.
e. Risiko ekonomi yang terjadi ditanggung oleh pihak lesse.
f. Full pay out dan juga transaksi keuangan.
g. Disertai dengan hak opsi beli yang disertai dengan nilai sisa sewa barang
yang disewagunausahakan.
h. Lessor tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal.
Financial lease sendiri terdiri dari beberapa transaksi, diantaranya:
1.
Direct Financial Lease: merupakan suatu transaksi leasing di
mana pihak lessor membeli barang atas permintaan pihak lesse dan
sekaligus melakukan sewa guna usaha atas barang tersebut kepada lesse
yang bersangkutan.
2.
Sale and lease back: pihak lesse sengaja menjual barang
modalnya kepada pihak lessor untuk kemudian dilakukan kontrak sewa guna
usaha barang tersebut antara lesse dan lessor, di mana lesse
adalah pihak yang menjual barang selama masa leasing tersebut.
3.
Syidicated lease: merupakan pembiayaan leasing yang
dilakukan lebih dari satu lessor atau suatu objek leasing.
4.
Leveraged lease: merupakan salah satu teknik pembiayaan dalam
financial lease yang digunakan oleh pihak lessor.
5.
Cross border lease: merupakan transaksi leasing yang
dilakukan di luar batas negara, yaitu adanya perbedaan negara di mana lessor
berada dengan negara di mana lesse berada.
Konsep yang bebeda terjadi dalam operating
lease. Dalam operating lease jumlah seluruh pembayaran yang berkala
tidak mencakup biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang modal tersebut,
termasuk dalam hal ini bunganya. Dalam operating lease terdapat
perjanjian antara lesse dengan pihak lessor, yaitu:[17]
1. Lessor sebagai pihak pemilik objek leasing menyerahkan pada pihak lessee
untuk digunakan dalam jangka waktu yang cukup pendek.
2. Lessee membayar biaya sewa berkala pada lessor, yang jumlahnya tidak
meliputi jumlah keseluruhan biaya perolehan barang tersebut.
3. Lesssor menanggung segala risiko ekonomis dan juga pemeliharaan atas barang
tersebut.
4. Pada akhir kontrak lessee mengembalikan objek lease kepada lessor.
(Siamat,2004)
Dari rangkaian penjelasan di atas maka dapat
disimpulkan, terdpat beberapa pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing
ini, di antaranya adalah:
1. Lessor adalah perusahaan sewa guna usaha atau dalam hal ini adalah pihak yang
memiliki kepemilikan atas barang. Pihak lessor dalam leasing yang
bersifat financial lease bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya
yang telah dikeluarkan, dalam rangka penyediaan barang modal dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan. Adapun dalam leasing yang bersifat opreating
lease, lessor bertujuan untuk mendepatkan keuntungan dari
penyediaan barang serta pemberian berbagai jasa yang berkaitan dengan
pemeliharaan serta pengoperasian barang tersebut.
2. Lessee, adalah perusahaaan atau pihak pemakai barang yang bisa memiliki hak opsi
pada masa akhir perjanjian leasing. Dalam financial lease leasse bertujuan
untuk mendapatkan pembiayaan berupa barang ataupun peralatan yang pembayarannya
dilakukan secara berkala. Di masa akhir kontrak lessee memiliki hak opsi
untuk dapat mebeli barang yang disewagunausahakan tersebut. Sementara dalam operating
lease lessee dapat memenuhi kebutuhan peralatannya di samping adanya
peralatan tanpa adanya risiko bagi lesse dikarenakn kerusakan.
3. Supplier, yaitu pihak atau penjual barang yang disewagunausahakan. Barang
tersebut dijual kepada lessee untuk kemudian dilakukan pembayaran secara
tunai oleh lessor. Dalam konsep financial lease, supplier
langsung menyerahkan barang kepada lessee tanpa melalui lessor sebagai
pihak yang memberikan pembiayaan. Sedangkan dalam operating lease,
supplier langsung menjual barangnya kepada lessor dengan
pembayaran sesuai dengan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak.
4. Bank, berbeda dengn pihak-pihak lannya, bank tidak terlibat langsung dalam
kontrak leasing. Akan tetapi bank memegang peranan penting dalam hal
penyediaan dana kepada pihak lessor, teutama dalam hal mekanisme leverage
lease di mana dalam mekanisme tersebut sumber dana pembiayaan lessor,
diperoleh melalui kredit dari pihak bank.
C. Konsep Leasing dalam Islam
Pembahasan tentang konsep leasing Islam
pada dasarnya bukanlah hal yang mudah, mengingat Indonesia hingga sekarang
belum ada landasan hukum yang mengatur konsep leasing Islam. Akan tetapi
konsep leasing Islam bukannya tidak mungkin dapat dikembangkan, mengingat
beberapa produk yang keluar dari sistem ekonomi Islam pada dasarnya mengacu
pada berbagai akad yang dibenarkan secara Islam dan juga memiliki landasan
Islam Alquran dan hadis. Adapun beberapa akad yang dapat dikembangkan sebagai
konsep leasing Islam adalah:
1. Akad-akad bagi hasil seperti mudarabah yang merupakan perjanjian
antara pihak pemilik modal untuk membiayai sepenuhnya suatu proyek ataupun
usaha dengan adanya pembagian keuntungan yang disepakati secara bersama.
2. Akad murabahah yaitu perjanjian jual-beli berang antara pemilik barang
dengan calon pembeli. Konsep leasing bisa masuk kedalam akad ini dengan
adanya pembelian barang dan lalu menjualnya kepada calon pembeli dengan adanya
tambahan keuntungan berdasarkan persetujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Salam, yaitu transaksi jual beli barang pesanan (muslam fih)
antara pembeli (muslam) dan penjual (muslam ilaih). Dalam
transaksi ini barang belum tersedia sehingga barang yang menjadi objek tansaksi
tersebut diserahkan secara tangguh. Lessee dapat bertindak sebagai muslam dan
kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang (muslam fih)
maka akad ini disebut salam paralel.
4. Rahn, yaitu transaksi penyerahan barang dari nasabah kepada leasing sebagai
jaminan sebagian atau seluruh utang. Dalam bahasa yang umum tujuan dari akad rahn
ini adalah untuk memberikan kembali jaminan pembayaran kepada leasing dalam
memberikan pembayaran. (Rivai 2007)
5. Dari berbagai akad tersebut terlihat bahwa konsep pembiayaan dengan basis
bagi hasil merupakan konsep yang bisa diterapkan dalam leasing. Dengan konsep
bagi hasil, maka leasing, dalam hal ini melalui supplier dapat memberikan dana
ataupun modal dalam suatu barang tertentu. Selain itu supplier dalam leasing
ini juga berfungsi sebagai mitra dan konsep ini juga mendorong kedua belah
pihak yang terikat dalam perjanjian leasing Islam untuk menyukseskan
usaha yang dijalankan masing-masing.[18]
D. Pandangan Syariah terhadap Leasing Konvensional, Sewa-menyewa dan
IMBT (Ijarah Muntahiyah Bittamlik)
1. Jenis-Jenis Ijarâh
Dalam pengklasifikasian dari segi rupa ma‘qûd ‘alaih, akad
ijârah memiliki 2 bentuk: yaitu Ijârah ‘ala al-‘ain dan Ijârah
‘ala al-a‘mâl, penjelasan singkat lebih lanjut sebagai berikut:
a)
Ijârah ‘ala al-‘ain,
yaitu akad hak alih guna atas kemanfaatan suatu barang (‘ain). Dari segi
rupa benda pun dibagi lagi menjadi dua; al-‘ain al-manqûl (harta
bergerak atau yang bisa dipindah) seperti: baju, mobil, motor, dsb. Lanjut al-‘ain
al-tsâbit (harta yang tetap atau tidak bisa dipindah) seperti rumah,
gedung, tanah lahan pertanian, dsb.
Dalam pembahasan ijârah ‘ala al-‘ain ini ada hal menarik
yang diperselisihkan ulama, yakni mengenai status tetapnya hukum ijârah.
Lebih tepatnya apakah keseluruhan hukum akad ijârah bisa serta merta
teraplikasikan sejurus setelah terjadi deal antara penyedia dan penyewa
(Syafi‘iyah dan Hanabilah),[19]
atau hukum tersebut perlahan tertetapkan beriringan dengan munculnya
manfaat yang diterima oleh penyewa (Hanafiyah dan Malikiyah).[20]
Bukan tanpa sebab, ada beberapa hal yang ditimbulkan sebagai
konsekuensi perbedaan pendapat mengenai hal diatas, antara lain:
Ø Dalam hal upah,
menurut Syafi‘iyah dan Hanabilah, upah yang dijanjikan kepada
pihak penyedia adalah resmi menjadi miliknya secara langsung, persis setelah
kesepakatan diucapkan. Sedangkan Hanafiyah dan Malikiyah menganggap
bahwa keberhakan penyedia atas upah adalah berangsur-angsur seiring dengan
berangsur-angsurnya kemanfaatan yang dinikmati oleh pihak penyewa, sehingga
dalam hal ini penyedia tidak berhak[21]
menarik upah kepada penyewa secara kontan.
Ø Perihal benda,
masih dalam konsekuensi perselisihan diatas. Wajib hukumnya menurut Ulama
Hanafiyah dan Malikiyah bagi pihak
penyedia untuk segera menyerahkan barang yang disewakan tersebut kepada penyewa
langsung setelah akad supaya penyewa bisa segera menikmati manfaat dari barang
tersebut, jika memang dia ingin segera mendapatkan uang sewanya.
b)
Ijârah ‘ala al-a‘mâl, atau
yang sering disebut dengan akad sewa jasa. Dalam akad ijârah inipun
menurut sistim kerjanya dibagi menjadi dua macam: al-ajîr al-khâsh yakni
pekerja yang memberi jasa terbatas pada satu orang saja (pengupah) seperti:
pembantu rumah tangga, tukang cukur, dsb. Kemudian al-ajîr al-‘âmmah
yaitu pekerja yang memberikan jasanya tidak terikat hanya pada satu pengupah
saja, dicontohkan seperti tukang reparasi, tukang parkir, dsb.
2. Perbedaan antara Ijarâh, Jual beli dan Ijarah Muntahi Bittamlik
|
Ijârah
|
Jual beli
|
Ijârahmuntahi
bittamlik
|
Kredit
|
Jenis akad
|
Lazim
|
Lazim
|
Akad jual beli dalam bentuk Ijârah. Dengan tujuan jaminann
kepemilikan barang bagi mua’ jir
|
Terdiri dari satu akad, yaitu akad lazim (kepemilikan berpindah
ketika akad ).
|
Jenis barang
|
Manfaat
|
Benda dan manfaat
|
|
|
Perubahan akad
|
|
Akad berubah ketika akad bertama berakhir atau ketika akad Ijârah
Akad tidak berubah ketika berakhir cicilan
c.
Al-Îjâr Al-muntahiya bi Al-tamlîk (IMBT)
Pengertian sederhananya, merupakan konsep akad sewa manfaat atas
suatu barang yang mana berujung pada kepemilikan barang yang disewakan. Atau
dalam pendefinisiannya lebih rinci adalah kepemilikan atas manfaat suatu benda
dalam tempo tertentu, dan dengan sejumlah upah tertentu, yang mana seringkali
upah yang disepakati tersebut lebih mahal daripada harga pasaran, disebabkan
adanya upaya kesepakatan alih kuasa barang (‘ain) pada akhir atau
pertengahan tempo penyewaan, setelah terlunasinya cicilan atau pembayaran upah
sewa, dan kepemilkan barang tersebut dialihkan dengan akad baru, baik
menggunakan akad hibah, juali beli dengan harga asli, ataupun dengan harga
simbolik.[22]
Untuk mempermudah pemahaman, ilustrasi sederhana dari praktik akad
diatas adalah seperti ini: si A membutuhkan (beli) rumah tempat tinggal, karena
keterbatasan dana, si A mendatangi si B dengan mengutarakan niatnya tersebut.
Setelah itu disepakatilah akad bahwa si
B berkenan menjual salah satu rumahnya kepada si A dengan cara si A membayar
uang per-bulan sebesar sekian selama 5 tahun, dan nanti ketika si A mampu
melewati masa penyewaan selama 5 tahun tersebut, si B berkenan untuk mengalih
milikkan rumah tersebut kepada si A dengan akad hibah misalnya.
Sepintas jika dicermati praktik akad tersebut mirip dengan yang
terjadi dalam jual beli kredit (bai‘ bi al-taqshîth), adapun yang
membedakan antara keduanya adalah pola akad yang terkandung didalamnya. Pada bai'
al-taqsîth selain memiliki pola tunggal (akad bai‘), kepemilikan
obyek akad pada praktik ini dimulai
sejak awal kesepakatan (ijab-kabul) hanya saja sisi kesamaan yang dimiliki
keduanya adalah pada cara pembayaran yang diangsur. sedangkan al-îjâr
al-muntahiya bi al-tamlîk adalah merupakan jenis kesinambungan dari dua
pola akad yang berbeda; akad sewa terlebih dahulu baru setelah berakhirnya
tempo sewa yang disepakati dilanjutkan dengan kesepakatan baru baik itu akad
hibah atau akad jual-beli, disesuaikan dengan perjanjian yang disepakati pada
awal akad.[23]
1.
Penyewa menjadi pemilik barang (‘ain) yang disewakan secara
otomatis bila ia sanggup menunaikan cicilan tepat waktu tanpa perlu membuat
akad baru. Maka akad IMBT dalam bentuk ini berakhir dengan kepemilikan penyewa
atas objek sewa tanpa membayar harga selain angsuran sewa yang telah
disepakati. Adapun harga asli barang (‘ain) telah tercover dalam
angsuran sewa.
Keabsahan akad
pada pola transaksi seperti diperselisihkan oleh sebagian ulama, disebabkan
–menurut mereka- pada akad ini terkumpul dua akad yang berbeda dalam satu obyek
akad (ijtimâ‘ ‘aqdaini fî ‘aqdin wahidin); akad ijârah dan
akad bai‘. Pun, guna terealisasinya akad ini mensyaratkan kepada penyewa
untuk tidak semena-mena atas barang yang disewa hingga lunasnya seluruh
angsuran sewa (a.k.a kepimilikan belum berpindah tangan). Maka akad ini
dikategorikan akad yang batal oleh sebagian ulama kontemporer berpegang pada
hadis Rasulullah Saw.
عن ابن
مسعود رضى الله عنه قال: ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيعتين في بيعة
Dari Ibnu Mas‘ud ra. Berkata: "Bahwasannya Nabi Saw.
Melarang melakukan dua transaksi dalam satu akad"
Namun dalam hal ini penulis sepakat dengan uraian yang disampaikan
oleh Dr. Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-Mu‘âmalah al-mâliyah al-Mu‘âshirah
buhûts wa fatâwa wa hulûl yang menjelaskan bahwa pada pola
transaksi seperti ini tidak dibenarkan terjadi dua akad dalam satu transaksi,
karena pada hakikatnya yang terjadi adalah kesepakatan untuk melakukan dua akad
secara periodik. Sehingga tidak dibenarkan untuk melarang pola transaksi
seperti ini dengan alasan demikian.[25]
Senada dengan pendapat beliau, adalah qarar Majma' al-Fiqh
al-Islami melalui mukmatar yang di adalakan di Riyad tahun 2000, mengeluarkan
keputusan terkait ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam akad IMBT sebagai
berikut:
1.
Standar larangan: jika terkumpul dua jenis akad yang berbeda dalam
satu objek akad dan dalam periode yang sama.
2.
Standar kebolehan:
a.
Terdapat dua jenis akad yang terpisah secara periodik, dimana akad
jual-beli dilaksanakan setelah akad
ijarah atau melakukan janji pemindahan kepemilikan di akhir masa sewa.
b.
Ijarah harus benar-benar dilakukan, bukan dengan maksud
menutup-nutupi akad jual
beli.
c.
Jaminan objek sewa berada di tangan pemberi sewa yang menanggung
risiko kerusakan objek tersebut selama tidak disebabkan oleh penyewa.
d.
Jika di dalam akad terdapat asuransi atas objek sewa (yang ditanggung
oleh pemberi sewa) maka wajib
menggunakan asuransi ta'awuni dan bukan asuransi komersial.
e.
Harus menerapkan hukum akad ijarah selama masa penyewaan dan hukum
akad jual-beli saat pemindahan kepemilikan.
f.
Biaya pemeliharaan asset berada dalam tanggungan pemberi sewa.
2.
Penyewa berhak memiliki obyek sewa di akhir masa sewa dengan
membayar sejumlah uang dengan dengan harga simbolik (harga basa-basi sekedar
untuk melepas barang).
Dicontohkan: si
A menyewa rumah kepada si B dengan rincian sewa perbulan sebesar 2 juta rupiah
selama 5 tahun. Ketika berakhir masa sewa dan si A sanggup memegang komitmen
akad yang terjalin sedari awal maka sesuai
kesepakatan si B menjual rumahnya kepada si A dengan harga ramzy
sebesar 500 perak.
Dalam fikih
Islami harga jual suatu barang haruslah mendekati nilai asli dari barang
tersebut. Dalam pola transaksi jenis kedua yang menggunakan harga simbolik ini,
termasuk dalam etika jual beli yang dilarang, karena menjual sesuatu jauh dari
harga pasar (ghabn al-fâhisy) yang bisa berpotensi menghancurkan
sirkulasi perdagangan pasar.[26]
3.
Penyewa berhak memiliki objek sewa di akhir masa sewa dengan
membayar sejumlah uang dengan harga asli.
Takyifnya sama seperti pola jenis kedua, hanya saja harga yang
dipergunakan dalam pembelian adalah harga asli daripada barang yang
bersangkutan. Dari sini bisa dikatakan bahwa pola transaksi seperti ini juga
dibenarkan dalam fikih Islam.
4.
Pemberi sewa berjanji (بوعد ملزم) akan menjual barang
yang disewakan tersebut kepada penyewa pada akhir masa sewa dengan sejumlah
uang, jika penyewa dapat melunasi angsurannya tepat waktu.
Pola ini
dihukumi seperti akad yang terikat oleh janji (wa‘ad), dimana penyedia
sewa member janji kepada penyewa untuk menghibahkan barang sewaannya apabila
tenggang sewa yang telah disepakati telah usai dan dan seluruh cicilan sewanya
terbayar lunas.
Problemnya,
apakah sebuah janji dalam akad itu wajib dipenuhi (mulzim) atau tidak,
ulama berbeda pendapat:[27]
a.
Jumhur Ulama (Hanafiyah,[28]
Syafi‘iyah, Hanabilah, Dzahiriyah, dan Jumhur Shahabat dan Tabi‘in): Janji
dalam konteks seperti ini tidak wajib dipenuhi dalam berbagai keadaan, meskipun
dalam bingkai keagamaan janji adalah sesuatu yang wajib untuk ditepati.
b.
Malikiyah: memiliki empat pndapat menganai kasus ini, namun
pendapat yang paling masyhûr dalam madzhab mereka adalah yang mewajibkan
menepati janji secara mutlak.
5.
Melakukan akad ijârah dengan memberikan hak khiyâr
pada penyewa, antara lain:
a.
Membeli objek sewa sesuai dengan harga pasar di akhir masa sewa
b.
Memperpanjang masa penyewaan
c.
Menyudahi akad ijarah dan mengembalikan objek sewa pada pemiliknya
Secara
langsung akad ini diperbolehkan oleh syariat, karena secara kasat pola
transaksi seperti ini bebas dari beberapa hal yang berpotensi menimbulkan
perselisihan seperti adanya syarat, dua akad dalam satu transaksi, dsb.
Dalam
perbankan syariah pembiayaan pola IMBT ini seringkai diterapkan untuk
hal-hal sebagai berikut:[29]
a.
Pembiayaan investasi, misalnya untuk pembiayaan barang-barang
modal, seperti mesin-mesin dan
sebagainya.
b.
Pembiayaan konsumer, misalnya untuk pembelian mobil, rumah dan
sebagainya.
Untuk selanjutnya mengenai proses atau
langkah-langkah yang ditempuh oleh penyewa dan bank syariah dalam menerapkan
IMBT, digambarkan sebagai berikut: [30]
1.
Nasabah menyatakan keinginannya untuk memperoleh suatu barang modal
melalui akad ini.
2.
Bank membeli barang tersebut dan memiliki hak kepemilikan atasnya,
menerima dan membayar harganya kepada supplier.
3.
Bank terkadang tidak menerima barang modal, melainkan mewakilkannya
pada nasabah dengan spesifikasi yang diminta oleh nasabah.
4.
Bank menyewakan barang modal dengan harga sewa dan waktu yang telah
ditentukan. Bank berjanji akan memindahkan kepemiilikan pada nasabah bila ia
dapat melunasi seluruh angsuran, dengan menghibahkan atau menjual barang modal
dengan harga asli atau harga simbolik.
5.
Saat masa sewa berakhir dan penyewa telah melunasi angsurannya,
bank melepaskan hak kepemilikannya atas objek sewa dengan melakukan akad baru
sesuai dengan janjinya; untuk menjual atau menghibahkannya.
III. Modal Ventura
Istilah ventura berasal dari kata venture yang secara bahasa
bisa berarti sesuatu yang mengandung risiko atau dapat juga diartikan sebagai
usaha. Dengan demikian, secara bahasa modal ventura (venture capital)
adalah modal yang ditanamkan pada usaha yang mengandung risiko. Adapun definisi
perusahaan modal ventura menurut Keppres No. 61 Tahun 1988 adalah bisnis
pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang
menerima bantuan pembiayaan untuk jangka waktu tertentu.
Dana
ventura ini mengelola dana investasi dari pihak ketiga (investor) yang tujuan
utamanya untuk melakukan investasi pada perusahaan yang memiliki risiko tinggi.
Investasi modal ventura ini dapat juga mencakup pemberian bantuan manajerial
atau tehnikal. Kebanyakan dana ventura ini adalah berasal dari sekelompok
investor yang mapan keuangannya, baik investasi, dan institusi keuangan lainnya
yang melakukan pengumpulan dana ataupun kemitraan untuk tujuan investasi
tersebut.
Penyertaan
modal yang dilakukan oleh modal ventura ini kebanyakan dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan
yang baru berdiri sehingga belum memiliki suatu riwayat operasionil yang dapat
menjadi catatan guna memperoleh suatu pinjaman. Sebagai bentuk kewirausahaan,
pemilik modal ventura biasanya memiliki hak suara sebagai penentu arah
kebijakan perusahaan sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki.
Maksud
dan tujuan didirikannya perusahaan modal ventura yaitu melakukan penanaman
modal dalam suatu usaha yang mengandung risiko tinggi, baik dalam hal
penyertaan modal maupun dalam bentuk pinjaman.
Embrio
pembiayaan modal ventura lahir sejak didirikannya PT Bahana Pembina Usaha
Indonesia berdasarkan PP No. 18 Tahun 1973 yang sahamnya dimiliki pemerintah
dengan tujuan:
1.
Menumbuhkan dan merangsang pengusaha-pengusaha kecil dan menengah,
serta memberikan berbagai macam bantuan yang diperlukan dengan tetap
mengacu pada kaidah-kaidah berusaha yang
sehat.
2.
Membantu pengembangan usaha-usaha kecil dan menengah dengan cara:
a.
Turut serta sebagai penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan.
b.
Mengidentikasi proyek dan
membantu menyusun feasibility studies perusaahaan.
c.
Menyediakan dana dan SDM serta membantu dalam pemasaran.
Jangka
waktu penyertaan saham modal ventura bersifat sementara. Di beberapa negara
jangka waktu pembiayaan modal ventura antara 3-10 tahun. Di Indonesia sendiri
jangka waktu tersebut menurut Kepres No. 61 Tahun 1988 paling lama 10 tahun
harus sudah divestasi. Ciri inilah yang membuat modal ventura berbeda dengan
investasi biasa.
Sedangkan
modal ventura syariah adalah bisnis pembiayaan dalam bentuk penyertaan
modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan untuk jangka
waktu tertentu dengan berlandaskan prinsip-prinsip syariah. Praktik modal
ventura yang dilakukan berdasarkan akad syariah dan bergerak di usaha yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang diakui. Dari sudut pandang
Islam, penggunaan equity financing dalam bentuk saham atau penyertaan
terbatas dengan bagi hasil adalah suatu dari aplikasi akad mudharabah,
musyarakah ‘inan atau musyarakah ‘inan almutanakkisa. Hubungan erat antara
penyedia dana , mulai dari penetapan klausula yang menyangkut penggunaan dana
samapi ke adding value, monitoring, dan pembagian hasil dan risiko sesuai
dengan semangat musyarakah.
Dalam
hal pembiayaan Islam sangat ditegaskan
untuk diterapkan modal ventura. Ada tiga instrumen pembiayaan Islam yang
utama, yaitu:
1.
Musyarakah,
dalam pembiayaan musyarakah dicampurkan
dana untuk mendirikan usaha baru, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.
Keuntungan dan kerugian dari proyek yang dijalankan ini dinikmati secara
bersama sesuai dengan porsi yang ada dengan konsep profit dan loss sharing.
2.
Mudarabah,
perusahaan memegang amanah yang diterima oleh perusahaan modal ventuta dimana
modal yang ada merupakan titipan dengan skim wadiah yang dapat
dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan yang ada harus dibagikan
sesuai dengan porsi yang telah disepakati diawal, atau dengan prinsip musyarakah.
Dalam konsep ini, modal disediakan secara utuh oleh pihak pemilik modal hingga
masa tertentu dimana modal tersebut lalu dikembalikan secara utuh. Konsep biasa
diberikan kepada pengusaha yang sudah diyakini kemampuannya.
3.
Murabahah,
pembiayaan murabahah jual beli barang untuk keperluan investasi dan juga
bahan baku untuk kepentingan modal kerja. Pembiayaan modal ventura bukan
merupakan lembaga simpan pinjam atau lembaga yang memberikan kredit, karena
modal ventura tidak mendapatkan imbalan berupa bunga atau pembayaran cicilan.
Modal ventura juga tidak selamanya berkiprah didalam PPU, pada waktu yang
disepakati, pihak investor atau perusahaan modal ventura harus keluar, karena
itulah konsep modal ventura sama dengan ajaran Islam yang bersifat tolong
menolong. Modal ventura juga memiliki kaitan
dengan konsep syirkah atau mudarabah.
Modal Ventura di Amerika Serikat sudah lama berkembang dan
membuahkan hasil yang nyata, misalnya di California sejak tahun 1960, modal
ventura telah mendukung usaha-usaha kecil sehingga akhirnya sukses dan mampu
mengembangkan sayapnya hingga ke luar negeri. Beberapa contoh misalnya,
perusahaan Apple Computer pada mulanya adalah ide dari dua pemuda putus
sekolah yang berbakat di bidang komputer yaitu Steve Jobs dan Wozniah, mereka
tidak dapat mengembangkan bakatnya untuk dijadikan usaha karena terbentur modal
dan tidak ada satupun bank yang bersedia mendanai proyek tersebut karena
dianggap berisiko tinggi dan tidak ada agunan. Kemudian datang seorang ahli
keuangan yang bernama Arthur Rock yang bersedia mendanai usaha dengan sistem
modal ventura. Setelah dibantu oleh Arthur Rock mereka berhasil membuat
komputer dengan merek Apple.
Setelah itu kemudian bermunculan kisah sukses proyek-proyek yang
dibiayai lewat modal ventura seperti Kentuky Freid Chicken, Sock Shop
dan lainnya. Setelah sukses di Amerika Serikat, modal ventura kemudian menular
di Inggris, Prancis dan Belanda. Tidak hanya dinegara tersebut venturapun telah
diterapkan di berbagai negara seperti India, Jepang, Korea Selatan, Indonesia
dan lain sebagainya. Di Indonesia kegiatan usaha ditandai dengan adanya
kecenderungan beberapa kelemahan sehingga sulit untuk berkembang maju, kecuali
pengusaha yang memiliki modal yang kuat. Salah satu kelemahan yang menonjol
menurut pengamatan para ahli ekonomi adalah kurang kuatnya modal yang dimiliki
oleh pengusaha menengah.
Bertolak dari kenyataan tersebut, kemudian di coba untuk melakukan
terobosan-terobosan oleh sementara pihak dengan membuka suatu kegiatan usaha
yang khusus bergerak di bidang penyertaan modal saham untuk menolong kalangan
usaha yang mengalami kesulitan permodalan tersebut. Kemudian pada tahun 1973
lahirlah PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia yang didirikan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1973 tentang penyertaan modal negara untuk
mendirikan suatu perseroan dalam bidang pengembangan usaha swasta nasional.
Perusahaan
modal ventura syariah, belakangan juga hadir, meskipun masih dalam hitungan
yang sangat sedikit, secara prinsipiil, dasar hukum perusahaan modal ventura
menginduk pada dasar hukum modal ventura yang sudah ada, di samping diperkaya
dengan prinsip-prinsip yang sesuai
dengan syariah.
Secara teoritis, modal ventura mempunyai potensi yang besar untuk
memberikan kontribusi dalam pengembangan
bisnis. Perusahaan kecil yang mempunyai prospek bagus tetapi tidak mempunyai
cukup modal dan tidak memiliki akses ke perbankan dapat berkembang dengan
memperoleh dukungan modal dari modal ventura. Inovasi baru dalam berbagai
bidang teknologi dapat lebih mudah terlaksana
jika mendapat dukungan dari modal ventura sebagaimana pengalaman di berbagai
negara.
1.
Karakteristik Modal Ventura
Pembiayaan
modal ventura memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan jenis
pembiayaan lainnya seperti perbankan, perusahaan pembiayaan: leasing,
factoring, dan pembiayaan konsumen. Karakteristik pembiayaan modal ventura,
anatara lain:
a.
Pembiayaan modal ventura merupakan penyertaan modal (quasiequity
financing) di mana modal ventura dilakukan dengan penyertaan modal langsung
pada perusahaan pasangan usaha, disamping itu pembiayaan modal ventura dapat
pula dilakukan dengan menggunakan
instrumen konversi atau convertible bond.
b.
Modal ventura merupakan pembiayaan yang bersifat risiko tinggi.
Dikatakan berisiko tinggi karena pembiayaan modal ventura tidak disertai dengan
jaminan seperti halnya dengan kredit perbankan. Akan tetapi hanya didasarakan
pada keyakinan atas gagasan yang diusulkan tersebut. Risiko tinggi tersebut
sebenaranya diimbangi dengan harapan mendapatkan return yang lebih
besar.
c.
Modal ventura merupakan investasi dengan perspektif jangka panjang.
Modal ventura tidak mengharapkan perolehan keuntungan dengan memperdagangkan sahamnya secara jangka
pendek akan tetapi mengharapkan capital gain setelah jangka waktu
tertentu. Berarti prinsip modal ventura
bersifat jangka panjang.
Disamping
itu, bagi perusahaan modal ventura syariah terdapat karakteristik khusus yaitu
terpenuhinya prinsip-prinsip syariah, yaitu:
1.
Adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi penerapan
prinsip-prinsip syariah.
2.
Aktivitas usaha yang dijalankan oleh perusahaan modal ventura
haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan tidak dibenarkan melakukan kegiatan usaha yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah. Kegiatan usaha yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah tersebut, antara lain:
1.
Perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang
dilarang.
2.
Lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan
asuransi konvensional.
3.
Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram.
4.
Produsen, distributor atau penyedia barang maupun jasa yang merusak
moral dan bersifat mudarat.
5.
Melakukan investasi pada perusahaan yang pada saat transaksi
tingkat (nisbah) utang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan
dari modalnya.
2.
Mekanisme Modal Ventura
Modal
ventura adalah kumpulan dana yang berasal dari investor, dikelola secara
profesional untuk diinvestasikan kepada perusahaan yang membutuhkan modal. Oleh
karena itu, dalam mekanisme modal ventura paling sedikit tiga unsur yang
terlibat secara langsung, yaitu:
1.
Pemilik modal yang menginginkan keuntungan yang tinggi dari modal
yang dimilikinya. Modal dari berbagai sumber atau investor tersebut dihimpun
dalam satu wadah atau lembaga khusus yang dibentuk untuk itu atau venture capital
funds.
2.
Profesional, yang mempunyai keahlian dalam mengelola investasi dan
mencari jenis investasi potensial. Profesional ini dapat berupa lembaga yang
disebut perusahaan manajemen atau management venture capital company.
3.
Perusahaan yang membutuhkan modal untuk pengembangan usahanya.
Perusahaan yang dibiayai ini disebut perusahaan pasangan usahan atau investee
company.
3.
Tujuan dan Manfaat Modal Ventura
Kegiatan
modal ventura dilakukan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu PPU sesuai
dengan tujuan:
1.
Memungkinkan dan mempermudah pendirian suatu perusahaan baru.
2.
Membantu membiayai perusahaan yang sedang mengalami kesulitan dana
dalam pengembangan usahanya, terutama tahap-tahap awal.
3.
Membantu perusahaan baik pada tahap pengembangan suatu produk maupun
pada tahap mengalami kemunduran.
4.
Membantu terwujudnya dari hanya suatu gagasan menjadi produk jadi
yang siap dipasarkan.
5.
Memperlancar mekanisme investasi dalam dan luar negeri.
6.
Mendorong pengembangan proyek reseach and development.
7.
Membantu pengembangan teknologi baru dan memperlancar terjadinya
alih teknologi.
8.
Membantu dan memperlancar pengalihan kepemilikan suatu perusahaan.
Manfaat
modal ventura antara lain:
a.
Kemungkinan berhasilnya usaha lebih besar.
b.
Meningkatkan efisiensi pendistribusian produk.
c.
Meningkatkan bankabilitas.
d.
Meningkatkan kemampuan dan memperoleh keuntungan.
e.
Meningkatkan likuiditas.
Sumber dana modal ventura dapat berasal dari berbagai sumber antara
lain:
a.
Investor perseorangan
Alternatif
sumber modal ventura adalah dari investor individu. Hanya saja menarik investor
perseorangan untuk mengikutsertakan dananya kedalam suatu usaha modal ventura
tidaklah mudah. Hal ini disebabkan modal ventura memilik tingkat risiko yang
lebih tinggi dibandingkan dengan jenis investasi lainnya. Umumnya investor
seorangan lebih menyukai dan cenderung melakukan investasi pada usaha yang
telah berjalan lancar dan bersifat jangka pendek.
b.
Saham
Modal
ventura di Indonesia masuk ke dalam suatu entitas usaha melalui instrumen
pembiayaan saham dengan harapan memperoleh keuntungan dari dividen, benefit
lain atas kepemilikan entitas tersebut. Penetapan harga saham pada saat modal
ventura Indonesia masuk ke dalam suatu entitas lebih banyak menggunakan nilai nominal
saham mengingat entitas tersebut belum mempunyai harga pasar yang jelas untuk
saham yang dikeluarkannnya.
c.
Bagi hasil
Instrumen
pembiayaan bagi hasil murni sangat dekat dengan pembiayaan berbasis syariah.
d.
Perusahaan asuransi dan dana pensiun
Lembaga
keuangan nonbank ini merupakan sumber dana modal ventura yang cukup besar,
potensi lembaga ini sebagai investor dalam usaha modal ventura didukung oleh
sumber dananya yang berjangka panjang.
e.
Perbankan
Sumber
dana modal ventura dapat diperoleh dari bank-bank yang tertarik melakukan
bisnis modal ventura.
f.
Pemerintah daerah
Sumber
modal ini perlu dipertimbangkan oleh daerah yang disisihkan dari APBD sehingga
dapat memacu pembangunan di daerah.
1.
Equity Financing,
merupakan jenis pembiayaan langsung dalam hal ini perusahaan modal ventura
melakukan penyertaan secara langsung pada perusahaan pasangan usaha dengan cara
mengambil bagian dari jumlah saham milik perusahaan pasangan usaha.
2.
Semi Equity Financial,
merupakan jenis pembiayaan dengan cara membeli obligasi konversi yang
diterbitkan oleh perusahaan pasangan usaha.
3.
Mendirikan perusahaan baru dalam hal ini perusahaan modal ventura
bersama-sama dengan perusahaan pasangan usaha mendirikan usaha yang baru.
4.
Bagi Hasil, merupakan jenis pembiayaan yang ditujukan kepada usaha
kecil yang belum memiliki bentuk badan hukum PT. namun tidak tertutup
kemungkinan dengan yang berbadan hukum PT. apabila kedua belah pihak saling
menginginkannya.
F. Perbedaan Modal Ventura dengan Lembaga Keuangan Lainnya[36]
Sebagai suatu manajemen pembiayaan, modal ventura memiliki beberapa
ciri-ciri yang menunjukkan adanya perbedaan dengan konsep lembaga keuangan
lainnya seperti perbankan dan berbagai perusahaan pembiayaan lainnya, diantaranya
adalah:
a.
Pembiayaan bersifat equity. Pembiayaan modal ventura dilakukan
dengan adanya penyertaan modal yang langsung dilakukan pada perusahaan pasangan
usaha.
b.
Merupakan investasi yang dilaksanakan dengan perspektif jangka
panjang.
c.
Merupakan pembiayaan yang bersifat “risk capital”, dikatakan
berisiko tinggi karena pembiayaan modal ventura tidak disertai dengan jaminan,
seperti layaknya kredit yang diberikan oleh perbankan akan tetapi hanya
berdasarkan keyakinan akan gagasan yang diusung.
d.
Pembiayaan modal ventura bersifat aktif, dimana akan selalu
disertai dengan keterlibatan dari menejemen perusahaan yang mendapatkan
pembiayaan.
e.
Modal ventura bersifat sementara, dengan adanya batasan waktu maka
perusahaan modal ventura akan melakukan penarikan diri dengan melakukan
penjualan saham kepada perusahaan pasangan usahanya.
G. Kekuatan dan Kelemahan Perusahaan Modal Ventura
Biasanya dalam suatu bisnis, modal ventura juga mempunyai kekuatan
dan kelemahan. Dalam praktik ada perusahaan pasangan usaha yang berhasil dan
sebaliknya banyak juga yang gagal. Adapun kekuatan modal ventura adalah sebagai
berikut:
a.
Merupakan investasi jangka pendek dan menengah yang relatif murah
dan dengan sistem pengambilan yang cukup fleksible.
b.
Merupakan sumber dana bagi perusahaan yang baru berdiri yang belum
memenuhi syarat untuk mendapatkan dana dari sumber perbankan.
c.
Bantuan dana dan manajemen yang diberikan oleh perusahaan modal
ventura dapat ikut menambah majunya perusahaan pasangan usaha.
d.
Biasanya perusahaan modal ventura sangat menaruh perhatian terhadap
perusahaan pasangan usahanya, sehingga jalannya perusahaan pasangan usaha
selalu dipantau, diawasi dan diberi bimbingan untuk maju.
e.
Tambahan dana dari perusahaan modal ventura dapat meningkatkan
kemampuan perusahaan pasangan usaha untuk memperoleh pinjaman dalam bentuk
lainnya.
f.
Perusahaan pasangan usaha dapat memperluas jaringan usaha melalui
mitra-mitra lain yang dimiliki perusahaan modal ventura.
g.
Pada umumnya perusahaan modal ventura merupakan perusahaan yang
sudah mempunyai reputasi baik dan mempunyai relasi yang luas, sehingga
keterlibatan perusahaan modal ventura dalam perusahaan pasangan usaha akan
meningkatkan performance dari perusahaan pasangan usaha di dalam dunia bisnis.
h.
Modal ventura ini umumnya diberikan kepada perusahaan-perusahaan
yang masih kecil, maka ini merupakan salah satu upaya untuk mengangkat dan
melindungi pengusaha kecil dan memperluas kesempatan kerja.[37]
Diantara kelemahan modal ventura adalah:
a.
Bisa dilihat secara jangka panjang, pendanaan melalui modal ventura
ini sangat mahal sehubungan dengan pola bagi hasil yang ditetapkannya.
Pengambilan modal ventura oleh perusahaan pasangan usahanya bisa sangat besar
terutama apabila bisnis usahanya sukses.
b.
Bantuan lewat modal ventura hanya dapat diberikan kepada pengusaha
tertentu saja dan biasanya sangat selektif. Hanya kepada perusahaan yang
mempunyai prospek yang sangat baik saja yang dapat diberi bantuan modal.
c.
Para pendiri perusahaan pasangan usaha yang sahamnya sebagian besar
dimiliki oleh perusahaan modal ventura, dapat kehilangan control mengingat
manajemen perusahaan dipegang oleh perusahaan modal ventura.[38]
Seperti
diketahui bahwa konsep dasar dari investasi mudarabah adalah untuk melakukan
penyatuan modal dengan tenaga kerja dan juga semangat kewirausahaan. Selain itu
juaga dilandasi dengan sifat dan semangat keadilan dengan menanggung kerugian
serta melakukan pembagian keuntungan secara transparan. Berikut ini adalah
hal-hal yang menjelaskan mengapa konsep modal ventura tidak bertentangan dengan
konsep Islam:
a.
Pemilik Modal
Dalam usaha modal ventura, pemilik modal juga disebut sebagai
investor, sedang pada syirkah atau mudarabah pemilik modal biasa disebut
dengan mudharib atau pemilik dana. Dalam hal ini tidak terdapat
pertentangan antara konsep modal ventura dengan syirkah.
b.
Penerima Modal
Dalam modal ventura, pihak penerima modal baik melalui penyertaan
langsung ataupun melalui obligasi konversi biasa disebut dengan investee
company. Adapun syirkah maupun mudarabah biasa disebut dengan dharib
atau pengelola dana. Konsep syirkah maupun mudarabah memang tidak diatur
secara khusus di Alquran, akan tetapi pada masa Rasulullah Saw. dan juga masa
sahabat hal ini biasa dilakukan dengan kegiatan perdagangan.
c.
Modal
Dalam modal ventura modal berarti dana yang diinvestasikan ke dalam
perusahaan pasangan usaha. Sementara syirkah maupun mudarabah pengertian
modal adalah dana yang diberikan kepada dharib dari pihak mudharib.
Disini ditunjukkan tidak adanya perbedaan antara modal ventura dan juga konsep syirkah.
d.
Cara Melakukan Pengikatan
Dalam hal perjanjian, ada perbedaan antara konsep modal ventura
dengan syirkah maupun mudarabah. Perbedaan ini terletak dalam adanya
ijab kabul yang dilakukan secara lisan. Sementara dalam modal ventura hal itu
tidak ada karena secara implisit telah terjadi pada waktu perjanjian
ditandatangani oleh kedua belah pihak.
e.
Penyertaan Modal
Penyertaan modal yang dilakukan kedalam investee company
dilakukan oleh perusahaan modal ventura dengan jalan pernyataan langsung
melalui saham ataupun obligasi konversi atau juga melalui partisipasi terbatas.
Sementara metode penyertaan modal dalam konsep syirkah maupun mudarabah
dilakukan dengan penyertaan langsung melalui saham terutama untuk usaha yang
sudah atau yang akan berjalan.
Aplikasi modal ventura yang dilakukan dengan skim Islam dapat
dilaksanakan dalam beberapa hal, diantaranya adalah melalui pengumpulan dana.
Kegiatan pendanaan berasal dari lembaga keuangan Islam, asuransi Islam dan juga
reksadana Islam dan institusi lainnya yang menghendaki dana mereka dimanfaatkan
menurut prinsip Islam.
PENUTUP
Sebagai kesimpulan dari seluruh pemaparan diatas,
dapat difahami bahwasanya tujuan dari pendirian lembaga BMT maupun modal
ventura hadir sebagai salah satu dari solusi alternative untuk para pengusaha
kecil maupun menengah yang berlandaskan pada sistem syariah, adapun secara
konsep BMT ini berlandaskan pada konsep
sosial yang terjadi pada baitu al-mal pada masa dahulu. Masalah yang
marak terjadi saat ini adalah terdapat sejumlah lembaga yang mengatasnamakan
koperasi ternyata adalah rentenir, sementara itu dominasi ekonomi dan bisnis
etnis tertentu semakin mengkristal dalam struktur ekonomi kerakyatan.
Sekian makalah ini ditulis semoga menambah wawasan dan
informasi bagi yang ingin mendiikan BMT ataupun hanya ekedar ingin
mengetahuiperjalanan perkembangan BMT, leasing dan modal ventura yang merupakan
salah satu unsure dari keseluruhan sistim ekonomi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, aziz dan Mariyah, ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer, Bandung, Alfabeta, 2010
Soematra Adri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Kencana Pramedia
Group, Jakarta, cet. 1, 2009
Aziz Muhammad Amin, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, PINBUK Press,Jakarta
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Mal Wat Tamwil, UII
Press,2004, Yogyakarta.
Muhammad Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan
Keuangan Islam, Muhammadiyah Press,
Surakarta.
Muhammad Abdulkadir, Rilda Muniarti, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan,
Citra Aditya Bakti, 2004, Bandung.
al-Hanafi
Alâ al-din Abu Bakar bin Mas‘ud bin Ahmad al-Kasani, Badâi‘u al-Shanâi‘ fî tartîbi al-Syarâi‘, Dar el-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. ke-2, 1986, jilid. 4.
Zuhaili Wahbah, al-Mu‘âmalah al-mâliyah al-Mu‘âshirah buhûts
wa fatâwa wa hulûl,
Dar el-Fikr, Dimasyq, cet
ke-3, 2006.
Rayyan
Ahmad Ali Thaha, Aqd al-îjâr al-muntahiya bi al-tamlîk;Muhâdharât fȋ Fiqh al-Mu'âmalât al-Mâliyyah al-Mu'âshirah (lajnah min asâtidzah qism fiqh al-muqâran; jâmiah al-Azhar
al-Syarîf).
shalihin Ahmad Ifham, Buku Pintar Ekonomi syariah, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta,
cet. I, 2010.
soemetra Andre, Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah, Kencana Pramedia Group, Jakarta,
Cet 2.2010.
http://rahman8194.blogspot.com/2013/11/baitul-mal-wa-tamwil-bmt.html, diakses pada 14 maret 2015
[1] Abdul, aziz dan
Mariyah, ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer, Bandung, Alfabeta, 2010, h. 115
[2] Adri Soemitra,
M.A., Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Kencana Pramedia Group,
Jakarta, cet. 1, 2009, hal. 452
[5] http://rahman8194.blogspot.com/2013/11/baitul-mal-wa-tamwil-bmt.html, diakses pada 14 maret 2015
[9] Ibid., hal. 459.
[11] ibid., hal. 460.
[12] Muhammad Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan
Keuangan Islam, Muhammadiyah Press, Surakarta.
[13] Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H.,Hum, Rilda Muniarti, S.H., Hum, Lembaga
Keuangan dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, 2004, Bandung, hal. 201.
[14] Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H.,Hum, Rilda Muniarti, S.H., Hum, Lembaga
Keuangan dan Pembiayaan, Op. Cit, hal. 202-203.
[15] Nurul Huda, Muhammad Haekal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan
Teroris Dan Praktis, Op. Cit, hal. 369.
[16] Ibid., hal. 370.
[17] Ibid., hal. 371.
[18] Ibid., hal. 372
[20]‘Alâ al-din Abu Bakar bin Mas‘ud bin Ahmad al-Kasani al-Hanafi,
Badâi‘u al-Shanâi‘ fî tartîbi al-Syarâi‘, Dar el-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut,
cet. ke-2, 1986, jilid. 4, hal 201.
[21] Namun perlu
diperhatikan bahwa kalimat "tidak berhak" disini bukan berarti
melarang melakukan pembayaran upah dimuka. Adapun ulama Hanafiyah dan Malikiyah
sendiri dalam pembahasan "kapan upah wajib dibayarkan?"
mengurainya menjadi tiga kondisi:
1.
Ketika
disyaratkan dalam akad bahwa upah harus dibayar dimuka
2.
Mendahulukan
pembayaran upah oleh penyewa atas inisiatif.
3.
Nyicil bebarengan dengan diterimanya manfaat atas barang yang disewakan.
Dari
sini terlihatlah bahwa ke"tidak berhak"an itu sendiri lebih tepat
diartikan sebagai bentuk larangan, melainkan sekedar anjuran karena hakikat ijârah
adalah akad jual beli manfaat, dan layaknya akad mu‘awadhât, seyogyanya tsaman
diberikan mengikut mabi‘nya guna menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan.
[22] DR. Wahbah
Zuhaili, al-Mu‘âmalah al-mâliyah al-Mu‘âshirah buhûts wa fatâwa wa hulûl,
Dar el-Fikr, Dimasyq, cet ke-3, 2006, hal 394
[24]Ahmad Ali Thaha Rayyan, Aqd al-îjâr al-muntahiya bi
al-tamlîk;Muhâdharât fȋ Fiqh al-Mu'âmalât al-Mâliyyah al-Mu'âshirah (lajnah
min asâtidzah qism fiqh al-muqâran; jâmiah al-Azhar al-Syarîf), t.t, hal.
30-31.
[25]DR. Wahbah Zuhaili, al-Mu‘âmalah al-mâliyah al-Mu‘âshirah buhûts
wa fatâwa wa hulûl, Op.Cit, hal 397.
[26] Namun sekali
lagi pelarangan dalam pola transaksi seperti ini dibantah oleh Dr. Wahbah
Zuhaili dengan alasan adalah hak mutlak (merdeka) bagi pemilik untuk
mentasharrufkan hartanya dengan bentuk apapun selama tidak tidak bertentangan
dengan syar‘i. seperti sengaja menjualnya dengan harga murah ketika
sedang mengalami sakit parah (مزض الموت)
karena akan menghalangi hak ahli waris
[28] Secara terpisah
menurut Dr. Wahbah Zuhaili, dalam madzhab Hanafi meskipun secara global tidak
mengharuskan penetapan janji, namun ketika janji tersebut di ta‘alluqkan
terhadap sesuatu maka otomatis ia menjadi mulzim, dan dalam pola transaksi ini,
dan seperti itulah yang terjadi pada shighat akad ini: "jika kamu
sanggup memenuhi seluruh angsuran sewa yang ada, maka aku akan menjual rumah
ini kepadamu" dan yang semacam ini dianggap masyru‘ dan beriplikasi mulzim (lihat: DR.
Wahbah Zuhaili, al-Mu‘âmalah al-mâliyah al-Mu‘âshirah buhûts wa
fatâwa wa hulûl, Dar el-Fikr, Dimasyq, cet ke-3, 2006, hal 401-402).
[30]Dr. Wahbah Zuhaili, al-Mu‘âmalah al-mâliyah al-Mu‘âshirah buhûts
wa fatâwa wa hulûl, Op.Cit, hal 408-409.
[31] Andre soemetra, Bank
dan Lembaga Keuangan Syariah, Kencana Pramedia Group, Jakarta, Cet 2.2010,
hal.307
[32] Liya Sukma Muliya dan Neni Sri Imaniyati, Perusahaan Modal Ventura dalam Persfektif Hukum
Bisnis dan Hukum Islam, Bandung, 2008, hal.17.
[33] Andre soemetra, Bank
dan Lembaga Keuangan Syariah, Kencana Pramedia Group, Jakarta, Cet 2.2010,hal
312
[37] Liya Sukma Muliya dan Neni Sri Imaniyati, op.cit.,hal. 80.
No comments:
Post a Comment