TauKahAnda

TaukahAnda bertujuan untuk menjangkau informasi yang anda butuhkan dalam segala aspek pengetahuan

Sponsor

Sunday, November 4, 2018

Sumber-sumber Pendapatan dalam Islam


BAB I
Pendahuluan
1.     Latar Belakang
Perkembangan peradaban manusia antara lain ditandai oleh terbentuknya lembaga pemerintahan, baik berupa kerajaan atau negara modern yang berciri demokrasi. Penyelenggaraan kekuasaan untuk menjamin tata tertib kehidupan berdemokrasi tentu membutuhkan biaya. Mekanisme perpajakan adalah cara pokok bagi pemerintahan manapun untuk memobilisasi sumber daya guna menjamin berlangsungnya pemerintahan dan program-program pembangunan yang dijalankannya.
Dalam hal pembiayaan negara, Islam mempunyai sejarah tersendiri yang menarik, keuangan publik berkembang bersamaan dengan perkembangan masyarakat muslim dan pembentukan negara Islam oleh Rasulullah SAW dan di teruskan oleh Khulafaurrasyidin. Kendatipun sebelumnya telah digariskan Al-Quran, dalam hal santunan kepada orang miskin:
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ, لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta),” (QS. al-Ma’arij:24-25)

Ibnu Khaldun menyatakan bahwa lembaga perpajakan merupakan lembaga yang sangat penting bagi negara. Dikatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa bila pemerintah semakin besar nilai belanjanya, atau semakin banyak menggunakan anggaran yang dimilikinya untuk kepentingan pembangunan, maka dampaknya akan semakin baik bagi perekonomian negara tersebut. Dengan adanya anggaran yang cukup untuk dipergunakan oleh negara, maka negara dapat melakukan berbagai hal yang sangat dibutuhkan oleh rakyatnya, termasuk untuk menjamn stabilitas hokum, ekonomi dan politik yang ada di negara tersebut. Dari rangkaian pemikiran Ibnu Khaldun dalam konsep keuangan publik dan perpajakan yang disampaikan dalam karya besarnya tersebut, secara tersirat beliau ingin menyatakan bahwa sangat perlu adanya keterlibatan dari pihak pemerintah dalam masalah pengaturan kegiatan perekonomian ini.[1]

2.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi jizyah, kharâj, ghanimah dan fa’i?
2.      Bagaimana pelaksanaan jizyah, kharâj, ghanimah dan fa’i?
3.      Apa perbedaan antara jizyah, kharâj?
4.      Apa perbedaan antara ghanimah dan fa’i?
5.      Siapa saja yang mendapatkan beban untuk menunaikan jizyah, kharâj, ghanimah dan fa’i?

3.     Tujuan Penulisan
1.      Memberi definisi dari jizyah, kharâj, ghanimah dan fa’i.
2.      Menjelaskan pelaksanaan jizyah, kharâj, ghanimah dan fa’i.
3.      Menjelaskan perbedaan-perbedaan antara jizyah dan  kharâj, ghanimah dan fa’i.
4.      Menyebutkan pihak-pihak yang mendapatkan beban untuk menunaikan jizyah, kharâj, ghanimah dan fa’i.
5.      Melaksanakan tugas.

4.     Metode Penulisan
Makalah ini ditulis berdasarkan studi pustaka, yaitu dengan mengumpulkan beberapa bahan/materi. Disertai pula dengan mengumpulkan beberapa artikel yang dimuat dibeberapa website.

























BAB II
Pembahasan
1.                 Jizyah
A.         Definisi Jizyah
Jizyah diambil dari kata jaza yang memiliki arti suatu imbalan atau balasan. Jizyah secara bahasa adalah nama suatu kharraj (pajak) yang dibebankan kepada kaum non-muslim (ahlu dzimmah) sebagai jaminan keselamatan atau pun perlindungan bagi kaum tersebut yang tinggal di pemerintahan Islam.
Jizyah merupakan salah satu ketentuan bagi kaum non muslim untuk mendapatkan perlindungan khusus dari kaum muslimin. Jizyah terbagi menjadi dua, yaitu  Sulh al-jizah (Perlindungan terhadap kaum lelaki bukan Islam) dan Jizyah al Ru’us (Cukai diri).[2]
Ahli dzimmah disini ialah :
1.                  Kaum Yahudi dan Nasrani sebagaimana dijelaskan dalam Al-quran bahwa mereka merupakan golongan ahlu kitab.
2.                  Orang Majusi
3.                  Golongan keturunan non Arab ( Mawali)

Namun pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, golongan keturunan non Arab dikurangi kadar pembayaran jizyah agar tidak membebankan, serta beliau menggalakan perkawinan campuran antara Arab dan non Arab. Akan tetapi pada zaman kekuasaan Yazid II, pengganti Umar bin Abdul Aziz menetapkan kembali hukum membayar jizyah bagi golongan non Arab ( Mawali) dan dinaikan sebanyak 50 peratus.[3] Pada awalnya jizyah dibayar oleh pemerintah mereka. Namun pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, jizyah diubah sehingga jizyah dikenakan setiap orang.
Dalam ketetapan agama Islam, jizyah tidak diberatkan kepada keseluruhan kaum yang disebutkan diatas. Namun ada beberapa syarat ketentuan dalam membayar jizyah, yaitu:
1.                  Baligh
2.                  Berakal
3.                  Merdeka
4.                  Laki-laki
5.                  Akad jizyah dilakukan terhadap kaum Yahudi, Nasrani, Majusi, Mawali.
Setelah melihat syarat jizyah diatas, dapat disimpulkan bahwa hanya laki-laki saja yang diwajibkan untuk membayar jizyah. Berikut ini golongan yang dibebaskan dari jizyah, seperti:
1.                        Kaum perempuan
2.                        Anak laki-laki yang belum dewasa
3.                        Orang lanjut usia
4.                        Orang cacat karena suatu penyakit (zanim)
5.                        Orang lumpuh
6.                        Orang buta
7.                        Orang melarat (faqir) yang tak mampu berusaha (ghairil mu’tamil)
8.                        Budak belian
9.                        Budak belian yang bekerja untuk memerdekakan
10.                    Para rahib[4]
Jizyah disebutkan sekali dalam Al quran, pada surat At-Taubah ayat 20
الذين آمنوا وهاجروا وجاهدوا في سبيل الله بأموالهم وأنفسهم أعظم درجة عند الله والئك هم الفائزون

B.               Pelaksanaan Jizyah Pada Zaman Pemerintahan Khulafa al-Rasyidin

1.      Zaman Khalifah Abu Bakar al-Siddiq
a.       Beliau telah melakukan beberapa ekspedisi tentera ke kawasan Iraq dan Syria
b.      Ekspedisi di bawah pimpinan Khalid al-Walid dan panglima al-Qu’qa bagi menyaingi kekuatan kerajaan Parsi dan Byzantine(Rome)
c.       Pemimpin Hirah yang tidak memeluk Islam telah bersetuju untuk membayar jizyah kepada kerajaan Islam Madinah setelah diberi 3 pilihan iaitu memeluk Islam,  membayar jizyah atau diperangi
d.      Kadar jizyah yang dibayar ialah sebanyak 19 ribu dirham setahun.
e.       Jizyah dibayar terus kepada kerajaan Islam Madinah.

2.      Zaman Khalifah Umar al-Khattab
a.       Gubernur-gubernur wilayah telah dilantik untuk melaksanakan jizyah ke atas wilayah masing-masing.
b.      Antara kawasan penting yang telah dapat dikuasai ialah Palestin,  Iraq,  Mesir dan Syria.
c.       Wilayah-wilayah tersebut dikehendaki membayar jizyah.
d.      Pemerintah Byzantine yang memerintah Baitulmaqdis telah menandatangani perjanjian damai dengan kerajaan Islam di bawah pimpinan Khalifah Umar  al-Khattab.
e.       Antara  isi kandungan perjanjian tersebut ialah:
                          i.      Kerajaan  Islam memberi jaminan keselamatan nyawa dan harta penduduk
                        ii.      Menjamin  kebebasan beragama
                      iii.      Mereka  dikehendaki membayar jizyah kepada kerajaan Islam
                      iv.      Mereka  diberi hak untuk mengerjakan tanah yang telah   dimiliki sebelumnya dengan syarat membayar cukai kharaj (cukai tanah)
f.       Babylon yang ditawan oleh kerajaan Islam telah bersetuju untuk membayar jizyah.
g.      Rakyat Mesir member jizyah sebanyak 2 dinar setahun.
h.      Syria dikenakan kadar jizyah sebanyak 1, 2, 4 dinar mengikut keupayaan dan kemampuan seseorang kafir zimmi

3.      Zaman Khalifah Uthman bin Affan
a.       Beberapa wilayah berjaya ditakluki seperti Tarablus (Tripoli)- Libya,  Nubah – Sudan dan Qairawan.
b.      Penduduk kawasan tersebut telah meminta perdamaian dan perlindungan daripada kerajaan Islam dan besetuju untuk membayar jizyah.

4.      Zaman Khalifah Ali bin Abu Talib
a.       Perlaksanaan jizyah terus dikuatkuasakan walaupun berlaku kegiatan politik.
b.      Tetapi kadar dan kawasan yang dipungut tidak jelas.
c.       Buktinya,  surat Khalifah Ali kepada al-Asytar al-Nakhaii supaya tidak menolak perjanjian damai yang dihulurkan oleh orang kafir dhimmi yang bersetuju membayar jizyah.[5]

5.      Zaman Pemerintahan Khalifah Abdul Malik
a.      Jizyah boleh dibayar dalam bentuk hasil tanaman. Namun tak lama berselang, ketetapan ini diganti sehingga jizyah diubah menjadi uang tunai.
b.      Diwajibkannya bagi kaum yang bukan keturunan Arab untuk membayar jizyah.

C.                Kadar dan Bentuk Jizyah
Minimal kadar yang wajib di dalam jizyah atas setiap orang kafir adalah satu dinar setiap tahunnya, dan tidak ada batas maksimal dalam ukuran jizyah.
Dan bagi sang imam disunnahkan untuk melakukan tawar menawar dengan orang yang melakukan akad jizyah dengannya.
Kalau demikian, maka bagi imam sunnah menawar dua dinar dari orang yang bertaraf ekonomi menengah, dan empat dinar dari orang kaya, jika memang masing-masing dari mereka bukan orang safih.
Sehingga, jika mereka adalah orang safih, maka sang imam tidak melakukan tawar menawar dengan walinya si safih.
Yang menjadi acuan di dalam ukuran menengah dan kaya adalah di akhir tahun.
Ataupun ketika melakukan perdamaian dengan orang-orang kafir di daerah mereka bukan di daerah islam, maka bagi sang imam disunnahkan mensyaratkan pada mereka agar menjamu orang-orang islam yang sedang singgah di daerah mereka, baik orang-orang yang jihad ataupun tidak, dengan jamuan yang bukan termasuk dari kadar minimal jizyah, yaitu satu dinar setiap tahunnya, jika memang mereka rela dengan tambahan syarat tersebut.[6]
Para ahli fuqaha juga menentukan beberapa kadar jizyah yang diwajibkan bagi beberapa golongan sebagai berikut :
1.      Imam Hanafi membaginya menjadi tiga golongan :
a.       Golongan orang kaya sebanyak 48 dirham
b.      Golongan pertengahan sebanyak 24 dirham
c.       Golongan orang miskin sebanyak 12 dirham
2.      Imam Syafi’i menetapkan minimum per orang sebanyak satu dinar. Dan batas maksimum tergantung pemerintah setempat.
3.      Imam Malik memberikan kebebasan kepada pemerintah tiap wilayah, sehingga ketentuan didukung oleh banyak pihak seperti, Al Tsauri, Abu Ubaid, dan Imam Ahmad. [7]


D.               Konsekuensi Akad Jizyah
Setelah melakukan akad jizyah, ada beberapa konsekuensi yang ditanggung oleh para pembayar jizyah :
1.      Diwajibkan membayar pajak sesuai perjanjian
2.      Hukum-hukum Islam berlaku bagi mereka
3.      Tidak boleh membicarakan segala sesuatu mengenai agam Islam kecuali yang baik-baik
4.      Tidak boleh melakukan sesuatu yang dapat membahayakan umat Islam[8]
Ketentuan diatas merupakan beberapa konsekuensi bagi para pembayar jizyah. Namun, setelah terjadinya akad jizyah kaum muslimin wajib menjaga dan melindungi segenap kaum non muslim (para pembayar jizyah).
E.               Aksesoris Kafir Dzimmi
Para pembayar jizyah dikenal dengn pakaian  Al ghiyar nya.
Al ghiyar adalah merubah pakaian dengan cara si dzimmi menjahitkan pada pakaiannya sesuatu yang berbeda dengan warna pakaiannya, dan sesuatu tersebut diletakkan di bagian pundak.
Bagi orang Yahudi adalah warna kuning, bagi orang Nasrani adalah biru dan bagi orang Majusi adalah warna hitam dan merah.
Ungkapan mushanif ”diberi tanda pengenal” juga terdapat dalam kitab Ar Raudhah.
Mushannif meng-athaf-kan perkataan beliau, “dan mengikat az zunar” pada lafadz “al ghiyar.”
Az zunar adalah tali besar yang diikatkan di perut di atas pakaian, dan tidak cukup meletakkannya di balik pakaian.
Akan tetapi, di dalam kitab al Minhaj, beliau menggungkapkan bahasa, “dan dia, maksudnya orang kafir dzimmi diperintah.”
Dari ungkapan imam an Nawawi ini, tidak bisa diketahui apakah perintahnya adalah wajib atau sunnah, akan tetapi indikasi dari pernyataan al jumhur adalah yang pertama (wajib).[9]


2.                 Kharâj
A.               Definisi Kharâj
Dalam Kamus Kontemporer Arab – Indonesia, Kharâj berarti pajak bumi[10]. Dan Abu Bakr al-Jazairi mendefinisikan makna kharâj dalam kitabnya yang berjudul Minhâjul Muslim dengan pajak yang diwajibkan atas bumi/tanah yang telah dikuasai kamu muslimin melalui peperangan. Dalam hal ini, imam kaum muslimin diberi hak untuk memilih dan memutuskan untuk membagi tanah yang telah dikuasainya tersebut kepada para tentara atau mewakafkannya kepada kaum muslimin dengan catatan wajibnya pengelola tanah tersebut untuk membayar kharâj disetiap tahunnya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan khalifah Umar bin al-Khattab saat beliau telah menguasai bumi Syam, Iraq, dan Mesir[11].
Dan menurut Syaikh Ibrahim bin Sulaiman dalam kitabnya al-Siraj al-Wahhaj, beliau mengatakan bahwasannya kharâj adalah segala hal yang diwajibkan atas tanah sebagaimana upah. Dalam kata lain, kharâj diartikan sebagai kompensasi. Hanya saja kompensasi dalam hal ini menjadi bagian dari hasil pertanian, sedangkan kharâj merupakan ketentuan dari harta yang diwajibkan atasnya pajak. Dalam penjelasan selanjutnya, beliau mengungkapkan dengan hadist yang diriwayatkan oleh Abi al-Hasan. Dalam hadist tersebut dikatakan bahwasannya bumi/tanah yang dambil secara paksa dengan kuda atau hewan tunggangan lainnya, maka bumi/tanah tersebut telah diwakafkan dan dibebankan kepada pengolahnya dan yang menyuburkan tanah tersebut sesuai dengan luas tanah yang telah ditentukan pemimpin wilayah sesuai dengan kemampuannya dalm membayar kharâj. Setengahnya, sepertiganya, atau tiga pertiganya[12].
Dari  definisi diatas, kita dapat memunculkan sebuah poin yang terkandung dalam makna kharâj, yaitu pajak atas tanah atau hasil tanah yang mana tanah tersebut diambil dari tanah non-muslim yang sudah ditaklukan  wilayahnya dan tanah tersebut sudah diambil oleh orang muslim.

B. Perbedaan antara jizyah dan kharâj
1.  Jizyah
a.       Hak  yang diberikan Allah SWT kepada kaum muslim dari orang-orang kafir karena adanya ketundukan mereka kepada pemerintahan Islam.
b.      Jizyah merupakan harta umum yang akan dibagi untuk kemaslahatan umat, wajib diambil setelah melewati 1 tahun dan tidak wajib sebelum 1 tahun.
c.       Jizyah wajib berdasarkan nash Al Qur’an. Allah SWT berfirman :
d.      “ ….sampai mereka membayar jizyah dengan patuh dan mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah [9];29)
e.       Abu Ubaid meriwayatkan hadits dalam kitab Al-Amwal dari Hasan bin Muhammad yang mengatakan : Nabi SAW pernah menukis surat kepada Majusi Hajar untuk mengajak mereka memeluk Islam, “Siapa saja yang memeluk Ilam sebelum ini, serta siapa saja yang tidak diambil jizyah atas dirinya, hendaknya sembelihannya tidak dimakan, dan  kaum wanitanya tidak dinikahi.”
f.       Jizyah wajib diambil dari orang-orang kafir selama mereka tetap kufur dan dikenakan atas setiap orang kafir.
g.      Jizyah tidak diambil dari orang yang tidak mampu.
h.      Jizyah diambil dari kaum pria dan tidak wajib bagi kaum wanita, anak-anak dan orang gila.
i.        Jizyah tidak ditetapkan dengan jumlah tertentu, selain diserahkan kebijakan dan ijtihad khalifah dengan catatan tidak melebihi kemampuan orang yang membayar jizyah.
j.        Ibnu Abi Najih menuturkan; “Aku bertanya kepada Mujahid, “apa alasannya penduduk Syam dikenakan 4 dinar, sedangkan penduduk Yaman hanya 1 dinar?”, Mujahid menjawab, “hal itu hanya untuk mempermudah.” (HR. Al Bukhari).
k.      Jizyah diberlakukan bagi orang-orang yang mampu dan bila merasa keberatan maka dianggap utang atas jizyah tersebut.

2.     Kharâj
a.       Hak yang diberikan oleh Allah SWT kepada kaum muslim dari kaum kafir.
b.      Hak yang dikenakan atas lahan tanah yang telah dirampas dari tangan kaum kafir, baik dengan cara perang atau damai.
c.       Kharaj menurut bahasa arab bermakna al kara’ (sewa) dan al ghullah (hasil). Setiap tanah  yang diambil dari kaum kafir secara paksa, setelah perang diumumkan kepada mereka, dianggap tanah kharajiyah. Jika mereka memeluk islam setelah penaklukan maka status mereka tetap kharajiyah.
d.      Abu Ubaid meriwayatkan hadist dalam kitab An-Amwal dari Az Zuhri yang mengatakan, “Rasulullah saw menerima jizyah dari orang Majusi Bahrain.”
e.       Az-Zuhri menambahkan, “siapa saja di antara mereka yang memeluk Islam, keislamannya diterima, dan keselamatan diri dan hartanya akan dilindungi, selain tanah. Sebab, tanah mereka adalah harta fai’ (rampasan) bagi kaum musli, karena orang tersebut sejak awal tidak menyerah, sehingga dia terlindung.” Maksudnya terlindungi dari kaum muslim.
f.       Jumlah kharaj yang diambil atas tanah dihitung berdasarkan kandungan tanahnya.
g.      Dalam memperkirakan kharaj dengan memperhatikan 3 aspek yaitu berdasarkan luas tanah, luas tanaman, kadar hasil panen.
h.      Bila tanah mengalami perbaikan sehingga menambah hasil panen/tanah terserang faktor-faktor yang bisa mengurangi hasil maka harus  diteliti lebih dahulu.
i.        Bila penambahan hasil panen dikarenakan usaha petani, misal karena mereka telah menggali sumur/membuat saluran air maka mereka tidak ditambah beban pungutan.
j.        Bila berkurangnya hasil panen karena ulah sendiri, misal merusak saluran air maka pungutan mereka tidak dikurangi, mereka diperintahkan memperbaiki alat-alatnya.
k.      Bila bertambah karena ulah negara, misal menggali sumur untuk mereka maka negara boleh menambah pungutan kharaj.
l.        Bila hasil panen berkurang karena ulah negara maka negara wajib mengurangi pungutan kharaj.
m.    Namun bila bertambah dan berkurang karena faktor alam, maka kharaj ditetapkan atas tanah tersebut menurut kadar kandungan sehingga penduduk tidak merasa dizalimi.
n.      Kharaj ditentukan dalam jangka waktu tertentu dan tidak terus-menerus. Ketentuan ini bisa berubah ketika berakhirnya waktu tertentu mengikuti kandungan tanah saat memperkirakan waktu yang baru[13].

C.               Tanah KharÂj dalam islam
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam.

1. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.

2. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut[14].

3.                 Ghanimah
A.               Definisi Ghanimah
 Kalau membahas tentang pendapatan negara, kita tidak bisa terlepas dari yang namanya ghanimah. Ghanimah secara harfiah berarti sesuatu yang diraih melalui suatu usaha sedangkan secara istilah berarti harta yang diperoleh dari hasil perang dengan cara pertempuran[15].
Jadi ghanimah adalah harta yang diperoleh dari hasil perang atau disebut juga dengan harta rampasan perang yang hasilnya dibagi untuk para tentara dengan bagian terbanyak diberikan kepada sang pemimpin kemudian lebihnya untuk kas negara yang digunakan untuk kemashlahatan masyarakat

B.                Hukum-hukum Ghanimah
1.                   Penetapan hak dan kepemilikan ghanimah
Menurut hanafiyah asal hak kepemilikan ghanimah secara umum bergantung pada penyitaan dan perampasan oleh ghanimin. akan tetapi kepemilikan itu tidak ditetapkan, sebelum dilakukan antisipasi serangan balik dikawasan islam. Sedangkan menurut sebagian ulama syiáh zaydiyah dan imamiyah  kepemilikan harta ghanimah berpindah dari pihak musuh ke ghanimin dengan cara penyitaan. Maka ditetapkan kepemilikan atas ghanimah sebelum dilakukan antisipasi serangan balik di kawasan islam.
Sedangkan menurut syafiíyah yang lebih rajih bahwasanya kepemilikan harta musuh itu ditetapkan dengan penyitaan dengan cara membagi-bagi harta tersebut dan memilih kepemilikan akan harta tersebut[16].

2.                  Cara dan Tempat pembagian ghanimah
a. Pembagian ghanimah
I.   20% untuk :
                          i.                   4% imam
                        ii.                   4% fuqara dan fakir miskin
                      iii.                   4% untuk kemashlahatan kaum muslimin
                      iv.                   4% ibnu sabil
                        v.                   4% anak-anak yatim

II.     80% untuk : diserahkan bulat-bulat untuk para tentara islam yang telah berjuang     meninggikan agama islam[17].
b. Tempat pembagian ghanimah
Para jumhur fukaha, zhahiriyah, syiah imamiyah dan ziyadiyah berpendapat bahwasanya boleh pembagian ghanimah di area perperangan sesudah mengalahkan musuh, akan tetapi itu mustahab, karena Rasulullah SAW melakukan ekspedisi dari ji’ranah (suatu tempat antara makkah dan thaif) kemudian membagi ghanimah di hunain (jurang yang jaraknya dengan makkah 3 mil). Rasulullah SAW juga membagi ghanimah di dzilhulaifah (tempat pemberhentian ahli madinah), dan ketika pembebasan negeri bani mushthalaq, Rasulullah SAW membagi harta rampasandinegerimereka.
Sedangkan menurut hanafiyah tidak boleh pembagian ghanimah di area peperangan sampai tentara kembali ke daerah islam. Sebab dilarangnya pembagian ghanimah di area peperangan menurut mereka adalah bahwasanya kepemilikan ghanimah itu dengan penyitaan, dan penyitaan itu tidak terjadi kecuali adanya antisipasi serangan balik di daerah muslim[18]

C.               Harta musuh yang masuk islam sebelum selesainya perang
Apabila seorang musuh masuk islam sebelum selesainya perang bagaimana dampak harta mereka di area perang???
Malikiyah berpendapat bahwasanya harta orang ini bisa faí bisa ghanimah apabila kaum muslim memenagkan perang, sama saja apa mereka tetap di medan perang maupun lari ke negeri islam.
Menurut Hanafiyah, imamiyah dan zaidiyah tanah dan harta yang tetap untuk mereka, sedangkan yang manqul bahwasanya islam melindungi mereka, akan tetapi dengan syarat harta tersebut dibawah kekuasaan yang menang.
Menurut Syafiiyah, hanabilah dan zhahiriyah bahwasanya melindungi harta,baik itu harta yang tetap maupun yang manqul[19].

4.                 Fai’
A.               Definisi Fai’
Fai’ secara bahasa berati ruju’ (kembali). Sedangkan secara istilah adalah harta yang  diambil dari dua kufu yang berperang tanpa terjadinya pertumpahan darah, atau dengan cara damai dari seperti jizyah dan kharraj.
Pada masa Rasulullah SAW fai’itu diperuntukan khusus untuk beliau, Allah berfirman Q.S al-Hasyr ayat 6 yang artinya:
“Dan harta rampasan fai’dari mereka yang diberika Allah kepada Rasul-Nya, kamu tidak memerlukan kuda atau unta untukmendapatkannya, tetapi Allah memberi kekuasaan kepada rasul-rasul-Nya terhadap siapayang Dia kehendaki, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
 Sedangkan masa setelah Rasulullah SAW maka fai’ itu menjadi harta umat muslim, digunakan untuk kemashlahatan umat muslim secara umum. Jadi pada masa sekarang ini fai’ digunakan untuk kemashlahatan umat muslim secara keseluruhan[20].

B.   Pembagian harta fai’
1.             1/5 (20%) :
a.       4% untuk imam (penguasa)
b.       4% untuk kemashlahatan kaum muslimin
c.       4% kaum fakir miskin
d.      4% ibnu sabil
e.       4% anak-anak yatim

2.          4/5 (80%) :
Diberikan bulat-bulat untuk kas negarayang digunakan untuk keperluan kaum muslimin[21].

5.                 PAJAK
A.               Definisi Pajak
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama :
الْعُشْرُ (Al-Usyr)[22] Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”[23]
Pajak telah ada semenjak dahulu. Dahulu pajak ditekankan bagi seluruh penduduk demi kepentingan pihak yang berkuasa. Oleh karenanya banyak sumber yang menyatakan keberatan akan hal ini serta banyak terjadi pemberontakan, ataupun perlawanan dari penduduk setempat. Karena dahulu pajak ditetapkan secara sepihak oleh penguasa pada zamannya. Hingga akhirnya kini setelah melalui proses panjangnya pajak berubah sebagai suatu keputusan dan kebijakan untuk kepentingan rakyat banyak. Pajak merupakan iuran yang wajib dikeluarkan tiap pribadi seseorang yang telah memiliki penghasilan PTKP. Pajak merupakan sumber tertinggi dari pendapatan negara itu sendiri.
Peranan pajak sangatlah penting bagi kehidupan suatu negara karena pajak sebagai salah satu sumber penyokong segala aktivitas kepemerintahan. Baik untuk belanja dan sebagai kas negara, serta pembangunan dan perbaikan jalan juga merupakan beberapa peranan pajak.  
B.               Macam Pajak
Macam pajak yang di pungut oleh pemerintah, antara lain:
a.       Pajak penghasilan (PPH)
b.      Pajak pertambahan nilai barang dan jasa (PPN)
c.       Pajak penjualan atas barang mewah
d.      Pajak bumi dan bangunan (PBB)
e.       Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
f.        Bea materai
g.       Pajak daerah dan retribusi daerah[24]
C.               Fungsi Pajak
Fungsi pajak terbagi menjadi dua, yaitu :
a.       Fungsi budget air (penerimaan) yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Pajak haruslah digunakan untuk membiayai kepentingan penyelenggaraan pemerintahan, oleh sebab itu pajak harus di atur senetral mungkin dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain.
b.       Fungsi regular (mengatur), pajak disamping berfungsi mengisi kas negara, juga berfungsi untuk mengatur sebagai usaha pemerintah untuk turut campur dalam segala bidang guna tercapainya tujuan-tujuan lain pemerintah.
Agar terjadinya kestabilan dalam pajak maka berikut ini syarat dari pemungutan pajak :
1.      Pemungutan pajak harus adil
Pajak mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya :
a.       Dengan mengatur hak dan kewajiban wajib pajak
b.      Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak
c.       Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran
2.      Pengaturan pajak harus berdasarkan UU
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
a.       Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya
b.      Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum
c.       Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para wajib pajak
d.      Pungutan tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. 
3.      Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.

Dalam literatur keuangan negara, ada beberapa teori yang memberikan pembenaran bagi negara untuk memungut pajak dengan cara dipaksa. Adam Smith dalam bukunya Wealth Of Nations mengemukakan empat asas dalam pemungutan pajak, yaitu:
a.       Equality (persamaan), asas ini menekankan bahwa setiap warga negara memiliki kewajiban memberikan sumbangsinya kepada negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing, sesuai dengan perlindungan dan manfaat yang mereka terima dari negara.
b.      Certaintly (kepastian), asas ini menekankan bahwa setiap wajib pajak harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah, dan cara pembayaran pajak. Dalam hal ini kepastian hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subyek dan objek pajak.
c.       Convinency of payment (asas menyenangkan), pajak seharusnya dipungut dari wajib pajak pada waktunya dengan cara yang menyenangkan.
d.      Low cost of collection (asas efisiensi), asas ini menekankan bahwa biaya pemugutan pajak tidak boleh lebih besar dari hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan anggaran negara.
Dalam bidang ekonomi, untuk mencegah agar industri ekonomi dalam negeri karna tidak mampu bersaing dengan hasil produksi luar negeri, maka pemerintah dapat menerapkan pengenaan tarif yang tinggi bagi hasil produksi luar negeri yang ingin masuk ke dalam negeri.
Dalam bidang sosial, kecendrungan masyarakat untuk hidup mewah dapat di minimalisasi dengan mengenakan tarif pajak yang tinggi terhadap barang mewah. Dengan demikian, secara teoritis terjadi redistribusi pendapatan dalam masyarakat. Kebijakan fiskal dianggap sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi perilaku manusia yang dapat dipengaruhi melalui insentif atau meniadakan insentif yang disediakan dengan meningkatkan pemasukan pemerintah (melalui perpajakan, pinjaman, atau jaminan terhadap pengeluaran pemerintah). Dalam teori tentunya, sistem perpajakan yang digunakan oleh negara-negara modern mengusulkan agar berdasarkan teori sosio-politik dan keuntungan sosial maksimum dengan tujuan kesejahteraan umum rakyat.[25]





























BAB III
Penutup
1.                 Kesimpulan

a.       Jizyah adalah pajak kepala yang di bayarkan oleh penduduk dari al-islam (orang yang bukan muslim) kepada pemerintah Islam. Jizyah dimaksudkan sebagai wujud loyalitas mereka kepada pemerintah islam dan konsekuensi dari perlindungan yang diberikan pemerintah islam untuk mereka.
b.      Kharaj adalah pajak atas tanah atau hasil tanah. Yang mana diambil dari tanahnya al-islam (orang yang bukan muslim) yang sudah ditaklukan dan tanah tersebut sudah diambil oleh orang muslim.
c.       Ghanimah adalah harta rampasan perang yang diperoleh umat Islam dari kemenangan perang melawan orang kafir.
d.      Fa'i adalah harta yang didapatkan dari musuh tanpa berperang seperti harta yang tidak bergerah (tanah) atau merupakan harta yang di peroleh dari al-islam secara tunai.
e.       Pajak adalah pemasukan dari umum
.













2.                 Daftar Pustaka

Syuja’, Abi, Kitab Fathul Qarib
Ali, Atabik, et. al., Kamus Kontemporer Arab – Indonesia, Multi Karya Grafika, Yogyakarta, cet. IV,
Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir, MinhÂjul Muslim, Maktabah al-Qayyimah, Cairo,
Ibrahim bin Sulaiman al-BahrÂni, al-Siraj al-Wahhaj, Nasyr al-Islami, cet. I, 1413 H, Abdullah,Addin Abi Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, al-Mughni, jilid 4, DÂr Alamul Kutub, Riyadh, cet. III, 1997,
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hal. 455
Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah
Saini, Ibnu bin Muhammad bin Musa, Nasehat Bijak Tuk Para Pemungut Pajak
https://studiislam.wordpress.com/2007/10/25/jizyah/ diakses pada tanggal 22 Oktober
https://dhenst.wordpress.com/2012/06/13/84/ diakses pada 22 Oktober 2015.
http//justcallmenorm.wordpress.com/ diakses pada 24 Oktober 2015










[4] https://studiislam.wordpress.com/2007/10/25/jizyah/ diakses pada tanggal 22 Oktober 2015
[7] https://alkalinkworld.files.wordpress.com/2009/11/jizyah-dan-e28098usyr.pdf
[8] Abu Syuja’, Kitab Fathul Qarib
[9] Abu Syuja’, Kitab Fathul Qarib
[10] Atabik Ali, et. al., Kamus Kontemporer Arab – Indonesia, Multi Karya Grafika, Yogyakarta, cet. IV, hal. 827
[11] Abu Bakr Jabir al-Jazairi, MinhÂjul Muslim, Maktabah al-Qayyimah, Cairo, hal. 385
[12] Syaikh Ibrahim bin Sulaiman al-BahrÂni, al-Siraj al-Wahhaj, Nasyr al-Islami, cet. I, 1413 H, hal. 101
[13] https://dhenst.wordpress.com/2012/06/13/84/ diakses pada 22 Oktober 2015.
[14] Addin Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, al-Mughni, jilid 4, DÂr Alamul Kutub, Riyadh, cet. III, 1997, hal. 186 
[15] Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hal. 455
[16] Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hal. 456
[17] http//justcallmenorm.wordpress.com/ diakses pada 24 Oktober 2015
[18] Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hal. 464
[19] Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hal. 467
[20] Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hal. 455
[21] Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hal. 456
[22] Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182
[23]   Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Nasehat Bijak Tuk Para Pemungut

No comments:

Sponsor