BAB I
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Perkembangan peradaban manusia
antara lain ditandai oleh terbentuknya lembaga pemerintahan, baik berupa
kerajaan atau negara modern yang berciri demokrasi. Penyelenggaraan kekuasaan untuk menjamin tata
tertib kehidupan berdemokrasi tentu membutuhkan biaya. Mekanisme perpajakan
adalah cara pokok bagi pemerintahan manapun untuk memobilisasi sumber daya guna
menjamin berlangsungnya pemerintahan dan program-program pembangunan yang
dijalankannya.
Dalam hal pembiayaan negara, Islam
mempunyai sejarah tersendiri yang menarik, keuangan publik berkembang bersamaan
dengan perkembangan masyarakat muslim dan pembentukan negara Islam oleh
Rasulullah SAW dan di teruskan oleh Khulafaurrasyidin. Kendatipun sebelumnya
telah digariskan Al-Quran, dalam hal santunan kepada orang miskin:
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ, لِلسَّائِلِ
وَالْمَحْرُومِ
“Dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin)
yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta),”
(QS. al-Ma’arij:24-25)
Ibnu
Khaldun menyatakan bahwa lembaga perpajakan merupakan lembaga yang sangat
penting bagi negara. Dikatakan oleh Ibnu Khaldun bahwa bila pemerintah semakin
besar nilai belanjanya, atau semakin banyak menggunakan anggaran yang dimilikinya
untuk kepentingan pembangunan, maka dampaknya akan semakin baik bagi
perekonomian negara tersebut. Dengan adanya anggaran yang cukup untuk
dipergunakan oleh negara, maka negara dapat melakukan berbagai hal yang sangat
dibutuhkan oleh rakyatnya, termasuk untuk menjamn stabilitas hokum, ekonomi dan
politik yang ada di negara tersebut. Dari rangkaian pemikiran Ibnu Khaldun
dalam konsep keuangan publik dan
perpajakan yang disampaikan dalam karya besarnya tersebut, secara
tersirat beliau ingin menyatakan bahwa sangat perlu adanya keterlibatan dari
pihak pemerintah dalam masalah pengaturan kegiatan perekonomian ini.[1]
2. Rumusan Masalah
1. Apa definisi jizyah, kharâj, ghanimah dan fa’i?
2. Bagaimana pelaksanaan jizyah, kharâj, ghanimah dan
fa’i?
3. Apa perbedaan antara jizyah, kharâj?
4. Apa perbedaan antara ghanimah dan fa’i?
5. Siapa saja yang mendapatkan beban untuk menunaikan jizyah,
kharâj, ghanimah dan fa’i?
3. Tujuan Penulisan
1. Memberi definisi dari jizyah, kharâj, ghanimah dan
fa’i.
2. Menjelaskan pelaksanaan jizyah, kharâj, ghanimah
dan fa’i.
3. Menjelaskan perbedaan-perbedaan antara jizyah
dan kharâj, ghanimah dan fa’i.
4. Menyebutkan pihak-pihak yang mendapatkan beban untuk
menunaikan jizyah, kharâj, ghanimah dan fa’i.
5. Melaksanakan tugas.
4. Metode Penulisan
Makalah ini
ditulis berdasarkan studi pustaka, yaitu dengan mengumpulkan beberapa
bahan/materi. Disertai pula dengan mengumpulkan beberapa artikel yang dimuat dibeberapa
website.
BAB II
Pembahasan
1.
Jizyah
A.
Definisi
Jizyah
Jizyah diambil dari kata jaza yang
memiliki arti suatu imbalan atau balasan. Jizyah secara bahasa adalah
nama suatu kharraj (pajak) yang dibebankan kepada kaum non-muslim (ahlu dzimmah)
sebagai jaminan keselamatan atau pun perlindungan bagi kaum tersebut yang
tinggal di pemerintahan Islam.
Jizyah merupakan salah satu ketentuan bagi
kaum non muslim untuk mendapatkan perlindungan khusus dari kaum muslimin. Jizyah
terbagi menjadi dua, yaitu Sulh
al-jizah (Perlindungan terhadap kaum lelaki bukan Islam) dan Jizyah al
Ru’us (Cukai diri).[2]
Ahli dzimmah disini ialah :
1.
Kaum
Yahudi dan Nasrani sebagaimana dijelaskan dalam Al-quran bahwa mereka merupakan
golongan ahlu kitab.
2.
Orang
Majusi
3.
Golongan
keturunan non Arab ( Mawali)
Namun
pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, golongan keturunan non Arab
dikurangi kadar pembayaran jizyah agar tidak membebankan, serta beliau
menggalakan perkawinan campuran antara Arab dan non Arab. Akan tetapi pada
zaman kekuasaan Yazid II, pengganti Umar bin Abdul Aziz menetapkan kembali
hukum membayar jizyah bagi golongan non Arab ( Mawali) dan dinaikan sebanyak 50
peratus.[3] Pada
awalnya jizyah dibayar oleh pemerintah mereka. Namun pada zaman Khalifah Umar
bin Khattab, jizyah diubah sehingga jizyah dikenakan setiap orang.
Dalam ketetapan agama Islam, jizyah tidak diberatkan kepada
keseluruhan kaum yang disebutkan diatas. Namun ada beberapa syarat ketentuan
dalam membayar jizyah, yaitu:
1.
Baligh
2.
Berakal
3.
Merdeka
4.
Laki-laki
5.
Akad
jizyah dilakukan terhadap kaum Yahudi, Nasrani, Majusi, Mawali.
Setelah melihat syarat jizyah diatas, dapat disimpulkan
bahwa hanya laki-laki saja yang diwajibkan untuk membayar jizyah.
Berikut ini golongan yang dibebaskan dari jizyah, seperti:
1.
Kaum
perempuan
2.
Anak
laki-laki yang belum dewasa
3.
Orang
lanjut usia
4.
Orang
cacat karena suatu penyakit (zanim)
5.
Orang
lumpuh
6.
Orang
buta
7.
Orang
melarat (faqir) yang tak mampu berusaha (ghairil mu’tamil)
8.
Budak
belian
9.
Budak
belian yang bekerja untuk memerdekakan
10.
Para
rahib[4]
Jizyah disebutkan sekali dalam Al quran,
pada surat At-Taubah ayat 20
الذين آمنوا وهاجروا وجاهدوا في سبيل الله بأموالهم وأنفسهم أعظم درجة
عند الله والئك هم الفائزون
B.
Pelaksanaan Jizyah Pada Zaman Pemerintahan
Khulafa al-Rasyidin
1.
Zaman Khalifah Abu Bakar al-Siddiq
a. Beliau telah melakukan beberapa ekspedisi tentera ke kawasan Iraq dan Syria
b. Ekspedisi di bawah pimpinan Khalid al-Walid dan panglima al-Qu’qa bagi
menyaingi kekuatan kerajaan Parsi dan Byzantine(Rome)
c. Pemimpin Hirah yang tidak memeluk Islam telah bersetuju untuk membayar
jizyah kepada kerajaan Islam Madinah setelah diberi 3 pilihan iaitu memeluk
Islam, membayar jizyah atau diperangi
d. Kadar jizyah yang dibayar ialah sebanyak 19 ribu
dirham setahun.
e. Jizyah dibayar terus kepada kerajaan Islam
Madinah.
2.
Zaman Khalifah Umar al-Khattab
a. Gubernur-gubernur wilayah telah dilantik untuk melaksanakan jizyah ke atas wilayah masing-masing.
b. Antara kawasan penting yang telah dapat dikuasai
ialah Palestin, Iraq, Mesir dan Syria.
c. Wilayah-wilayah tersebut dikehendaki membayar jizyah.
d. Pemerintah Byzantine yang memerintah Baitulmaqdis telah menandatangani
perjanjian damai dengan kerajaan Islam di bawah pimpinan Khalifah Umar
al-Khattab.
e. Antara isi kandungan perjanjian tersebut
ialah:
i.
Kerajaan Islam memberi jaminan keselamatan nyawa dan harta penduduk
ii.
Menjamin kebebasan beragama
iii.
Mereka
dikehendaki membayar jizyah kepada kerajaan Islam
iv.
Mereka diberi hak
untuk mengerjakan tanah yang telah dimiliki sebelumnya dengan
syarat membayar cukai kharaj (cukai tanah)
f. Babylon yang ditawan oleh kerajaan Islam telah bersetuju untuk membayar
jizyah.
g. Rakyat Mesir member jizyah sebanyak 2 dinar setahun.
h. Syria dikenakan kadar jizyah sebanyak 1, 2, 4 dinar mengikut keupayaan dan
kemampuan seseorang kafir zimmi
3.
Zaman Khalifah Uthman bin Affan
a. Beberapa wilayah berjaya ditakluki seperti
Tarablus (Tripoli)- Libya, Nubah – Sudan dan Qairawan.
b. Penduduk kawasan tersebut telah meminta
perdamaian dan perlindungan daripada kerajaan Islam dan besetuju untuk membayar
jizyah.
4.
Zaman Khalifah Ali bin Abu Talib
a. Perlaksanaan jizyah terus dikuatkuasakan
walaupun berlaku kegiatan politik.
b. Tetapi kadar dan kawasan yang dipungut tidak jelas.
c. Buktinya, surat Khalifah Ali kepada al-Asytar al-Nakhaii supaya tidak
menolak perjanjian damai yang dihulurkan oleh orang kafir dhimmi yang bersetuju
membayar jizyah.[5]
5. Zaman Pemerintahan Khalifah Abdul Malik
a. Jizyah boleh dibayar dalam bentuk hasil tanaman. Namun tak lama
berselang, ketetapan ini diganti sehingga jizyah diubah menjadi uang tunai.
b. Diwajibkannya bagi kaum yang bukan keturunan Arab untuk membayar
jizyah.
C.
Kadar
dan Bentuk Jizyah
Minimal kadar yang wajib di dalam jizyah atas setiap
orang kafir adalah satu dinar setiap tahunnya, dan tidak ada batas maksimal
dalam ukuran jizyah.
|
Dan bagi sang imam disunnahkan untuk melakukan tawar
menawar dengan orang yang melakukan akad jizyah dengannya.
|
Kalau demikian, maka bagi imam sunnah menawar dua dinar dari orang yang
bertaraf ekonomi menengah, dan empat dinar dari orang kaya, jika memang
masing-masing dari mereka bukan orang safih.
|
Sehingga, jika mereka adalah orang safih, maka sang imam tidak melakukan
tawar menawar dengan walinya si safih.
|
Yang menjadi acuan di dalam ukuran menengah dan kaya adalah di akhir
tahun.
|
Ataupun ketika melakukan perdamaian dengan orang-orang kafir di daerah
mereka bukan di daerah islam, maka bagi sang imam disunnahkan mensyaratkan
pada mereka agar menjamu orang-orang islam yang sedang singgah di daerah
mereka, baik orang-orang yang jihad ataupun tidak, dengan jamuan yang bukan
termasuk dari kadar minimal jizyah, yaitu satu dinar setiap
tahunnya, jika memang mereka rela dengan tambahan syarat tersebut.[6]
|
Para ahli fuqaha juga menentukan beberapa kadar jizyah yang
diwajibkan bagi beberapa golongan sebagai berikut :
1.
Imam
Hanafi membaginya menjadi tiga golongan :
a.
Golongan
orang kaya sebanyak 48 dirham
b.
Golongan
pertengahan sebanyak 24 dirham
c.
Golongan
orang miskin sebanyak 12 dirham
2.
Imam
Syafi’i menetapkan minimum per orang sebanyak satu dinar. Dan batas maksimum
tergantung pemerintah setempat.
3.
Imam
Malik memberikan kebebasan kepada pemerintah tiap wilayah, sehingga ketentuan
didukung oleh banyak pihak seperti, Al Tsauri, Abu Ubaid, dan Imam Ahmad. [7]
D.
Konsekuensi
Akad Jizyah
Setelah melakukan akad jizyah, ada beberapa konsekuensi yang
ditanggung oleh para pembayar jizyah :
1.
Diwajibkan
membayar pajak sesuai perjanjian
2.
Hukum-hukum
Islam berlaku bagi mereka
3.
Tidak
boleh membicarakan segala sesuatu mengenai agam Islam kecuali yang baik-baik
4.
Tidak
boleh melakukan sesuatu yang dapat membahayakan umat Islam[8]
Ketentuan diatas merupakan beberapa konsekuensi bagi para pembayar
jizyah. Namun, setelah terjadinya akad jizyah kaum muslimin wajib menjaga dan
melindungi segenap kaum non muslim (para pembayar jizyah).
E.
Aksesoris
Kafir Dzimmi
Para pembayar jizyah dikenal dengn pakaian Al ghiyar nya.
Al ghiyar adalah merubah pakaian dengan cara
si dzimmi menjahitkan pada pakaiannya sesuatu yang berbeda dengan warna
pakaiannya, dan sesuatu tersebut diletakkan di bagian pundak.
|
||
Bagi orang Yahudi adalah warna kuning, bagi orang Nasrani adalah biru dan
bagi orang Majusi adalah warna hitam dan merah.
Ungkapan mushanif ”diberi tanda pengenal” juga terdapat dalam kitab Ar
Raudhah.
|
||
Mushannif meng-athaf-kan perkataan beliau, “dan mengikat az
zunar” pada lafadz “al ghiyar.”
|
||
Az zunar adalah tali besar yang diikatkan di
perut di atas pakaian, dan tidak cukup meletakkannya di balik pakaian.
|
2. Kharâj
a. Hak
yang diberikan oleh Allah SWT kepada kaum muslim dari kaum kafir.
b. Hak
yang dikenakan atas lahan tanah yang telah dirampas dari tangan kaum kafir,
baik dengan cara perang atau damai.
c. Kharaj
menurut bahasa arab bermakna al kara’ (sewa) dan al ghullah (hasil).
Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir secara paksa, setelah
perang diumumkan kepada mereka, dianggap tanah kharajiyah. Jika mereka
memeluk islam setelah penaklukan maka status mereka tetap kharajiyah.
d.
Abu Ubaid
meriwayatkan hadist dalam kitab An-Amwal dari Az Zuhri yang mengatakan,
“Rasulullah saw menerima jizyah dari orang Majusi Bahrain.”
e.
Az-Zuhri
menambahkan, “siapa saja di antara mereka yang memeluk Islam,
keislamannya diterima, dan keselamatan diri dan hartanya akan dilindungi,
selain tanah. Sebab, tanah mereka adalah harta fai’ (rampasan) bagi kaum
musli, karena orang tersebut sejak awal tidak menyerah, sehingga dia
terlindung.” Maksudnya terlindungi dari kaum muslim.
f. Jumlah
kharaj yang diambil atas tanah dihitung berdasarkan kandungan tanahnya.
g. Dalam
memperkirakan kharaj dengan memperhatikan 3 aspek yaitu berdasarkan luas
tanah, luas tanaman, kadar hasil panen.
h. Bila
tanah mengalami perbaikan sehingga menambah hasil panen/tanah terserang
faktor-faktor yang bisa mengurangi hasil maka harus diteliti lebih
dahulu.
i.
Bila penambahan
hasil panen dikarenakan usaha petani, misal karena mereka telah menggali
sumur/membuat saluran air maka mereka tidak ditambah beban pungutan.
j.
Bila berkurangnya
hasil panen karena ulah sendiri, misal merusak saluran air maka pungutan
mereka tidak dikurangi, mereka diperintahkan memperbaiki alat-alatnya.
k. Bila
bertambah karena ulah negara, misal menggali sumur untuk mereka maka negara
boleh menambah pungutan kharaj.
l.
Bila hasil panen
berkurang karena ulah negara maka negara wajib mengurangi pungutan kharaj.
m. Namun
bila bertambah dan berkurang karena faktor alam, maka kharaj ditetapkan
atas tanah tersebut menurut kadar kandungan sehingga penduduk tidak merasa
dizalimi.
n. Kharaj
ditentukan dalam jangka waktu tertentu dan tidak terus-menerus. Ketentuan
ini bisa berubah ketika berakhirnya waktu tertentu mengikuti kandungan
tanah saat memperkirakan waktu yang baru[13].
C.
Tanah
KharÂj
dalam islam
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
dalam kitabnya Al-Mughni menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi
menjadi dua macam.
1. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.
2. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut[14].
1. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.
2. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut[14].
3.
Ghanimah
A.
Definisi Ghanimah
Kalau membahas tentang
pendapatan negara, kita tidak bisa terlepas dari yang namanya ghanimah.
Ghanimah secara harfiah berarti sesuatu yang diraih melalui suatu usaha
sedangkan secara istilah berarti harta yang diperoleh dari hasil perang
dengan cara pertempuran[15].
Jadi ghanimah adalah harta yang diperoleh dari hasil perang
atau disebut juga dengan harta rampasan perang yang hasilnya dibagi untuk
para tentara dengan bagian terbanyak diberikan kepada sang pemimpin
kemudian lebihnya untuk kas negara yang digunakan untuk kemashlahatan
masyarakat
B.
Hukum-hukum
Ghanimah
1.
Penetapan
hak dan kepemilikan ghanimah
Menurut hanafiyah asal hak kepemilikan ghanimah secara umum
bergantung pada penyitaan dan perampasan oleh ghanimin. akan tetapi
kepemilikan itu tidak ditetapkan, sebelum dilakukan antisipasi serangan
balik dikawasan islam. Sedangkan menurut sebagian ulama syiáh zaydiyah dan
imamiyah kepemilikan harta ghanimah
berpindah dari pihak musuh ke ghanimin dengan cara penyitaan. Maka
ditetapkan kepemilikan atas ghanimah sebelum dilakukan antisipasi serangan
balik di kawasan islam.
Sedangkan menurut syafiíyah yang lebih rajih bahwasanya
kepemilikan harta musuh itu ditetapkan dengan penyitaan dengan cara
membagi-bagi harta tersebut dan memilih kepemilikan akan harta tersebut[16].
2.
Cara dan Tempat pembagian ghanimah
a. Pembagian
ghanimah
I. 20% untuk :
i.
4%
imam
ii.
4%
fuqara dan fakir miskin
iii.
4%
untuk kemashlahatan kaum muslimin
iv.
4%
ibnu sabil
v.
4%
anak-anak yatim
II.
80% untuk : diserahkan bulat-bulat untuk
para tentara islam yang telah berjuang
meninggikan agama islam[17].
b. Tempat pembagian ghanimah
Para jumhur fukaha, zhahiriyah, syiah imamiyah dan ziyadiyah
berpendapat bahwasanya boleh pembagian ghanimah di area perperangan sesudah
mengalahkan musuh, akan tetapi itu mustahab, karena Rasulullah SAW
melakukan ekspedisi dari ji’ranah (suatu tempat antara makkah dan thaif)
kemudian membagi ghanimah di hunain (jurang yang jaraknya dengan makkah 3
mil). Rasulullah SAW juga membagi ghanimah di dzilhulaifah (tempat
pemberhentian ahli madinah), dan ketika pembebasan negeri bani mushthalaq,
Rasulullah SAW membagi harta rampasandinegerimereka.
Sedangkan menurut hanafiyah tidak boleh pembagian ghanimah di
area peperangan sampai tentara kembali ke daerah islam. Sebab dilarangnya
pembagian ghanimah di area peperangan menurut mereka adalah bahwasanya
kepemilikan ghanimah itu dengan penyitaan, dan penyitaan itu tidak terjadi
kecuali adanya antisipasi serangan balik di daerah muslim[18].
C.
Harta
musuh yang masuk islam sebelum selesainya perang
Apabila seorang musuh masuk islam sebelum selesainya perang
bagaimana dampak harta mereka di area perang???
Malikiyah berpendapat bahwasanya harta orang ini bisa faí bisa
ghanimah apabila kaum muslim memenagkan perang, sama saja apa mereka tetap
di medan perang maupun lari ke negeri islam.
Menurut Hanafiyah, imamiyah dan zaidiyah tanah dan harta yang
tetap untuk mereka, sedangkan yang manqul bahwasanya islam melindungi
mereka, akan tetapi dengan syarat harta tersebut dibawah kekuasaan yang
menang.
Menurut Syafiiyah, hanabilah dan zhahiriyah bahwasanya
melindungi harta,baik itu harta yang tetap maupun yang manqul[19].
4.
Fai’
A.
Definisi Fai’
Fai’ secara
bahasa berati ruju’ (kembali). Sedangkan secara istilah adalah harta
yang diambil dari dua kufu yang
berperang tanpa terjadinya pertumpahan darah, atau dengan cara damai dari
seperti jizyah dan kharraj.
Pada masa Rasulullah SAW fai’itu diperuntukan khusus untuk
beliau, Allah berfirman Q.S al-Hasyr ayat 6 yang artinya:
“Dan harta rampasan fai’dari mereka yang diberika Allah kepada
Rasul-Nya, kamu tidak memerlukan kuda atau unta untukmendapatkannya, tetapi
Allah memberi kekuasaan kepada rasul-rasul-Nya terhadap siapayang Dia
kehendaki, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Sedangkan masa setelah Rasulullah
SAW maka fai’ itu menjadi harta umat muslim, digunakan untuk kemashlahatan
umat muslim secara umum. Jadi pada masa sekarang ini fai’ digunakan untuk
kemashlahatan umat muslim secara keseluruhan[20].
B. Pembagian harta fai’
1.
1/5
(20%) :
a. 4% untuk imam (penguasa)
b. 4% untuk kemashlahatan kaum muslimin
c. 4% kaum fakir miskin
d. 4% ibnu sabil
e. 4% anak-anak yatim
2.
4/5
(80%) :
Diberikan bulat-bulat untuk kas negarayang digunakan untuk keperluan
kaum muslimin[21].
5.
PAJAK
A.
Definisi
Pajak
Dalam istilah bahasa Arab, pajak
dikenal dengan nama :
الْعُشْرُ
(Al-Usyr)[22] Adapun
menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada
pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal
menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”[23]
Pajak telah ada semenjak dahulu. Dahulu
pajak ditekankan bagi seluruh penduduk demi kepentingan pihak yang berkuasa.
Oleh karenanya banyak sumber yang menyatakan keberatan akan hal ini serta
banyak terjadi pemberontakan, ataupun perlawanan dari penduduk setempat. Karena
dahulu pajak ditetapkan secara sepihak oleh penguasa pada zamannya. Hingga
akhirnya kini setelah melalui proses panjangnya pajak berubah sebagai suatu
keputusan dan kebijakan untuk kepentingan rakyat banyak. Pajak merupakan iuran
yang wajib dikeluarkan tiap pribadi seseorang yang telah memiliki penghasilan
PTKP. Pajak merupakan sumber tertinggi dari pendapatan negara itu sendiri.
Peranan pajak sangatlah penting bagi
kehidupan suatu negara karena pajak sebagai salah satu sumber penyokong segala
aktivitas kepemerintahan. Baik untuk belanja dan sebagai kas negara, serta
pembangunan dan perbaikan jalan juga merupakan beberapa peranan pajak.
B.
Macam Pajak
Macam pajak yang di pungut oleh
pemerintah, antara lain:
a. Pajak penghasilan (PPH)
b. Pajak pertambahan nilai barang dan
jasa (PPN)
c. Pajak penjualan atas barang mewah
d. Pajak bumi dan bangunan (PBB)
e. Bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan
f. Bea materai
C.
Fungsi Pajak
Fungsi pajak terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Fungsi budget air (penerimaan) yaitu memasukkan uang
sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Pajak haruslah digunakan untuk
membiayai kepentingan penyelenggaraan pemerintahan, oleh sebab itu pajak harus
di atur senetral mungkin dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain.
b. Fungsi regular
(mengatur), pajak disamping berfungsi
mengisi kas negara, juga berfungsi untuk mengatur sebagai usaha pemerintah
untuk turut campur dalam segala bidang guna tercapainya tujuan-tujuan lain pemerintah.
Agar terjadinya kestabilan dalam pajak maka
berikut ini syarat dari pemungutan pajak :
1.
Pemungutan
pajak harus adil
Pajak mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya :
Pajak mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya :
a. Dengan mengatur hak dan kewajiban wajib pajak
b. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat
sebagai wajib pajak
c. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai
dengan berat ringannya pelanggaran
2. Pengaturan pajak harus berdasarkan UU
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
a.
Pemungutan
pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin
kelancarannya
b.
Jaminan
hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum
c.
Jaminan
hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para wajib pajak
d.
Pungutan
tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.
3. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
Dalam literatur keuangan negara,
ada beberapa teori yang memberikan pembenaran bagi negara untuk memungut pajak
dengan cara dipaksa. Adam Smith dalam bukunya Wealth Of Nations mengemukakan empat
asas dalam pemungutan pajak, yaitu:
a. Equality (persamaan), asas ini menekankan
bahwa setiap warga negara memiliki kewajiban memberikan sumbangsinya kepada
negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing,
sesuai dengan perlindungan dan manfaat yang mereka terima dari negara.
b. Certaintly (kepastian), asas ini menekankan
bahwa setiap wajib pajak harus jelas dan pasti
tentang waktu, jumlah, dan cara pembayaran pajak. Dalam hal ini kepastian hukum
sangat dipentingkan terutama mengenai subyek dan objek pajak.
c. Convinency of payment (asas
menyenangkan), pajak seharusnya dipungut dari wajib pajak pada waktunya dengan
cara yang menyenangkan.
d. Low cost of collection
(asas efisiensi), asas ini menekankan bahwa biaya pemugutan pajak tidak boleh
lebih besar dari hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan anggaran negara.
Dalam bidang ekonomi, untuk mencegah agar
industri ekonomi dalam negeri karna tidak mampu bersaing dengan hasil produksi
luar negeri, maka pemerintah dapat menerapkan pengenaan tarif yang tinggi bagi
hasil produksi luar negeri yang ingin masuk ke dalam negeri.
Dalam bidang sosial, kecendrungan
masyarakat untuk hidup mewah dapat di minimalisasi dengan mengenakan tarif
pajak yang tinggi terhadap barang mewah. Dengan demikian, secara teoritis
terjadi redistribusi pendapatan dalam masyarakat. Kebijakan fiskal dianggap
sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi perilaku manusia yang dapat
dipengaruhi melalui insentif atau meniadakan insentif yang disediakan dengan
meningkatkan pemasukan pemerintah (melalui perpajakan, pinjaman, atau jaminan
terhadap pengeluaran pemerintah). Dalam teori tentunya, sistem perpajakan yang
digunakan oleh negara-negara modern mengusulkan agar berdasarkan teori
sosio-politik dan keuntungan sosial maksimum dengan tujuan kesejahteraan umum
rakyat.[25]
BAB III
Penutup
1.
Kesimpulan
a. Jizyah adalah pajak kepala yang di bayarkan oleh
penduduk dari al-islam (orang yang bukan muslim) kepada pemerintah Islam. Jizyah
dimaksudkan sebagai wujud loyalitas mereka kepada pemerintah islam dan
konsekuensi dari perlindungan yang diberikan pemerintah islam untuk mereka.
b. Kharaj adalah pajak atas tanah atau hasil tanah. Yang
mana diambil dari tanahnya al-islam (orang yang bukan muslim) yang sudah
ditaklukan dan tanah tersebut sudah diambil oleh orang muslim.
c. Ghanimah adalah harta rampasan perang yang diperoleh
umat Islam dari kemenangan perang melawan orang kafir.
d. Fa'i adalah harta yang didapatkan
dari musuh tanpa berperang seperti harta yang tidak bergerah (tanah) atau
merupakan harta yang di peroleh dari al-islam secara tunai.
e. Pajak adalah pemasukan dari umum
.
2.
Daftar Pustaka
Syuja’, Abi, Kitab
Fathul Qarib
Ali, Atabik, et.
al., Kamus Kontemporer Arab – Indonesia, Multi Karya Grafika,
Yogyakarta, cet. IV,
Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir, MinhÂjul
Muslim, Maktabah al-Qayyimah, Cairo,
Ibrahim bin Sulaiman al-BahrÂni, al-Siraj al-Wahhaj, Nasyr
al-Islami, cet. I, 1413 H, Abdullah,Addin Abi Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, al-Mughni, jilid 4, DÂr
Alamul Kutub, Riyadh, cet. III, 1997,
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hal. 455
Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam
Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah
Saini, Ibnu bin Muhammad bin Musa, Nasehat Bijak Tuk Para Pemungut Pajak
http://siinonakecil.blogspot.com.eg/2012/05/implementasi-kebijakan-fiskal-islam.html, diakses pada 24 Oktober 2015.
https://alkalinkworld.files.wordpress.com/2009/11/jizyah-dan-e28098usyr.pdf diakses pada 22 Oktober 2015
http://koki-forshort.blogspot.com.eg/2013/05/pelaksanaan-jizyah-pada-zaman-khulafa.html diakses pada tanggal 23 Oktober 2015
http://contohdakwahislam.blogspot.com.eg/2014/03/bab-jizyah.html diakses pada tanggal 22 Oktober 2015
http//justcallmenorm.wordpress.com/ diakses
pada 24 Oktober 2015
[1] http://siinonakecil.blogspot.com.eg/2012/05/implementasi-kebijakan-fiskal-islam.html, diakses pada 24 Oktober 2015.
[2] https://alkalinkworld.files.wordpress.com/2009/11/jizyah-dan-e28098usyr.pdf
diakses pada 22 Oktober 2015
[3] https://fastnote.wordpress.com/jizyah-zaman-umayyah/
diakses pada 22 Oktober 2015
[4] https://studiislam.wordpress.com/2007/10/25/jizyah/
diakses pada tanggal 22 Oktober 2015
[5] http://koki-forshort.blogspot.com.eg/2013/05/pelaksanaan-jizyah-pada-zaman-khulafa.html
diakses pada tanggal 23 Oktober 2015
[6] http://contohdakwahislam.blogspot.com.eg/2014/03/bab-jizyah.html
diakses pada tanggal 22 Oktober 2015
[7] https://alkalinkworld.files.wordpress.com/2009/11/jizyah-dan-e28098usyr.pdf
[8] Abu Syuja’, Kitab Fathul Qarib
[9] Abu Syuja’, Kitab Fathul Qarib
[10] Atabik Ali, et. al., Kamus Kontemporer Arab – Indonesia, Multi
Karya Grafika, Yogyakarta, cet. IV, hal. 827
[11] Abu Bakr Jabir al-Jazairi, MinhÂjul Muslim, Maktabah
al-Qayyimah, Cairo, hal. 385
[12] Syaikh Ibrahim bin Sulaiman al-BahrÂni, al-Siraj al-Wahhaj, Nasyr
al-Islami, cet. I, 1413 H, hal. 101
[13] https://dhenst.wordpress.com/2012/06/13/84/
diakses pada 22 Oktober 2015.
[14] Addin Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, al-Mughni,
jilid 4, DÂr Alamul Kutub, Riyadh, cet. III, 1997, hal. 186
[22] Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah
Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182
[24] http://siinonakecil.blogspot.com.eg/2012/05/implementasi-kebijakan-fiskal-islam.html
diakses pada 23 Oktober 2015
[25] http://siinonakecil.blogspot.com.eg/2012/05/implementasi-kebijakan-fiskal-islam.html
diakses pada 23 Oktober 2015
No comments:
Post a Comment