1.1 Latar Belakang
Syariah adalah kata bahasa Arab yang secara
harfianya berarti jalan yang ditempuh atau garis yang mestinya dilalui. Menurut
ajaran Islam, Syariat itu berasal dari Allah SWT. Sebab itu maka sumber
syariat, sumber hukum dan sumber undang-undang datang dari Allah SWT sendiri
yang disampaikan kepada manusia dengan perantaraan rasul dan termaktub di dalam
kitab-kitab suci. Namun demikian, tidak seperti akidah yang sifatnya konstan,
syariah mengalami perkembangan sesuai dengan kemajuan peradaban manusia. Karena
itu, syariat yang berlaku di zaman Nabi Nuh a.s., berbeda dengan syariat Nabi
Ibrahim a.s. dan nabi-nabi yang lain. Sebabnya ialah karena setiap umat tentu
menghadapi situasi dan kondisi yang khas dan unik, sesuai dengan keadaan mereka
sendiri, hal-ihwal jalan pikirannya serta perkembangan keruhaniannya, jadi
penerapan syariat ini mengikuti evolusi peradaban manusia.
Diantara penerapan syariat yang mengikuti
evolusi peradaban manusia ialah bentuk akad hawalah yang sering diperbincangkan
dewasa ini demi mewujudkan hukum syariat yang sesuai dengan apa yang diajarkan
baginda Rasulullah saw. Perubahan sistem dalam pengaplikasiannya membuat
sebagian pakar hukum syariat memahami
bahwa peradaban manusia terus akan berganti sehingga penerapan hukum
hawalahpun harus mampu masuk dalam dunia global namun harus berpegang pada
ajaran yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
1.2 Rumusan Masalah
Diantara rumusan masalah yang saya rangkumkan di makalah ini ialah :
1. Apa pengertian dan dasar hukum hawalah?
2. Sebutkan rukun, syarat dan jenis-jenis
hawalah serta berakhirnya hawalah?
3. Bagaimana kondisi hawalah kontemporer?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum
hawalah
2. Untuk mengetahui rukun, syarat dan
jenis-jenis hawalah serta berakhirnya hawalah
3. Untuk mengetahui Bagaimana kondisi haswalah
kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Hawalah
2.1.1 Pengertian Hawalah
Al-Hawalah atau Al-Hiwalah kedua bentuk bacaan ini bisa di gunakan baik
dianya Fathah ataupun Kasrah akan tetapi bacaan dengan baris Fathah
ini lebih benar ( أفصح ) artinya secara
bahasa ialah :
النقل من محل إلي
محل
“ pemindahan dari satu tempat ke tempat yang
lain”[1]
Sedangkan pengertian Hawalah menurrut Istilah,
para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, diantaranya ialah :
1. Menurut Ibrahim Al
Bajuri[2]
Hawalah ialah :
نقل الحق من ذمة
المحيل إلي ذمة المحال عليه
“pemindahan
kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”
2. Menurut Hanafiah,
Hawalah ialah :
نقل المطالبة من ذمة
المديون إلي ذمة الملتزم
“memindahkan
tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung
jawab kewajiban pula”
3. Menurut Sayyid
Sabiq[3],
yang di maksud dengan Hawalah ialah pemindahan utang
dari tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal ‘alai.
4. Menurut Taqiyuddin
yang di maksud hiwalah adalah :
انتقال الدين من ذمة
إلي ذمة
“pemindahan
utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”
Dari pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa sistem hawalah ialah memindahkan hutang dari
seseorang kepada orang lain, baik orang yang dialihkan hutang tersebut memiliki
hutang kepada yang memindahkan hutang ataupun tidak, dengan syarat-syarat
tertentu.
2.1.2 Dasar Hukum Hawalah
Hiwalah merupakan akad yang di bolehkan dalam Islam,
yang akad ini menghendaki perpindahan hutang dari suatu tanggungan kepada yang
lain, apabila sudah di pindahkan dan yang dipindahkan tersebut menerimanya maka
wajib baginya untuk menunaikan hutang tersebut.
Islam telah mensyariatkan hawalah dan membolehkannya
disebabkan karena kebutuhan manusia, sebagaimana yang di riwayatkan imam
Bukhari dan Muslim dari abi Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
عن أبي هريرة رضي
الله عنه أن رسول اللع صلى الله عليه و سلم قال : مطل الغني ظلم , و إذا أتبع
أحمدكم على ملئ فليتبع. (متفق عليه)[4]
“orang
kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya, dan jika salah
seorang di antara kamu dihiwalahkan kepada orang kaya maka terimalah”
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang
menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya
dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia
mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih),
dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar). Di dalam hadis ini Rasulullah SAW memerintahkan kepada
pemberi utang, apabila utangnya di pindahkan oleh orang yang berutang kepada
orang kaya (yang mampu membayarnya) maka yang memberikan utang di haruskan[5]
untuk menerimanya.
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az
Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in)
menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama
berpendapat : perintah itu bersifat sunnah.
Di samping itu juga terdapat kesepakatan (ijma’)
diantara ulama mengenai kebolehan hawalah. Hawalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda,
karena hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau
kewajiban finansial.
2.1.2.1 Hakikat Hawalah
Kalangan Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa
Hawalah adalah pengecualian dalam transaksi jual beli, yakni menjual utang
dangan utang. Hal ini karena manusia sangat membutuhkannya. Hal ini juga
merupakan pendapat yang paling dianggap shahih di kalangan Syafi’iah dan juga
menurut salah satu riwayat di kalangan Hanabilah. Dasarnya adalah hadis yang
diriwayatkan imam Bukhari dan Muslim.
Pendapat yang sahih menurut Hanabilah bahwa hawalah
murni transaksi irfaq / إرفاق ( memberi manfaat)
bukan yang lainnya. Karena kalau akad hawalah kita katagorikan akad Mu’awadhat
atau kita namakan dia dengan jual beli maka tentu akad hawalah ini tidak boleh
disebabkan akad hawalah jual beli utang dengan utang dan ini tidak dibolehkan
berpisah sebelum saling serah terima. [6]
2.2 Rukun Hawalah dan Syarat-Syarat Hawalah
Menurut Hanafiah, rukun hawalah hanya satu, yaitu ijab dan Qabul yang
dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Sedangkan
syarat-syaratnya menurut Hanafiah ialah
:
a. Orang yang memindahkan utang ( المحيل), Orang yang menerima hawalah ( محال / محتال ),
orang yang di hawalahkan ( محال عليه ) adalah orang yang berakal, maka batal hawalah yang dilakukan
muhil dalam keadaan gila atau masih kecil
b. Adanya utang muhil
kepada muhal alaihi
Menurut Syafi’iyah, rukun Hawalah itu ada empat :
a. Muhil yaitu orang yang menghawalahkan atau
orang yang memindahkan utang
b. Muhal / Muhtal yaitu orang yang di
hawalahkan, yaitu orang yang mempunyai utang kepada muhil
c. Muhal ‘Alaih yaitu orang yang menerima
hawalah
d. Sighat Hawalah yaitu ijab dari muhil dengan
kata-katanya ; “aku hawalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan “ dan
qabul dari muhtal dengan kata-katanya ; “aku terima hawalah engkau”.[7]
Sementara itu, syarat-syarat hawalah
menurut Sayyid Sabiq adalah :
a. Relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal
alaih, jadi yang harus rela itu muhil dan muhal, sedangkan muhal ‘alaih rela
maupun tidak rela, tidak akan mempengaruhi kesalahan hawalah.
b. Samanya kedua hak, baik jenis maupun
kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas dan kuantitasnya.
c. Stabilnya muhal ‘alaih, maka menghawalahkan
kepada seseorang yang tidak mampu membayar utang adalah batal
d. Hak tersebut diketahui secara jelas
2.2.1 Unsur Kerelaan Dalam
hawalah
a. kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, malikiah dan Syafiiah berpendapat bahwa
kerelaan Muhal adalah wajib dalam hawalah karena utang yang dipindahkan adalah
haknya maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada
yanglainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu
berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanabilah berpendapat bahwa jika Muhal ‘Alaih itu mampu membayar tanpa
menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal wajib menerima pemindahaan itu dan
tidak disyaratkan adanya kerelaan darinya. Sebagaimana yang tertera dalam
Hadis.
b. Kerelaan Muhal ‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, syafiiah dan
Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal ‘Alaih, ini
berdasarkan hadis yang artinya : jika salah seorang di antara kamu
dihiwalahkan kepada orang kaya maka terimalah. Di samping itu, hak ada pada
muhil dan ia boleh menerima sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa disyartkan
adanya kerelaan Muhal ‘Alaih karena setiao orang mempunyai sikap yang berbeda
dalam menyelesaikan urusan utang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu
yang bukan menjadi kewajibannya
Pendapat yang rajah (valid) adalah tidak
disyaratkan adanya kerelaan mhal alaihi dan muhal alaihi akan membayar
hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya.[8]
2.3 Jenis-Jenis Hawalah
Akad Hawalah, dalam praktinya dapat di
bedakan dalam dua kelompok, yaitu :
Pertama, berdasarkan jenis pemindahannya, dan ini terdiri
dari dua jenis hawalah, :
a. Hawalah Dayn :
Hawalah Dayn ialah pemindahan kewajiban melunasi utang kepada orang lain
b. Hawalah Haq :
Hawalah Haq ialah pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain
Kedua,
berdasarkan rukun Hawalahnya dan ini terdiri dari dua jenis hawalah :
a. Hawalah Muthlaqah terjadi jika orang yang
berutang ( المحيل ) kepada yang berpiutang ( المحال )
mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ( المحال عليه ) berutang kepada المحيل .
Jika A berutang kepada B dan A mengalihkan hak
penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan utang piutang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqah.
Ini hanya dalam mazhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan Jumhur ulama
mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah
b. Hawalah Muqayyadah
terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal ‘Alaih karena
yang terakir punya utang kepada Muhal. Inilah Hawalah yang boleh.
Berdasarkan kesepakatan para ulama mazhab,
ketiga mazhab selain mazhab Hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah
Muqayyadah dan mensyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada
muhil dan utang muhal ‘alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun
jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahnya maka sahlah hawalahnya. Tetapi
jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
2.4 Kedudukan Hukum Hawalah
Pertama : jika hawalah
telah disetujui oleh semua pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan ia
kini bebas dari penagihan utang. Demikian menurut jumhur ulama.
Kedua : dengan ditandatanganinya akad hawalah, maka hak penagihan Muhal ini
telah dipindahkan kepada Muhal alaih. Dengan demikian ia memiliki wilayah
penagihan kepadanya.
2.5 Berakhirnya Akad Hawalah
Akad hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini :
1. Karena
dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai
tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan
kembali lagi kepada Muhil.
2. Hilangnya
hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya
akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3. Jika Muhal
alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hawalah
benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4. Meninggalnya
Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah
salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka
berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
5. Jika Muhal
menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia
menerima hibah tersebut.
6. Jika Muhal
menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.
2.6 Hawalah Kontemporer
Dengan berkembangnya perkembangan zaman, maka dunia keilmuan di Fiqh
klasik pun ikut mengikuti perkembangan ini, khususnya dalam mengembangkan
konsep hawalah yang terjadi dewasa ini. Konsep hawalah ini, diantaranya ;
bilyet giro cek bertempo. Dalam hal ini, kita contohkan seorang penulis buku
yang mendapatkan royalti dari sebuah penerbit. Ketika jatuh tempo membayar
royalti, penerbit memberikan giro yang berisi jumlah uang tertentu yang bisa di
cairkan antara penerbit dan bank. Dalam kasus ini, penerbit adalah muhil,
kemudian bank sebagai muhal ‘alaih dan penulis sebagai muhal. Dan masih banyak
contoh lainnya dalam dunia ekonomi global.
2.6.1 Kartu Kredit dan Hawalah
Kartu kredit dewasa ini bukan lagi hanya sekedar gaya
hidup, tetapi merupakan kebutuhan bagi masyarakat modern untuk menunjang semua
aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Semua keperluan bisnis maupun
pribadi, mulai dari membiayai perjalanan dinas, menjamu klien hingga biaya
kelahiran si kecil.
Kartu kredit dalam bahasa Arab disebut bithaqah al
i’timan. Secara bahasa kata bithaqah (kartu) digunakan untuk
potongan kertas kecil atau dari bahan lain yang di atasnya ditulis penjelasan
yang berkaitan dengan potongan kertas itu, sementara kata i’timan secara
bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya. Dalam kebiasaan dalam
dunia usaha artinya pinjaman, yakni yang berasal dari kepercayaan terhadap
peminjam dan sikap amanahnya serta kejujurannya. Oleh sebab itu ia memberikan
dana itu dalam bentuk pinjaman untuk dibayar secara tertunda.
Secara teminologi, kartu kredit adalah kartu yang
dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya
untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu
secara utang. Kartu kredit pada hakikatnya merupakan salah satu instrument
dalam sistem pembayaran sebagai sarana mempermudah proses transaksi yang tidak
tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang berisiko[9]
Pada prinsipnya, cara pembayaran kartu kredit ada dua, yaitu pembayaran
penuh (full payment) dan tidak penuh (minimum payment). Sistem
pembayaran kartu kredit dewasa ini memakai sistem yang kedua yaitu minimum
payment. Untuk kartu kredit yang menggunakan sistem full payment biasa dikenal
dengan charge card. Charge card mewajibkan pembayaran dilakukan secara penuh
tiap bulan atau sebelum jatuh tempo. Sedangkan credit card membolehkan pemegang
kartu untuk menunda pembayaran penuh dan hanya wajib melunasi sejumlah
pembayaran minimum dengan konsekuensi akan dikenakan biaya tambahan.
Penggunaan kartu kredit yang semakin meluas memunculkan beberapa
persoalan jika ditinjau menurut pandangan fiqh Islam. Permasalahan muncul
karena banyaknya pihak yang terlibat dalam transaksi kartu kredit sehingga para
fuqaha kesulitan dalam menetapkan jenis dan berapa akad yang tepat digunakan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa transaksi kartu kredit hanya menggunakan satu
akad saja, sebagian yang lain mengatakan melibatkan enam akad, yaitu kafalah,
wakalah, hawalah, murabahah, qardh, dan ijarah.
Namun kalau kita kaji kembali mengenai kedekatan Kartu kredit dengan
akad yang ada dalam fiqh muamalah, ini lebih erat kaitannya dengan akad
hawalah. Dengan memberikan gambaran bahwa pemegang kartu kredit ( حامل البطاقة )
ketika membeli suatu barang atau jasa maka dia sebenarnya tidak membayar harga
tersebut, melainkan harga tersebut menjadi tanggungannya (utang) untuk si
penjual. Dari proses ini, nampaklah bahwa penjual memberikan utang kepada pemegang kartu kredit ( حامل البطاقة )
dengan harga sesuai apa yang diambilnya, kemudian ketika pemegang kartu kredit ( حامل البطاقة )
meletakkan kartu kreditnya pada mesin struk serta memasukkan nomor kartu kredit
tersebut, maka dengan ini pemegang kartu kredit ( حامل البطاقة )
telah memindahkan tanggungan utangnya kepada pembuat kartu kredit (مصدر البطاقة) yang
dianya telah ridha untuk membayar utang pemegang kartu kredit ( حامل البطاقة )
apabila masih dalam nominal bayaran utang yang disepakati.[10]
Sebagaimana mazhab Hanafiah dan sebagian mazhab
Syafi’iah tidak mensyaratkan sahnya akad hawalah dengan adanya utang Muhal
‘Alaih (dalam hal ini pelakunya adalah BANK) untuk Muhil (pemegang kartu kredit ( حامل البطاقة )),
artinya akad hawalah boleh saja terjadi walaupun muhal ‘alaih tidak berutang
kepada muhil, dengan syarat Muhal ‘Alaih (dalam hal ini pelakunya adalah BANK)
meridhainya.
Dalam praktek Credit Card, istilah yang pas
(sesuai) adalah Hiwalah Haqq, karena terjadi perpindahan menuntut
tagihan (piutang) dari nasabah kepada bank oleh merchant.
2.6.2 Fatwa DSN Tentang Hawalah dan
Pengalihan Hutang
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 58/DSN-MUI/V/2007
Tentang
Hawalah bil Ujrah
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 58/DSN-MUI/V/2007
Tentang
Hawalah bil Ujrah
بِسْمِ
ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah
Menimbang
|
:
|
||
Mengingat :
|
|||
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُوْدِ ...
"Hai
orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu …"
يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ
كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ
الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ
شَيْئًا ...
"Hai
orang yang beriman! Apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis,
dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya …"
مَطْلُ
الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيْءٍ فَلْيَتْبَعْ.
"Menunda-nunda
pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman.
Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya
(dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah"(HR. Bukhari).
الصُّلْحُ
جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ
حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً
أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
"Shulh
(penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) boleh dilakukan di
antara kaum muslimin kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram."
مَنْ
أُحِيْلَ بِحَقِّهِ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَحْتَلْ.
"Siapa
saja yang dialihkan hak-nya pada yang mampu maka dia harus menerima
pengalihan itu."
مَنِ
اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.
"Barang
siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."
"Pada
dasarnya, segala bentuk mu'amalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada dalil
yang mengharamkannya."
"Bahaya
(beban berat) harus dihilangkan."
Memperhatikan :
|
|||
إِنَّ
اْلإِعْتِمَادَاتِ الْمُسْتَنَدِيَّةَ الَّتِيْ يَتَعَهَّدُ فِيْهَا الْبَنْكُ
لِلْمُصَدِّرِ بِدَفْعِ الْمُسْتَحَقَّاتِ لَهُ عَلَى الْمُسْتَوْرِدِ
جَائِزَةٌ، وَاْلأَجْرُ الَّذِيْ يُؤْخَذُ فِيْ مُقَابِلِهَا جَائِزٌ. وَخَرَّجَ
الْجَوَازَ عَلَى أَنَّ طَبِيْعَةَ هَذَا التَّعَامُلِ تَدُوْرُ بَيْنَ
الْوَكَالَةِ وَالْحَوَالَةِ وَالضَّمَانِ. وَالْوَكَالَةُ بِأَجْرٍ لاَ
حُرْمَةَ فِيْهَا، وَكَذَلِكَ الْحَوَالَةُ بِأَجْرٍ. وَالضَّمَانُ بِأَجْرٍ
خَرَّجَهُ عَلَى ثَمَنِ الْجَاهِ الَّذِيْ قِيْلَ فِيْهِ بِالْحُرْمَةِ
وَبِالْكَرَاهَةِ، وَقَالَ بِجَوَازِهِ الشَّافِعِيَّةُ، كَمَا خَرَّجَهُ عَلَى
الْجُعَالَةِ الَّتِيْ أَجَازَهَا الشَّافِعِيَّةُ أَيْضًا.
وَتَحَدَّثَ عَنْ خِطَابَاتِ الضَّمَانِ وَأَنْوَاعِهَا، وَهِيَ الَّتِيْ يَتَعَهَّدُ فِيْهَا الْبَنْكُ بِمَكْتُوْبٍ يُرْسِلُهُ --بِنَاءً عَلَى طَلَبِ عَمِيْلِهِ-- إِلَى دَائِنِ الْعَمِيْلِ يَضْمَنُ فِيْهِ تَنْفِيْذَ الْعَمِيْلِ لاِلْتِزَامَاتِهِ، وَقَالَ إِنَّهَا جَائِزَةٌ. وَخَرَّجَ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهَا وَكَالَةٌ أَوْ كَفَالَةٌ، وَهُمَا جَائِزَتَانِ، وَالْعُمُوْلَةُ عَلَيْهِمَا لاَ حُرْمَةَ فِيْهَا. وَاعْتَمَدَ فِيْ دِرَاسَتِهِ عَلَى الْمَرَاجِعِ وَالْمَصَادِرِ الاِقْتِصَادِيَّةِ وَعَلَى كُتُبِ الْفِقْهِ فِي الْمَذَاهِبِ الْمُخْتَلِفَةِ.
"Letter
of Credit (L/C) yang berisi ketetapan bahwa bank berjanji kepada eksportir
untuk membayar hak-haknya (eksportir) atas importir adalah boleh. Upah yang
diterima oleh bank sebagai imbalan atas penerbitan L/C adalah boleh. Hukum
"boleh" ini oleh Muhsthafa al-Hamsyari didasarkan pada karakteristik
muamalah L/C tersebut yang berkisar pada akad wakalah, hawalah dan dhaman
(kafalah). Wakalah dengan imbalan (fee) tidak haram; demikian juga (tidak
haram) hawalah dengan imbalan.
Adapun dhaman (kafalah) dengan imbalan oleh Musthafa al-Hamsyari disandarkan pada imbalan atas jasa jah (dignity, kewibawaan) yang menurut mazhab Syafi'i, hukumnya boleh (jawaz) walaupun menurut beberapa pendapat yang lain hukumnya haram atau makruh. Musthafa al-Hamsyari juga menyandarkan dhaman (kafalah) dengan imbalan pada ju'alah yang dibolehkan oleh madzhab Syafi'i. Mushthafa 'Abdullah al-Hamsyari juga berpendapat tentang bank garansi dan berbagai jenisnya. Bank garansi adalah dokumen yang diberikan oleh bank --atas permohonan nasabahnya-- yang berisi jaminan bank bahwa bank akan memenuhi kewajiban-kewajiban nasabahnya terhadap rekanan nasabah. Musthafa menyatakan bahwa bank garansi hukumnya boleh. Bank garansi tersebut oleh Musthafa disejajarkan dengan wakalah atau kafalah; dan kedua akad ini hukumnya boleh. Demikian juga pengambilan imbalan (fee) atas kedua akad itu tidak diharamkan.
|
|||
MEMUTUSKAN
Menetapkan
|
:
|
FATWA
TENTANG HAWALAH BIL UJRAH
|
Pertama : Ketentuan
Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan
|
||
Kedua : Ketentuan
Akad
|
||
Ketiga : Ketentuan
Penutup
|
Ditetapkan di
|
:
|
Jakarta
|
Tanggal
|
:
|
13 Jumadil
Awal 1428 H
30 Mei
2007 M
|
DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
2.6.3 Aplikasi Lainnya di Bank Syariah
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya
diterapkan pada hal-hal berikut, diantaranya :
a. Factoring atau anjak piutang : dimana para
nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu
kepada bank, bank lalu membayar piutang nasabah tersebut dan bank menagihnya
dari pihak ketiga itu.
b. Post-date check : dimana bank bertindak
sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
c. Bill discounting : secara prinsip bill
discounting serupa dengan hawalah. Hanya saja dalam bill discounting nasabah
harus membayar fee, sedangkan pembahasa fee tidak didapati dalam kontrak
hawalah.[11]
d. Design Akad Pembiayaan Take Over
Perlu
diketahui bahwa dalam syari’at Islam, akad jual beli, baik dengan pembayaran
kontan alias lunas atau dicicil/kredit adalah salah satu bentuk akad yang
mengikat, dan bersifat otomatis. Bersifat mengikat maksudnya adalah
masing-masing dari pihak terkait tidak dapat membatalkan akadnya kecuali atas
izin dari pihak kedua. Dan bersifat otomatis maksudnya adalah memindahkan hak;
hak terhadap barang berpindah kepada pembeli seusai akad dan hak atas
pembayaran/uang berpindah langsung kepada penjual.
Dengan
demikian, pada kasus di atas, hak kepemilikan rumah sepenuhnya telah menjadi
milik pembeli, yaitu saudara Aris Mukmin. Dan selanjutnya secara syariat,
saudara Aris Mukmin berhak sepenuhnya untuk menjual kembali rumah tersebut atau
menghibahkannya kepada orang lain.
Bila hal
ini telah diketahui, maka saudara Aris Mukmin secara hukum syari’at pada kasus
di atas memiliki dua solusi:
1. Menjual rumah kepada orang lain dengan
pembayaran kontan, dan dengan hasil penjualan ini ia bisa melunasi sisa kredit
yang belum terbayar, sehingga segera bisa mendapatkan surat kepemilikan rumah
dan surat tersebut segera ia serahkan kepada pembeli kedua rumah tersebut.
Masalah surat menyurat rumah, itu adalah sebatas urusan admisnistrasi, tidak
merubah status kepemilikan dalam syari’at. Sehingga bila pembeli rela untuk
menunggu penyerahan surat menyurat hingga beberapa waktu, sampai pembeli
pertama selesai melunasi tagihannya, maka itu tidak mengapa.
2. Menjual
rumah dengan segala tanggung jawab yang berkaitan dengan rumah itu. Yaitu
kewajiban melunasi sisa cicilan kredit yang belum terbayar. Kasus oper kredit
seperti ini, merupakan salah satu aplikasi nyata transaksi hawalah (transfer
piutang). Dan Hawalah ialah salah satu akad yang dibenarkan dalam syari’at,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Penunda-nundaan
orang yang telah kecukupan adalah perbuatan zhalim, dan bila tagihan salah
seorang darimu dipindahkan kepada orang lain yang berkecukupan, hendaknya ia
menurut/menerima.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hanya
saja pada kasus diatas, yang terjadi bukan hanya transfer piutang belaka, akan
tetapi bersatu dengan akad jual beli dalam satu waktu. Karena pada kasus
semacam ini, kreditur pertama biasanya telah membayar cicilan beberapa kali,
dan sisa cicilannyalah yang hendak ditransferkan kepada orang lain. Tapi itu
tidak mengapa, karena tidak menyebabkan terjadinya riba atau penipuan atau
ketidak jelasan.
Hanya
saja yang perlu diwaspadai pada kasus perkreditan rumah atau kendaraan bermotor
atau yang serupa, biasanya tidak dilakukan langsung kepada pemilik barang,
yaitu developer atau dealer. Perkreditan biasanya melibatkan pihak ketiga,
sebagaimana yang diisyaratkan pada kasus di atas, yaitu BTN atau yang serupa.
Pada kasus ini biasanya BTN bukanlah pemilik barang (rumah) akan tetapi BTN
hanya sebatas membiayai perkreditan ini. BTN memanfaatkan kesempatan untuk
menjalankan praktek ribanya. BTN mengiming-imingi pemilik barang yaitu
perusahaan developer dengan mendapatkan haknya berupa pembayaran tunai.
Sebagaimana BTN juga mengiming-imingi pembeli (nasabah) dengan pembayaran
secara bertahap alias dicicil, bukan ke developer akan tetapi cicilan
dibayarkan ke BTN.
Bila itu
yang terjadi maka perkreditan semacam ini adalah perkreditan yang tidak
dibenarkan dalam syari’at karena mengandung unsur riba.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hiwalah adalah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada
tanggungan orang lain. Rukun hiwalah :
1. Muhil
2. Muhal
3. Muhal
„alaih
4.Utang
muhil kepada muhal
5.Utang
muhal „alaih kepada muhal
6.Sighat
Praktek hiwalah tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pada umumnya namun
praktek ini juga diterapkan oleh Bank Syariah sebagai salah satu bentuk
pelayanan jasa dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Fatwa DSN
No. 12/DSN-MUI/IV/2000
3.2 Saran
Demikianlah
makalah tentang Pemindahan utang piutang (Hawalah) yang dapat kami uraikan,
semoga memberikan manfaat bagi kita dan dapat menambah khazanah keilmuan,
khususnya mengenai bahasan dalam Fiqh Mu’amalah.
Kami
menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar,
kami juga manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan
makalah kami selanjutmya.
[1] Abdurrahman al Jaziri, al Fiqh ‘Ala Madzahib
al-Arba’ah, Dar al Kutb al Ilmiyah, Bairut, 2003, jild 3, hlm 185
Dalam riwayat lain :
ومَن
أُحِيل على مليء فليَتْبَعْ (في أحكام الحوالة، ينظر: فتح القدير 5/444، بداية
المجتهد 2/294، المهذب 1/337، مغني المحتاج 2/193، المغني 4/522، كشاف القناع
3/473، الشرح الكبير 3/225، الموسوعة الفقهية الكويتية 95).
[5] Lafadh perintah
untuk melakukan yang ada dalam hadis ( فليتبع ) apakah mengandung perintah lazim (wajib) atau
ghairu lazim (sunnah).? Disini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama,
Pertama : menurut Hanabilah, Ibn Jarir, Abu Tsaur, Adh Dhahiriah bahwa pemberi
utang ( الدائن ) wajib menerima pemindahan
tersebut apabila yang berutang (المدين ( memindahkannya kepada orang kaya (yang
mampu membayarnya) berpedoman terhadap hadis diatas.
Kedua : menurut pendapat Jumhur ulama bahwa
perintah yang ada dalam hadis tidaklah mengandung lazim, tetapi perintah yang
mengandung makna istihbab
[8] Abdullah bin
Muhammad ath Thayyar, ensiklopedi Fiqh Muamalah Dalam Pandangan 4 Madzhab,
Maktabah al Hanif, Yogyakarta, 2004, cet I, hlm. 215-216
[9] Abdullah al
Mushlih & Shalah ash Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli,di
akses pada tanggal 13 April 2017 dari website : http://www.alsofwah.or.id/index.php/pilih=lihatanalisa&parent_id296&parent_section=an020&id judul=295
[10] Sekelompok Guru Fakultas
Fiqh Perbandingan, Fiqh Kontemporer, Universitas al Azhar, Kairo, t.t.
hlm. 171
No comments:
Post a Comment