TauKahAnda

TaukahAnda bertujuan untuk menjangkau informasi yang anda butuhkan dalam segala aspek pengetahuan

Sponsor

Thursday, November 29, 2018

Akad Hawalah Dalam Islam




1.1  Latar Belakang
Syariah adalah kata bahasa Arab yang secara harfianya berarti jalan yang ditempuh atau garis yang mestinya dilalui. Menurut ajaran Islam, Syariat itu berasal dari Allah SWT. Sebab itu maka sumber syariat, sumber hukum dan sumber undang-undang datang dari Allah SWT sendiri yang disampaikan kepada manusia dengan perantaraan rasul dan termaktub di dalam kitab-kitab suci. Namun demikian, tidak seperti akidah yang sifatnya konstan, syariah mengalami perkembangan sesuai dengan kemajuan peradaban manusia. Karena itu, syariat yang berlaku di zaman Nabi Nuh a.s., berbeda dengan syariat Nabi Ibrahim a.s. dan nabi-nabi yang lain. Sebabnya ialah karena setiap umat tentu menghadapi situasi dan kondisi yang khas dan unik, sesuai dengan keadaan mereka sendiri, hal-ihwal jalan pikirannya serta perkembangan keruhaniannya, jadi penerapan syariat ini mengikuti evolusi peradaban manusia.
Diantara penerapan syariat yang mengikuti evolusi peradaban manusia ialah bentuk akad hawalah yang sering diperbincangkan dewasa ini demi mewujudkan hukum syariat yang sesuai dengan apa yang diajarkan baginda Rasulullah saw. Perubahan sistem dalam pengaplikasiannya membuat sebagian pakar hukum syariat memahami  bahwa peradaban manusia terus akan berganti sehingga penerapan hukum hawalahpun harus mampu masuk dalam dunia global namun harus berpegang pada ajaran yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.

1.2  Rumusan Masalah
Diantara rumusan masalah yang saya rangkumkan di makalah ini ialah :
1.      Apa pengertian dan dasar hukum hawalah?
2.      Sebutkan rukun, syarat dan jenis-jenis hawalah serta berakhirnya hawalah?
3.      Bagaimana kondisi hawalah kontemporer?


1.3  Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum hawalah
2.      Untuk mengetahui rukun, syarat dan jenis-jenis hawalah serta berakhirnya hawalah
3.      Untuk mengetahui Bagaimana kondisi haswalah kontemporer

















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Hawalah
2.1.1 Pengertian Hawalah
Al-Hawalah atau Al-Hiwalah kedua bentuk bacaan ini bisa di gunakan baik dianya Fathah ataupun Kasrah akan tetapi bacaan dengan baris Fathah ini lebih benar ( أفصح ) artinya secara bahasa ialah :
النقل من محل إلي محل
“ pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain”[1]            
Sedangkan pengertian Hawalah menurrut Istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, diantaranya ialah :
1.      Menurut Ibrahim Al Bajuri[2] Hawalah ialah :
نقل الحق من ذمة المحيل إلي ذمة المحال عليه
“pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”
2.      Menurut Hanafiah, Hawalah ialah :
نقل المطالبة من ذمة المديون إلي ذمة الملتزم
“memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula”
3.      Menurut Sayyid Sabiq[3], yang di maksud dengan Hawalah ialah pemindahan utang dari tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal ‘alai.
4.      Menurut Taqiyuddin yang di maksud hiwalah adalah :
انتقال الدين من ذمة إلي ذمة
“pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem hawalah ialah memindahkan hutang dari seseorang kepada orang lain, baik orang yang dialihkan hutang tersebut memiliki hutang kepada yang memindahkan hutang ataupun tidak, dengan syarat-syarat tertentu.
2.1.2 Dasar Hukum Hawalah
Hiwalah merupakan akad yang di bolehkan dalam Islam, yang akad ini menghendaki perpindahan hutang dari suatu tanggungan kepada yang lain, apabila sudah di pindahkan dan yang dipindahkan tersebut menerimanya maka wajib baginya untuk menunaikan hutang tersebut.
Islam telah mensyariatkan hawalah dan membolehkannya disebabkan karena kebutuhan manusia, sebagaimana yang di riwayatkan imam Bukhari dan Muslim dari abi Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول اللع صلى الله عليه و سلم قال : مطل الغني ظلم , و إذا أتبع أحمدكم على ملئ فليتبع. (متفق عليه)[4]
“orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya, dan jika salah seorang di antara kamu dihiwalahkan kepada orang kaya maka terimalah”
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar). Di dalam hadis ini Rasulullah SAW memerintahkan kepada pemberi utang, apabila utangnya di pindahkan oleh orang yang berutang kepada orang kaya (yang mampu membayarnya) maka yang memberikan utang di haruskan[5] untuk menerimanya.
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah itu bersifat sunnah.
Di samping itu juga terdapat kesepakatan (ijma’) diantara ulama mengenai kebolehan hawalah. Hawalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial. 
2.1.2.1 Hakikat Hawalah
Kalangan Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa Hawalah adalah pengecualian dalam transaksi jual beli, yakni menjual utang dangan utang. Hal ini karena manusia sangat membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang paling dianggap shahih di kalangan Syafi’iah dan juga menurut salah satu riwayat di kalangan Hanabilah. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan imam Bukhari dan Muslim.
Pendapat yang sahih menurut Hanabilah bahwa hawalah murni transaksi irfaq / إرفاق ( memberi manfaat) bukan yang lainnya. Karena kalau akad hawalah kita katagorikan akad Mu’awadhat atau kita namakan dia dengan jual beli maka tentu akad hawalah ini tidak boleh disebabkan akad hawalah jual beli utang dengan utang dan ini tidak dibolehkan berpisah sebelum saling serah terima. [6]


2.2 Rukun Hawalah dan Syarat-Syarat Hawalah
Menurut Hanafiah, rukun hawalah hanya satu, yaitu ijab dan Qabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Sedangkan syarat-syaratnya menurut  Hanafiah ialah :
a.       Orang yang memindahkan utang ( المحيل), Orang yang menerima hawalah ( محال / محتال ), orang yang di hawalahkan (  محال عليه ) adalah orang yang berakal, maka batal hawalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masih kecil
b.      Adanya utang muhil kepada muhal alaihi
Menurut Syafi’iyah, rukun Hawalah itu ada empat :
a.       Muhil yaitu orang yang menghawalahkan atau orang yang memindahkan utang
b.      Muhal / Muhtal yaitu orang yang di hawalahkan, yaitu orang yang mempunyai utang kepada muhil
c.       Muhal ‘Alaih yaitu orang yang menerima hawalah
d.      Sighat Hawalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya ; “aku hawalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan “ dan qabul dari muhtal dengan kata-katanya ; “aku terima hawalah engkau”.[7]
Sementara itu, syarat-syarat hawalah menurut Sayyid Sabiq adalah :
a.       Relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal alaih, jadi yang harus rela itu muhil dan muhal, sedangkan muhal ‘alaih rela maupun tidak rela, tidak akan mempengaruhi kesalahan hawalah.
b.      Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas dan kuantitasnya.
c.       Stabilnya muhal ‘alaih, maka menghawalahkan kepada seseorang yang tidak mampu membayar utang adalah batal
d.      Hak tersebut diketahui secara jelas
2.2.1 Unsur Kerelaan  Dalam hawalah
a. kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, malikiah dan Syafiiah berpendapat bahwa kerelaan Muhal adalah wajib dalam hawalah karena utang yang dipindahkan adalah haknya maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yanglainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanabilah berpendapat bahwa jika Muhal ‘Alaih itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal wajib menerima pemindahaan itu dan tidak disyaratkan adanya kerelaan darinya. Sebagaimana yang tertera dalam Hadis.
b. Kerelaan Muhal ‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, syafiiah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal ‘Alaih, ini berdasarkan hadis yang artinya : jika salah seorang di antara kamu dihiwalahkan kepada orang kaya maka terimalah. Di samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerima sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.

Hanafiah berpendapat bahwa disyartkan adanya kerelaan Muhal ‘Alaih karena setiao orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan utang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya

Pendapat yang rajah (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan mhal alaihi dan muhal alaihi akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya.[8]
2.3 Jenis-Jenis Hawalah
Akad Hawalah, dalam praktinya dapat di bedakan dalam dua kelompok, yaitu :
Pertama, berdasarkan jenis pemindahannya, dan ini terdiri dari dua jenis hawalah, :
a.       Hawalah Dayn :
Hawalah Dayn ialah pemindahan kewajiban melunasi utang kepada orang lain
b.      Hawalah Haq :
Hawalah Haq ialah pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain
 Kedua, berdasarkan rukun Hawalahnya dan ini terdiri dari dua jenis hawalah :
a.       Hawalah Muthlaqah terjadi jika orang yang berutang ( المحيل ) kepada yang berpiutang ( المحال ) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ( المحال عليه ) berutang kepada المحيل .
Jika A berutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan utang piutang  kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqah. Ini hanya dalam mazhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan Jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah

b.      Hawalah Muqayyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal ‘Alaih karena yang terakir punya utang kepada Muhal. Inilah Hawalah yang boleh.
Berdasarkan kesepakatan para ulama mazhab, ketiga mazhab selain mazhab Hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah Muqayyadah dan mensyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal ‘alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahnya maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
2.4 Kedudukan Hukum Hawalah
Pertama : jika hawalah telah disetujui oleh semua pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan ia kini bebas dari penagihan utang. Demikian menurut jumhur ulama.
Kedua : dengan ditandatanganinya akad hawalah, maka hak penagihan Muhal ini telah dipindahkan kepada Muhal alaih. Dengan demikian ia memiliki wilayah penagihan kepadanya.


2.5 Berakhirnya Akad Hawalah
Akad hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini :
1.     Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi kepada Muhil.
2.     Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3.     Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4.     Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
5.     Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
6.     Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.

2.6 Hawalah Kontemporer
Dengan berkembangnya perkembangan zaman, maka dunia keilmuan di Fiqh klasik pun ikut mengikuti perkembangan ini, khususnya dalam mengembangkan konsep hawalah yang terjadi dewasa ini. Konsep hawalah ini, diantaranya ; bilyet giro cek bertempo. Dalam hal ini, kita contohkan seorang penulis buku yang mendapatkan royalti dari sebuah penerbit. Ketika jatuh tempo membayar royalti, penerbit memberikan giro yang berisi jumlah uang tertentu yang bisa di cairkan antara penerbit dan bank. Dalam kasus ini, penerbit adalah muhil, kemudian bank sebagai muhal ‘alaih dan penulis sebagai muhal. Dan masih banyak contoh lainnya dalam dunia ekonomi global.
2.6.1 Kartu Kredit dan Hawalah
Kartu kredit dewasa ini bukan lagi hanya sekedar gaya hidup, tetapi merupakan kebutuhan bagi masyarakat modern untuk menunjang semua aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Semua keperluan bisnis maupun pribadi, mulai dari membiayai perjalanan dinas, menjamu klien hingga biaya kelahiran si kecil.
Kartu kredit dalam bahasa Arab disebut bithaqah al i’timan. Secara bahasa kata bithaqah (kartu) digunakan untuk potongan kertas kecil atau dari bahan lain yang di atasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas itu, sementara kata i’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya. Dalam kebiasaan dalam dunia usaha artinya pinjaman, yakni yang berasal dari kepercayaan terhadap peminjam dan sikap amanahnya serta kejujurannya. Oleh sebab itu ia memberikan dana itu dalam bentuk pinjaman untuk dibayar secara tertunda.
Secara teminologi, kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara utang. Kartu kredit pada hakikatnya merupakan salah satu instrument dalam sistem pembayaran sebagai sarana mempermudah proses transaksi yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang berisiko[9]
Pada prinsipnya, cara pembayaran kartu kredit ada dua, yaitu pembayaran penuh (full payment) dan tidak penuh (minimum payment). Sistem pembayaran kartu kredit dewasa ini memakai sistem yang kedua yaitu minimum payment. Untuk kartu kredit yang menggunakan sistem full payment biasa dikenal dengan charge card. Charge card mewajibkan pembayaran dilakukan secara penuh tiap bulan atau sebelum jatuh tempo. Sedangkan credit card membolehkan pemegang kartu untuk menunda pembayaran penuh dan hanya wajib melunasi sejumlah pembayaran minimum dengan konsekuensi akan dikenakan biaya tambahan.
Penggunaan kartu kredit yang semakin meluas memunculkan beberapa persoalan jika ditinjau menurut pandangan fiqh Islam. Permasalahan muncul karena banyaknya pihak yang terlibat dalam transaksi kartu kredit sehingga para fuqaha kesulitan dalam menetapkan jenis dan berapa akad yang tepat digunakan. Sebagian ulama berpendapat bahwa transaksi kartu kredit hanya menggunakan satu akad saja, sebagian yang lain mengatakan melibatkan enam akad, yaitu kafalah, wakalah, hawalah, murabahah, qardh, dan ijarah.
Namun kalau kita kaji kembali mengenai kedekatan Kartu kredit dengan akad yang ada dalam fiqh muamalah, ini lebih erat kaitannya dengan akad hawalah. Dengan memberikan gambaran bahwa pemegang kartu kredit ( حامل البطاقة ) ketika membeli suatu barang atau jasa maka dia sebenarnya tidak membayar harga tersebut, melainkan harga tersebut menjadi tanggungannya (utang) untuk si penjual. Dari proses ini, nampaklah bahwa penjual memberikan utang kepada  pemegang kartu kredit ( حامل البطاقة ) dengan harga sesuai apa yang diambilnya, kemudian ketika pemegang kartu kredit ( حامل البطاقة ) meletakkan kartu kreditnya pada mesin struk serta memasukkan nomor kartu kredit tersebut, maka dengan ini pemegang kartu kredit ( حامل البطاقة ) telah memindahkan tanggungan utangnya kepada pembuat kartu kredit (مصدر البطاقة) yang dianya telah ridha untuk membayar utang pemegang kartu kredit ( حامل البطاقة ) apabila masih dalam nominal bayaran utang yang disepakati.[10]
Sebagaimana mazhab Hanafiah dan sebagian mazhab Syafi’iah tidak mensyaratkan sahnya akad hawalah dengan adanya utang Muhal ‘Alaih (dalam hal ini pelakunya adalah BANK) untuk Muhil (pemegang kartu kredit ( حامل البطاقة )), artinya akad hawalah boleh saja terjadi walaupun muhal ‘alaih tidak berutang kepada muhil, dengan syarat Muhal ‘Alaih (dalam hal ini pelakunya adalah BANK) meridhainya.
Dalam praktek Credit Card, istilah yang pas (sesuai) adalah Hiwalah Haqq, karena terjadi perpindahan menuntut tagihan (piutang) dari nasabah kepada bank oleh merchant.
2.6.2 Fatwa DSN Tentang Hawalah dan Pengalihan Hutang
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 58/DSN-MUI/V/2007
Tentang
Hawalah bil Ujrah
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah
Menimbang
:


  1. bahwa fatwa DSN No.12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah belum mengatur hawalah muthlaqah dan ketentuan ujrah/fee dalam hawalah;
  2. bahwa akad Hawalah bil ujrah diperlukan oleh lembaga keuangan syariah (LKS) guna memenuhi kebutuhan objektif dalam rangka memberikan  pelayanan terhadap nasabah;
  3. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip syariah, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Hawalah bil Ujrah untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :

  1. Firman Allah SWT, antara lain:
    1. QS. al-Ma'idah [5]: 1:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُوْدِ ...
"Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu …"
    1. QS.al-Baqarah [2]: 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ...
"Hai orang yang beriman! Apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya …"
  1. Hadis Nabi SAW, antara lain:
    1. Hadis Nabi riwayat Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيْءٍ فَلْيَتْبَعْ.
"Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah"(HR. Bukhari).
    1. Hadis Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, Nabi SAW bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
"Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
    1. Hadis Nabi riwayat Imam Ahmad dan al-Baihaqi dari Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda:
مَنْ أُحِيْلَ بِحَقِّهِ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَحْتَلْ.
"Siapa saja yang dialihkan hak-nya pada yang mampu maka dia harus menerima pengalihan itu."
    1. Hadis Nabi riwayat Imam Baihaqi dari Abu Hurairah serta 'Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri, Nabi SAW bersabda:
مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.
"Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."
  1. Ijma'. Para ulama sepakat atas kebolehan akad hawalah.
  2. Kaidah Fikih:
    1. الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ مَا لَمْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
"Pada dasarnya, segala bentuk mu'amalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya."
    1. الضَّرَرُ يُزَالُ
"Bahaya (beban berat) harus dihilangkan."
Memperhatikan :
  1. Pendapat para ulama, antara lain Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari sebagaimana dikutip oleh Syaikh ‘Athiyah Shaqr, dalam kitab Ahsan al-Kalam fi al-Fatawa wa al-Ahkam,jilid 5, hal. 542-543:
إِنَّ اْلإِعْتِمَادَاتِ الْمُسْتَنَدِيَّةَ الَّتِيْ يَتَعَهَّدُ فِيْهَا الْبَنْكُ لِلْمُصَدِّرِ بِدَفْعِ الْمُسْتَحَقَّاتِ لَهُ عَلَى الْمُسْتَوْرِدِ جَائِزَةٌ، وَاْلأَجْرُ الَّذِيْ يُؤْخَذُ فِيْ مُقَابِلِهَا جَائِزٌ. وَخَرَّجَ الْجَوَازَ عَلَى أَنَّ طَبِيْعَةَ هَذَا التَّعَامُلِ تَدُوْرُ بَيْنَ الْوَكَالَةِ وَالْحَوَالَةِ وَالضَّمَانِ. وَالْوَكَالَةُ بِأَجْرٍ لاَ حُرْمَةَ فِيْهَا، وَكَذَلِكَ الْحَوَالَةُ بِأَجْرٍ. وَالضَّمَانُ بِأَجْرٍ خَرَّجَهُ عَلَى ثَمَنِ الْجَاهِ الَّذِيْ قِيْلَ فِيْهِ بِالْحُرْمَةِ وَبِالْكَرَاهَةِ، وَقَالَ بِجَوَازِهِ الشَّافِعِيَّةُ، كَمَا خَرَّجَهُ عَلَى الْجُعَالَةِ الَّتِيْ أَجَازَهَا الشَّافِعِيَّةُ أَيْضًا.
وَتَحَدَّثَ عَنْ خِطَابَاتِ الضَّمَانِ وَأَنْوَاعِهَا، وَهِيَ الَّتِيْ يَتَعَهَّدُ فِيْهَا الْبَنْكُ بِمَكْتُوْبٍ يُرْسِلُهُ --بِنَاءً عَلَى طَلَبِ عَمِيْلِهِ-- إِلَى دَائِنِ الْعَمِيْلِ يَضْمَنُ فِيْهِ تَنْفِيْذَ الْعَمِيْلِ لاِلْتِزَامَاتِهِ، وَقَالَ إِنَّهَا جَائِزَةٌ. وَخَرَّجَ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهَا وَكَالَةٌ أَوْ كَفَالَةٌ، وَهُمَا جَائِزَتَانِ، وَالْعُمُوْلَةُ عَلَيْهِمَا لاَ حُرْمَةَ فِيْهَا. وَاعْتَمَدَ فِيْ دِرَاسَتِهِ عَلَى الْمَرَاجِعِ وَالْمَصَادِرِ الاِقْتِصَادِيَّةِ وَعَلَى كُتُبِ الْفِقْهِ فِي الْمَذَاهِبِ الْمُخْتَلِفَةِ.
"Letter of Credit (L/C) yang berisi ketetapan bahwa bank berjanji kepada eksportir untuk membayar hak-haknya (eksportir) atas importir adalah boleh. Upah yang diterima oleh bank sebagai imbalan atas penerbitan L/C adalah boleh. Hukum "boleh" ini oleh Muhsthafa al-Hamsyari didasarkan pada karakteristik muamalah L/C tersebut yang berkisar pada akad wakalah, hawalah dan dhaman (kafalah). Wakalah dengan imbalan (fee) tidak haram; demikian juga (tidak haram) hawalah dengan imbalan.
Adapun dhaman (kafalah) dengan imbalan oleh Musthafa al-Hamsyari disandarkan pada imbalan atas jasa jah (dignity, kewibawaan) yang menurut mazhab Syafi'i, hukumnya boleh (jawaz) walaupun menurut beberapa pendapat yang lain hukumnya haram atau makruh. Musthafa al-Hamsyari juga menyandarkan dhaman (kafalah) dengan imbalan pada ju'alah yang dibolehkan oleh madzhab Syafi'i.
Mushthafa 'Abdullah al-Hamsyari juga berpendapat tentang bank garansi dan berbagai jenisnya. Bank garansi adalah dokumen yang diberikan oleh bank --atas permohonan nasabahnya-- yang berisi jaminan bank bahwa bank akan memenuhi kewajiban-kewajiban nasabahnya terhadap rekanan nasabah. Musthafa menyatakan bahwa bank garansi hukumnya boleh. Bank garansi tersebut oleh Musthafa disejajarkan dengan wakalah atau kafalah; dan kedua akad ini hukumnya boleh. Demikian juga pengambilan imbalan (fee) atas kedua akad itu tidak diharamkan.
  1. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Rabu, 13 Jumadil Awal 1428 H / 30 Mei  2007.
MEMUTUSKAN
Menetapkan
:
FATWA TENTANG HAWALAH BIL UJRAH

Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan
  1. Hawalah adalah pengalihan utang dari satu pihak ke pihak lain, terdiri atas hawalah muqayyadah dan hawalah muthlaqah.
  2. Hawalah muqayyadah adalah hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang kepada muhal sekaligus berpiutang kepada muhal ’alaih sebagaimana dimaksud dalam Fatwa No.12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah.
  3. Hawalah muthlaqah adalah hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal ’alaih;
  4. Hawalah bil ujrah adalah hawalah dengan pengenaan ujrah/fee.
Kedua : Ketentuan Akad
  1. Hawalah bil ujrah hanya berlaku pada hawalah muthlaqah.
  2. Dalam hawalah muthlaqah, muhal ’alaih boleh menerima ujrah/fee atas kesediaan dan komitmennya untuk membayar utang muhil.
  3. Besarnya fee tersebut harus ditetapkan pada saat akad secara jelas, tetap dan pasti sesuai kesepakatan para pihak.
  4. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
  5. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern;
  6. Hawalah harus dilakukan atas dasar kerelaan dari para pihak yang terkait.
  7. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
  8. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
  9. LKS yang melakukan akad Hawalah bil Ujrah boleh memberikan sebagian fee hawalah kepada shahibul mal.
Ketiga : Ketentuan Penutup
  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah atau Pengadilan Agama setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di
:
Jakarta
Tanggal
:
13 Jumadil Awal 1428 H


30 Mei 2007 M
DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
2.6.3 Aplikasi Lainnya di Bank Syariah
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut, diantaranya :
a.       Factoring atau anjak piutang : dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang nasabah tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b.      Post-date check : dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
c.       Bill discounting : secara prinsip bill discounting serupa dengan hawalah. Hanya saja dalam bill discounting nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasa fee tidak didapati dalam kontrak hawalah.[11]
d.      Design Akad Pembiayaan Take Over
Perlu diketahui bahwa dalam syari’at Islam, akad jual beli, baik dengan pembayaran kontan alias lunas atau dicicil/kredit adalah salah satu bentuk akad yang mengikat, dan bersifat otomatis. Bersifat mengikat maksudnya adalah masing-masing dari pihak terkait tidak dapat membatalkan akadnya kecuali atas izin dari pihak kedua. Dan bersifat otomatis maksudnya adalah memindahkan hak; hak terhadap barang berpindah kepada pembeli seusai akad dan hak atas pembayaran/uang berpindah langsung kepada penjual.
Dengan demikian, pada kasus di atas, hak kepemilikan rumah sepenuhnya telah menjadi milik pembeli, yaitu saudara Aris Mukmin. Dan selanjutnya secara syariat, saudara Aris Mukmin berhak sepenuhnya untuk menjual kembali rumah tersebut atau menghibahkannya kepada orang lain.
Bila hal ini telah diketahui, maka saudara Aris Mukmin secara hukum syari’at pada kasus di atas memiliki dua solusi:
1. Menjual rumah kepada orang lain dengan pembayaran kontan, dan dengan hasil penjualan ini ia bisa melunasi sisa kredit yang belum terbayar, sehingga segera bisa mendapatkan surat kepemilikan rumah dan surat tersebut segera ia serahkan kepada pembeli kedua rumah tersebut. Masalah surat menyurat rumah, itu adalah sebatas urusan admisnistrasi, tidak merubah status kepemilikan dalam syari’at. Sehingga bila pembeli rela untuk menunggu penyerahan surat menyurat hingga beberapa waktu, sampai pembeli pertama selesai melunasi tagihannya, maka itu tidak mengapa.
2.  Menjual rumah dengan segala tanggung jawab yang berkaitan dengan rumah itu. Yaitu kewajiban melunasi sisa cicilan kredit yang belum terbayar. Kasus oper kredit seperti ini, merupakan salah satu aplikasi nyata transaksi hawalah (transfer piutang). Dan Hawalah ialah salah satu akad yang dibenarkan dalam syari’at, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Penunda-nundaan orang yang telah kecukupan adalah perbuatan zhalim, dan bila tagihan salah seorang darimu dipindahkan kepada orang lain yang berkecukupan, hendaknya ia menurut/menerima.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hanya saja pada kasus diatas, yang terjadi bukan hanya transfer piutang belaka, akan tetapi bersatu dengan akad jual beli dalam satu waktu. Karena pada kasus semacam ini, kreditur pertama biasanya telah membayar cicilan beberapa kali, dan sisa cicilannyalah yang hendak ditransferkan kepada orang lain. Tapi itu tidak mengapa, karena tidak menyebabkan terjadinya riba atau penipuan atau ketidak jelasan.
Hanya saja yang perlu diwaspadai pada kasus perkreditan rumah atau kendaraan bermotor atau yang serupa, biasanya tidak dilakukan langsung kepada pemilik barang, yaitu developer atau dealer. Perkreditan biasanya melibatkan pihak ketiga, sebagaimana yang diisyaratkan pada kasus di atas, yaitu BTN atau yang serupa. Pada kasus ini biasanya BTN bukanlah pemilik barang (rumah) akan tetapi BTN hanya sebatas membiayai perkreditan ini. BTN memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan praktek ribanya. BTN  mengiming-imingi pemilik barang yaitu perusahaan developer dengan mendapatkan haknya berupa pembayaran tunai. Sebagaimana BTN juga mengiming-imingi pembeli (nasabah) dengan pembayaran secara bertahap alias dicicil, bukan ke developer akan tetapi cicilan dibayarkan ke BTN.
Bila itu yang terjadi maka perkreditan semacam ini adalah perkreditan yang tidak dibenarkan dalam syari’at karena mengandung unsur riba.












BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Hiwalah adalah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain. Rukun hiwalah :
1. Muhil
2. Muhal 
3. Muhal „alaih
4.Utang muhil kepada muhal 
5.Utang muhal „alaih kepada muhal 
6.Sighat 
Praktek hiwalah tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pada umumnya namun praktek ini juga diterapkan oleh Bank Syariah sebagai salah satu  bentuk pelayanan jasa dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Fatwa DSN No. 12/DSN-MUI/IV/2000

3.2 Saran
Demikianlah makalah tentang Pemindahan utang piutang (Hawalah) yang dapat kami uraikan, semoga memberikan manfaat bagi kita dan dapat menambah khazanah keilmuan, khususnya mengenai bahasan dalam Fiqh Mu’amalah.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar, kami juga manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan makalah kami selanjutmya.






[1] Abdurrahman al Jaziri, al Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Dar al Kutb al Ilmiyah, Bairut, 2003, jild 3, hlm 185
[2] Al Syaikh Ibrahim, Bajuri, al Bajuri, Usaha keluarga,  Semarang, t.t, hlm. 376
[3] Sayid Sabiq, Fiqh as Sunnah , dar Al Kutub al Arabi, 1977, jld 3 hlm. 211
[4] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi,
Dalam riwayat lain :
 ومَن أُحِيل على مليء فليَتْبَعْ (في أحكام الحوالة، ينظر: فتح القدير 5/444، بداية المجتهد 2/294، المهذب 1/337، مغني المحتاج 2/193، المغني 4/522، كشاف القناع 3/473، الشرح الكبير 3/225، الموسوعة الفقهية الكويتية 95).
[5] Lafadh  perintah untuk melakukan yang ada dalam hadis ( فليتبع ) apakah mengandung perintah lazim (wajib) atau ghairu lazim (sunnah).? Disini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama,

Pertama : menurut Hanabilah, Ibn Jarir, Abu Tsaur, Adh Dhahiriah bahwa pemberi utang ( الدائن ) wajib menerima pemindahan tersebut apabila yang berutang (المدين  ( memindahkannya kepada orang kaya (yang mampu membayarnya) berpedoman terhadap hadis diatas.

Kedua : menurut pendapat Jumhur ulama bahwa perintah yang ada dalam hadis tidaklah mengandung lazim, tetapi perintah yang mengandung makna istihbab
[6] Ibnu Qudamah,  al Mughni, Maktabah al Qahirah, 1968 M, jild 4, hlm.390
[7] Ahmad Idris, Fiqh al Syafi’iah, karya Indah, Jakarta, 1986, hlm. 57-58
[8] Abdullah bin Muhammad ath Thayyar, ensiklopedi Fiqh Muamalah Dalam Pandangan 4 Madzhab, Maktabah al Hanif, Yogyakarta, 2004, cet I, hlm. 215-216
[9] Abdullah al Mushlih & Shalah ash Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli,di akses pada tanggal 13 April 2017 dari website : http://www.alsofwah.or.id/index.php/pilih=lihatanalisa&parent_id296&parent_section=an020&id judul=295
[10] Sekelompok Guru Fakultas Fiqh Perbandingan, Fiqh Kontemporer, Universitas al Azhar, Kairo, t.t. hlm. 171
[11] http://makalahoke.blogspot.com/2013/06/makalah-al-hiwalah.html

No comments:

Sponsor