1.1.
Latar Belakang
Auguste
Comte adalah seorang pengkaji teori dalam bidang sosiologi dilahirkan di Mont
Pellier, Perancis, tahun 1798. Keluarganya beragama Katolik dan berdarah
bangsawan. Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan lama
hidup disana. Dikalangan teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa yang
keras kepala dan suka memberontak. Auguste Comte memulai karir profesinya
dengan memberi les dibidang Matematika. Meski ia sudah memperoleh pendidikan
dalam Matematika, perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah - masalah
kemanusiaan dan sosial (Bambang,
2001).
Pada
tahun 1842 ia menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Course of positive
philosophy dalam 6 jilid dan juga karya besar yang cukup terkenal adalah system
of positive polities yang merupakan persembahan comte bagi pujaan hatinya
Clothilde de vaux, yang begitu banyak mempengaruhi pemikiran comte di karya
besar keduanya itu. Karya comte dalam politik positif itu didasarkan pada
gagasan bahwa kekuatan yang sebenarnya mendorong orang dalam kehidupiaan adalah
perasaan, bukan pertumbuhan intelegensi manusia yang mantap (Comte, 1896).
Comte hidup pada masa akhir revolusi
perancis termasuk didalamnya serangkaian pergolakan yang terus berkesinambungan
sehingga comte sangat menekankan arti pentingnya keteraturan sosial. Pada akhir
hidupnya, ia berupaya membangun agama baru tanpa teologi atas dasar filsafat
positifnya. Comte adalah
penyumbang terbesar untuk membangun sosiologi sebagai suatu ilmu. Dalam buku
filsafat positifnya, yang pada dasarnya merupakan suatu buku tentang filsafat
ilmu pengetahuan dan uraian tentang itu telah mengambil tempat paling banyak
dalam bukunya. Comte menguraikan metode–metode berpikir ilmiah (Haryono dan
Verhaak. 1995).
Comte
mengatakan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak lebih dari pada suatu
perluasan metode yang sangat sederhana dari akal sehat, terhadap semua
fakta–fakta yang tunduk kepada akal pikiran manusia. Comte sangat mendasarkan
seluruh pemikirannya kepada perkembangan atau kemampuan akal pikiran atau
intelegensi manusia. Berdasarkan beberapa kajian yang
telah disebutkan, maka melalui makalah ini akan dideskripsikan mengenai
beberapa hal tentang augus comte, yang meliputi biografi augus comte, pemikiran
augus comte, latar belakang pemikiran augus comte, teori-teori yang dikemukakan
augus comte, dan kritik terhadap teori yang dikemukakan augus comte (Haryono, dan
Verhaak, 1995).
1.2.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimanakah biografi
Auguste Comte?
b.
Bagaiamanakah pemikiran, serta teori-teori yang dikemukakan
Auguste Comte?
1.3. Tujuan Masalah
a.
Untuk mengetahui bagaimana
biografi Auguste Comte?
b.
Untuk mengetahui bagaiamana
pemikiran, serta teori-teori yang dikemukakan Auguste Comte?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Auguste Comte
Auguste
Comte dilahirkan di Mont Pellier, Perancis, tahun 1798. Keluarganya beragama
Katolik dan berdarah bangsawan. Namun Auguste tidak terlalu perduli dengan
kebangsawanannya. Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan
lama hidup disana. Dikalangan teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa
yang keras kepala dan suka memberontak. Auguste Comte memulai karir profesinya
dengan memberi les dibidang Matematika. Meski ia sudah memperoleh pendidikan
dalam Matematika, perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah - masalah
kemanusiaan dan sosial. Minat ini mulai berkembang dibawah pengaruh Saint
Simont, yang memperkerjakan Auguste sebagai sekretarisnya. Dan dengannya,
Auguste menjalin kerja sama erat dengan mengembangkan karya awalnya sendiri.
Akan tetapi sesudah tujuh tahun pasangan ini pecah karena perdebatan mengenai
kepengarangan karya bersama, dan Auguste comte pun menolak pembimbinganya itu (Bambang, 2001)
Kondisi ekonomi Comte pun juga pas-pasan saja, dan hampir terus-menerus hidup
miskin. Dia tidak pernah mampu menjamin posisi profesional yang dibayar
dengan semestinya dalam sistem pendidikan tinggi perancis, Banyak karirnya
berupa les prifat, menyajikan ide-ide teoretisnya dalam suatu kursus prifat
yang dibayar oleh peserta-peserta dan menjadi penguji akademik kecil. Selain
dalam bidang akademik, dalam Pergaulanya comte dengan gadis-gadis justru
mendatangkan malapetaka, tetapi relevan untuk memahami evolusi dalam pemikiran
comte, khususnya perubahan dalam tekanan tahap-tahap akhir kehidupanya dari
positivisme ke cinta. Sementara comte sedang mengembangkan filsafat positifnya
yang komprehensif, disamping itu dia telah menikah dengan seorang bekas pelacur
bernama Carolme Massin, seorang wanita yang lama menderita, serta menaggung
beban emosional dan ekonomi dengan comte sesudah comte keluar dari rumah sakit
karena penyakitnya yaitu “keranjingan (mania)”, dengan sabar dia mengurus dan
merawat comte sampai sembuh dan kadang-kadang disertai perlakuan kasar setelah
pisah beberapa saat, istrinya pergi dan membiarkan dia sengsara dan gila (Hadiwijono,
1983).
Pada
tahun 1842 ia menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Course of positive
philosophy dalam 6 jilid dan juga karya besar yang cukup terkenal adalah system
of positive polities yang merupakan persembahan comte bagi pujaan hatinya
Clothilde de vaux, yang begitu banyak mempengaruhi pemikiran comte di karya
besar keduanya itu. Tetapi sayangnya wanita pujaanya itu meninggal karna
mengidap penyakit TBC, kehidupan Comtepun tergoncang. Dia bersumpah untuk
membaktikan hidupnya untuk mengenag bidadarinya itu (Comte, 1896).
Karena dimaksudkan untuk mengenang
bidadarinya itu, Karya comte dalam politik positif itu didasarkan pada gagasan
bahwa kekuatan yang sebenarnya mendorong orang dalam kehidupiaan adalah
perasaan, bukan pertumbuhan intelegensi manusia yang mantap, Dia mengusulkan
suatu teorganisasi masyarakat, dengan sejumlah tatacara yang dirancang untuk
membangkitkan cinta murni dan tidak egoistis, demi “kebesaran kemanusiaan”. Comte
hidup pada masa akhir revolusi perancis termasuk didalamnya serangkaian
pergolakan yang terus berkesinambungan sehingga comte sangat menekankan arti
pentingnya keteraturan sosial. Pada akhir hidupnya, ia berupaya membangun agama
baru tanpa teologi atas dasar filsafat positifnya. Agama baru tanpa teologi ini
mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan semboyan “Cinta sebagai
prinsip, teratur sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan”. Sebagai istilah
ciptanya yang terkenal altruisim yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia
ialah Usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain (Haryono dan Verhaak, 1995)
Comte
adalah penyumbang terbesar untuk membangun sosiologi sebagai suatu ilmu. Dalam
buku filsafat positifnya, yang pada dasarnya merupakan suatu buku tentang
filsafat ilmu pengetahuan dan uraian tentang itu telah mengambil tempat paling
banyak dalam bukunya. Comte menguraikan metode–metode berpikir ilmiah. Comte
mengatakan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak lebih dari pada suatu
perluasan metode yang sangat sederhana dari akal sehat, terhadap semua
fakta–fakta yang tunduk kepada akal pikiran manusia. Comte sangat mendasarkan
seluruh pemikirannya kepada perkembangan atau kemampuan akal pikiran atau
intelegensi manusia (Haryono dan Verhaak, 1995).
2.2 Pemikiran
Auguste Comte
Menurut
Comte pengembangan pengetahuan manusia baik perseorangan maupun umat manusia
secara keseluruhan, melalui tiga zaman atau tiga Stadia. Menurutnya,
perkembangan menurut tiga zaman ini merupakan hukum yang tetap. Ketiga zaman
itu adalah Zaman Teologis, Zaman Metafisika dan zaman Ilmiah atau Positif
(Bambang, 2001)
-
Zaman Teologis
Pada zaman teologis, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam
terdapat kuasa kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala - gejala
tersebut. Kuasa - kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan
kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada
tingkatan yang lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk insan biasa. Zaman
teologis dibagi lagi menjadi tiga periode yaitu Animisme.
Tahap Animisme merupakan tahap paling primitif karena benda-benda dianggap
mempunyai jiwa dan tahap Politeisme, Tahap Politeisme merupakan perkembangan dari tahap pertama. Pada tahap ini
manusia percaya pada dewa yang masing - masing menguasai suatu lapangan
tertentu; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar dan sebagainya (Bambang, 2001)
-
Monoteisme. Tahap Monoteisme ini lebih tinggi dari pada dua tahap
sebelumnya, karena pada tahap ini, manusia hanya memandang satu Tuhan sebagai
Penguasa (Bambang, 2001)
- Zaman
Metafisis. Pada zaman ini manusia hanya sebagai
tujuan pergeseran dari tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan yang
tadinya bersifat adi kodrati, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai
pengertian abstrak, yang diintegrasikan dengan alam (Bambang, 2001)
- Zaman Positif. Zaman ini dianggap Comte sebagai zaman tertinggi dari kehidupan manusia.
Alasanya ialah pada zaman ini tidak ada lagi usaha manusia untuk mencari
penyebab- penyebab yang terdapat dibelakang fakta-fakta. Manusia kini telah
membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta-fakta yang disajikannya.Atas
dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusia berusaha menetapkan
relasi atau hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta-fakta.
Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang
sebenarnya. Hukum tiga
zaman tidak hanya berlaku pada manusia sebagai anak, manusia berada pada zaman
teologis, pada masa remaja ia masuk zaman metafisis dan pada masa dewasa ia
memasuki zaman positif (Bambang,
2001)
Demikian pula Ilmu Pengetahuan Berkembang mengikuti zaman tersebut yang
akhirnya mencapai puncak kematangannya pada Zaman Positif. Pada akhir hidupnya, ia berupaya membangun agama baru
tanpa teologi atas dasar Filsafat Positifnya. Altruisme merupakan istilah Ciptaan Comte sebagai
kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai
menyerahkan diri kepada seluruh masyarakat. Bahkan, bukan salah satu
masyarakat, melainkan I’humanite “- suku bangsa manusia –“ pada umumnya. Jadi,
“altruisme” bukan sekedar lawan “egoisme”. Keteraturan masyarakat yang dicari dalam posifitisme hanya dapat dicapai
kalau semua orang dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan
mereka. Sehubungan dengan altruisme ini (Wattimen,
2008).
Comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam Pengganti Tuhan. Keilahian
baru dari positifisme ini disebut Le Grand Eire “ Maha
Makhluk “. Dalam hal ini Comte mengusulkan untuk mengorganisasikan semacam
kebaktian untuk If Grand Eire itu lengkap dengan
Imam – imam, Santo - santo, Pesta - pesta liturgi, dan lain - lain. Dogma satu-satunya agama ini adalah cinta kasih sebagai prinsip, tata
tertib sebagai dasar, kemajuan sebagai tujuan. Ujung dari pencarian kebenaran yang dilakukan Auguste Conte adalah
falsafahnya tentang hidup manusia yang
membutuhkan hubungan dengan zat yang sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai
teori sosiologinya (Maksum dan Ali. 2011).
2.3. Latar Belakang Pemikiran Auguste Comte
Adanya
Revolusi perancis dengan segala pemikiran yang berkembang
pada masa itu. Comte tidaklah dapat dipahami tanpa latar belakang revolusi
perancis dan Restorasi Dinasti Bourbon di Perancis yaitu pada masa timbulnya
krisis sosial yang maha hebat dimasa itu. Sebagai seorang ahli pikir, Comte
berusaha untuk memahami krisis yang sedang terjadi tersebut. ia berpendapat
bahwa manusia tidaklah dapat keluar dari krisis sosial yang terjadi itu tanpa
melalui pedoman-pedoman berpikir yang bersifat scientifik. Filsafat sosial yang
berkembang di Perancis pada abad ke-18, khususnya filsafat yang dikembangkan
oleh para penganut paham ensiklopedis ini, terutama dasar-dasar pikirannya,
sekalipun kelak ia mengambil posisi tersendiri setelah keluar dari aliran ini (Achmadi, 1995)
Aliran
reaksioner dalam pemikiran Katolik Roma adalah aliran yang menganggap bahwa
abad pertengahan kekuasaan gereja sangat besar, adalah periode organis, yaitu
suatu periode yang secara paling baik dapat memecahkan berbagai masalah –
masalah sosial. Aliran ini menentang pendapat para ahli yang menganggap bahwa
abad pertengahan adalah abad di mana terjadinya stagmasi didalam ilmu
pengetahuan, karena kekuasaan gereja yang demikian besar di segala lapangan
kehidupan. Comte telah membaca karya–karya pemikir Theocratic dibawah pengaruh
Sain– Simont sebagaimana diketahui Sain–Simont juga menganggap bahwa abad
pertengahan adalah periode organic yang bersifat konstruktif (Oxford Learner’s
Pocket Dictionary, 2005).
Sumber terakhir yang melatarbelakangi pemikiran Comte adalah
lahirnya aliran yang dikembangkan oleh para pemikir sosialistik, terutama yang
diprakarsai oleh Sain–Simont. Comte telah membangun hubungan yang sangat erat
dengan Sain–Simont dan juga dengan para ahli pikir sosialis Prancis lainnya.
Comte di satu pihak akan membangun pengetahuan sosial dan dipihak lain akan
membangun kehidupan ilmu pengetahuan sosial yang bersifat scientific.
Sebenarnya Comte memiliki sifat tersendiri terhadap aliran ini, tetapi
sekalipun demikian dasar–dasar aliran masih tetap dianutnya terutama pemikiran
mengenai pentingnya suatu pengawasan kolektif terhadap masyarakat, dan
mendasarkan pengawasan tersebut didalam suatu dasar yang bersifat scientific (Wattimen, 2008).
Comte adalah penyumbang terbesar
untuk membangun sosiologi sebagai suatu ilmu. Dalam buku filsafat positifnya,
yang pada dasarnya merupakan suatu buku tentang filsafat ilmu pengetahuan dan
uraian tentang itu telah mengambil tempat paling banyak dalam bukunya. Comte
menguraikan metode–metode berpikir ilmiah. Comte mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan pada dasarnya tidak lebih dari pada suatu perluasan metode yang
sangat sederhana dari akal sehat, terhadap semua fakta–fakta yang tunduk kepada
akal pikiran manusia. Comte sangat mendasarkan seluruh pemikirannya kepada
perkembangan atau kemampuan akal pikiran atau intelegensi manusia (Munstansyir
& Misnal, 2003).
2.4.
Teori-Teori yang
Dikemukakan Auguste Comte
1.
Social Dynamic
Social dynamic adalah teori tentang perkembangan dan
kemajuan masyarakat, karena social dinamic merupakan study tentang sejarah yang
akan menghilangkan filsafat yang spekulatif tentang sejarah itu sendiri (Comte, 1896).
2.
Social static
Fungsi social static dimaksudkan
sebagai suatu studi tentang hukum-hukum aksi dan reaksi dari berbagai bagian di
dalam suatu sistem sosial. Dalam sosial static terdapat empat doktrin, yaitu
doktrin tentang individu, keluarga, masyarakat dan negara. Mengarah
pada struktur yang ada dalam masyarakat. Diibaratkan sebagai sebuah bangunan
dan segala sesuatu yang menyusun bangunan itu (Comte, 1896).
2.5. Kritik terhadap Teori yang Dikemukakan Auguste Comte
Positivisme
Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran
manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap
teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik
pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap positivistik
manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahap ketiga
itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang
bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan
sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini
mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek metodologis.
aSelain itu, model filsafat positivisme Auguste Comte tampak begitu
mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur kebenaran.
Sebenarnya “kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan
sepenuhnya milik
manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban manusia untuk berusaha
menghampiri dan mendekatinya dengan cara tertentu (Achmadi, A. 1995).
Kata cara
tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai “kebenaran” dan
sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap
objek melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif.
Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu
pengujian yang ketat dan gawat(crucial-test) dengan cara
pengujian “trial and error” (proses penyisihan terhadap
kesalahan atau kekeliruan) sehingga kebenaran selalu dibuktikan melalui jalur konjektur dan refutasi dengan
tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan
Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah “kebenaran”
akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan begitu
seterusnya (Muslih dan Kaelan. 2008).
Pandangan mengenai kebenaran yang demikian
itu bukan berarti mengisyaratkan bahwa Penulis tergolong penganut Relativisme,
karena menurut Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui “kebenaran”
sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap suatu objek. Penulis berkeyakinan
bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan “kebenaran” sebagaimana yang
diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia, “kebenaran” selalu
bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan
pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti
apa yang diyakini oleh Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori, hukum
ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara positif,
melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan). Jelasnya, untuk menentukan
“kebenaran” itu bukan perlakuan verifikasimelainkan melalui
proses falsifikasi dimana data-data yang telah diobservasi,
dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti sampai di situ karena telah
dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus dihadapkan dengan pengujian
baru (Maksum dan
Ali. 2011).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan kajian-kajian yang
telah dilakukan dari beberapa literatur maka dapat disimpulkan beberapa hal
yaitu,
1. Augus comte berpendapat bahwa sejarah perkembangan alam pikir manusia
terdiri dari tiga tahap yaitu tahap teologik, tahap metaphisik dan tahap
positif.
2.
Auguste
Comte dilahirkan di Mont Pellier, Perancis, tahun 1798. Keluarganya beragama
Katolik dan berdarah bangsawan.
3. Latar belakang pemikiran augus comte karena
adanya Revolusi
perancis dengan segala pemikiran yang berkembang pada masa itu.
No comments:
Post a Comment