BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Harta
merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. Pada umumnya
harta menjadi sesuatu yang disukai oleh manusia, seperti uang, emas, perak,
pertanian, dan berbagai macam jenis perhiasan dunia lainnya. Dalam prakteknya,
harta menjadi salah satu gambaran status seseorang dalam kehidupannya. Semakin
banyak harta seseorang maka semakin tinggi status pandangan sosial orang-orang
disekitarnya.
Kepemilikan
sangat erat kaitannya dengan harta karena status dan manfaat harta sangat
bergantung pada konsep kepemilikannya. Konsep kepemilikan menurut Ekonomi Ra’sumâli
dalam permasalahan harta memiliki pandangan bahwa manusia adalah pemilik mutlak
seluruh proses sember daya ekonomi, sehingga manusia memiliki hak penuh dalam
pemanfaatannya sesuai kebutuhannya. Sedangkan konsep kepemilikan Ekonomi Isytirâki
memiliki pandangan yang berlawanan dengan konsep Ekonomi Ra’sumâli yaitu
mementingkan hak milik sosial atau milik bersama dan pemerintah berperan
sebagai pengatur utamanya. Pandangan konsep kepemilikan harta Ekonomi Ra’sumâli
dan Ekonomi Isytirâki yang terlalu ekstrim dalam penerapannya justru
menimbulkan permasalahan-permasalahan yang tidak berujung yang merugikan banyak
masyarakat atau suatu golongan tertentu dan bahkan mengganggu keseimbangan
dalam perekonomian dunia.
Menanggapi
permasalahan konsep kepemilikan harta Ekonomi Ra’sumâli dan Ekonomi Isytirâki
yang sulit diselesaikan maka muncul gagasan dalam konsep Ekonomi Islam mengenai harta dan
kepemilikan menurut pandangan Islam sebagai solusi dari
permasalahan-permasalahan tersebut. Lebih lanjut makalah ini akan membahas lebih rinci
mengenai Konsep Harta dan Kepemilikan dalam Pandangan Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa definisi
harta dan kepemilikan?
2.
Apa saja
macam-macam harta dan kepemilikan?
3.
Bagaimana
harta dan kepemilikan dalam perspektif islam?
C.
Maksud dan
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui definisi harta dan
kepemilikan.
2.
Memahami dengan baik konsep
kepemilikan harta dalam Islam.
3.
Dapat mengklarifikasikan pembagian
atau macam-macam harta dan kepemilikan.
4.
Dapat mengidentifikasi perbedaan
konsep Ekonomi Islam dengan konsep Ekonomi Ra’sumâli dan Isytirâki
dalam kepemilikan harta.
D.
Metode
Penulisan
Dalam membuat makalah ini, penulis menggunakan metode studi
pustaka, dengan mengumpulkan informasi dan materi dari berbagai sumber yang ada
dan ketika referensi diambil
dari sebuah kitab yang butuh untuk diterjemahkan penulis lebih banyak
menggunakan metode penerjemahan bebas.
Kemudian Kami
susun menjadi satu makalah utuh yang didalamnya memberikan gambaran-gambaran
umum dan khusus mengenai materi yang bersangkutan.
BAB
II
KONSEP
HARTA
A. Definisi Harta
Dalam literatur
Islam (Alquran dan Hadis) dan Bahasa Arab, harta disebut المال (al mâl) dalam bentuk tunggal dan الأموال (al
amwâl) dalam bentuk jamak atau banyak. Diambil dari kata dasar مال – يميل – ميلا yang berarti condong, cenderung,
dan miring. Dikatakan condong, cenderung, dan miring karena secara tabiat
manusia cenderung ingin memiliki dan menguasai harta tersebut. Dalam Shahibu
al-Qamus, kata al mâl berarti apa saja yang dimiliki dari segala
sesuatu.[1]
Dalam Mu’jam al-Wasith, kata al mâl adalah segala sesuatu yang
dimiliki seseorang atau kelompok, seperti perhiasan, barang dagangan, bangunan,
uang dan hewan. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), harta adalah barang yang menjadi kekayaan, atau
kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai.
Adapun pengertian mâl (harta) secara istilah terdapat banyak
perbedaan pendapat para ahli fikih dalam mengartikannya. Beberapa pengertian al
mâl (harta) menurut pandangan para ahli fikih diantaranya:
1. Imam Abu Hanifah: sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya,
baik manusia itu akan memberikannya atau menyimpannya, yang kemungkinannya akan
digunakan ketika dibutuhkan.[2]
2.
Imam
Ahmad bin Hambal: apa-apa yang memiliki manfaat yang dapat digunakan untuk
suatu keperluan atau untuk kondisi darurat.
3.
Imam
Syafii: barang-barang yang memiliki nilai jual, dan nilai harta tersebut akan
terus ada kecuali jika semua orang telah meninggalkannya (tidak lagi berguna atau tidak lagi dibutuhkan).
4.
Ibnu
Abidin: segala sesuatu yang disukai nafsu atau jiwa yang bisa disimpan hingga
waktu ia dibutuhkan.
5.
As Suyuti,
dinukil dari Imam Syafii: tidak ada yang bisa disebut mâl (harta)
kecuali apa-apa yang memiliki nilai jual dan diberi sanksi bagi siapa yang merusaknya.
6.
Jumhur
Ahli Fikih: segala sesuatu yang memiliki nilai, dan orang yang merusaknya berkewajiban
untuk menanggung atau menggantinya.[3]
Dr. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan lebih rinci dalam bukunya
mengenai definisi harta. Secara bahasa, harta adalah segala sesuatu yang
mungkin untuk dimiliki, sama saja apakah kepemilikan tersebut terdapat pada
wujud benda itu sendiri atau pada manfaatnya. Dalam menentukan definisi menurut
istilah sudah sepatutnya harus memiliki hubungan erat dengan pengertian atau
definisi menurut bahasa, adapun pengertian harta menurut istilah terdapat perbedaan
pendapat, diantaranya:
1.
Harta
adalah sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya dan mungkin untuk
disimpan kemudian digunakan jika sewaktu-waktu membutuhkannya.
Pengertian
ini meskipun dekat dengan pengertian secara bahasa, tetapi definisi tersebut kurang lengkap karena dalam praktiknya kita menemukan bahwa ada
jenis harta yang tidak ingin dimiliki manusia seperti racun
misalnya. Ada juga harta yang tidak mungkin disimpan dalam waktu tertentu
ketika kita membutuhkannya seperti sayuran.
2.
Harta
adalah apa saja yang memungkinkan untuk diberikan atau ditahan.
Pengertian
ini lebih luas dari pengertian sebelumnya. Akan tetapi definisi ini juga kurang
tepat karena hanya mencakup masalah pemanfaatan dalam harta.
3.
Harta
adalah nama yang dinisbatkan untuk segala sesuatu selain bani adam, diciptakan
untuk kemaslahatan bani adam, mungkin untuk dipelihara, disimpan, dan
diberdayakan sesuai keinginan dari bani adam itu sendiri.
Pengertian
ini adalah pengertian yang paling tepat karena mencakup aspek umum dan khusus
dalam definisi harta secara istilah. Meski terdapat beberapa perbedaan redaksi
kata dalam pengertian secara istilah, namun makna yang dimaksud tetap sama.[4]
Dalam Alquran kata mâl atau al mâl disebutkan
sebanyak 24 kali dalam ayat yang berbeda-beda, kata amwâl disebutkan
sebanyak 61 kali dalam puluhan ayat dan surat yang berbeda-beda pula, dan kata mâliyah
disebutkan sebanyak satu kali saja.[5]
Gambaran mengenai definisi
harta dan kesenangan terhadapnya juga dijelaskan dalam Alquran surat Ȃli
‘Imrȃn ayat 14 yang artinya :
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang
diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk
dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allah-lah tempat kembali yang
baik.” (QS. Ȃli ‘Imrȃn 3:14)
Dari ayat tersebut secara umum harta dalam pandangan Alquran
adalah sesuatu yang disenangi manusia seperti emas, perak, kuda pilihan, hewan
ternak, sawah ladang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perhiasan dunia.
B.
Macam-macam Harta
1.
‘Iqâr dan Manqûl
‘Iqâr adalah harta
yang tidak dapat dipindahkan dari tempatnya
seperti tanah dan rumah.
Manqûl adalah harta
yang dapat dipindahkan seperti emas, perak dan hewan.
2.
Mitsly dan Qîmî
Mitsly adalah harta yang sama yang dapat ditemukan di pasar
tanpa perbedaan yang berarti seperti beras, jagung dan gandum.
Qîmî adalah harta yang tidak memiliki kesamaan di pasar,
seperti hewan-hewan yang berbeda-beda dan rumah.
3.
Mutaqawwim dan Ghairu
Mutaqawwim
Mutaqawwim menurut Ulama Mazhab Hanafi adalah harta yang bisa dimanfaatkan secara syariat
ketika dalam keadaan tidak terpaksa “boleh memilih” seperti makanan-makanan
yang halal.
Ghairu
Mutaqawwim adalah harta
yang bisa dimanfaatkan ketika dalam keadaan darurat
saperti alkohol dan babi.
4.
Nuqûdz dan ‘Arudz
Nuqûdz adalah harta yang berupa mata uang emas, perak, kertas dan lain-lain.
5.
Dhzimâr dan Marjû
Dhzimâr adalah harta yang pemiliknya tidak memungkinkan untuk mengelolanya
dikarenakan dighasab, hilang atau yang lain.
Marjû adalah harta yang masih dimungkinkan untuk kembali pada pemilikanya seperti
piutang yang masih dimungkinkan untuk ditagih oleh pemilik.
Pembagian harta ini biasa dipakai
pada bab zakat, harta yang berstatus Marjû wajib dizakati dan kewajiban
zakat dalam harta yang berstatus Dhzimâr masih terdapat perbedaan ulama.[7]
6.
Nâmi dan Qaniyyah
Nâmi adalah harta
yang berkembang atau bertambah seperti tumbuh-tumbuhan “Nâmi haqȋqȋ” dan
mata uang “Nâmi Taqȋdrȋ”.
Qaniyyah adalah harta yang diambil manusia untuk kebutuhannya saja bukan
untuk berniaga.
Pembagian harta sebagaimana tersebut
biasa dipakai pada bab zakat, yang mana kewajiban zakat hanya diwajibkan pada
harta Nâmi dan zakat yang dikeluarkan adalah dari hasil perkembangan
harta.
7.
Zhâhir dan Bâthin
Zhâhir adalah harta
yang tidak mungkin disembunyikan seperti pertanian, buah-buahan dan hewan
ternak.
Bâthin adalah harta
yang memungkinkan untuk disembunyikan seperti uang dan barang-barang dagangan.
Pembagian ini biasa dipakai di bab zakat, harta yang bersifat Bâthin
maka pemerintah tidak ikut campur dalam pengeluaran zakat.
8.
Ribawi dan Ghairu
Ribawi
Ribawi adalah harta
yang tergolong pada praktek-praktek riba. Ada enam jenis harta yang tergolong
harta Ribawi menurut Hadis Nabi yang tergolong pada dua ‘Illah Naqdiyyah
dan Math’umiyyah.
C.
Hubungan Harta dengan Manfaat dan Utang
Setiap barang yang ada disekitar kita pasti
memiliki manfaat tersendiri, baik manfaat tersebut untuk diri kita pribadi atau
untuk orang lain. Contoh manfaat suatu barang diantaranya seperti rumah yang bermanfaat
untuk tempat istirahat dan pakaian yang bermanfaat untuk menutupi badan. Adapun utang menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah suatu barang yang dipinjamkan pada orang lain. Lalu apakah manfaat dan utang dapat termasuk dalam
golongkan harta?
Ulama berbeda pendapat mengenai status manfaat
dan utang. Menurut Ulama Mazhab Hanafi manfaat dan utang bukanlah harta.
Akan tetapi, mayoritas ulama menyatakan bahwa manfaat termasuk dalam kategori harta
karena benda-benda yang dipakai bukanlah dzatnya yang dimaksudkan secara hakiki
akan tetapi manfaat benda tersebut. Begitu juga utang dapat dinamakan harta
menurut mayoritas ulama.[9]
D.
Status Harta dalam Islam
Harta merupakan salah satu kebutuhan
hidup yang harus ada dalam kehidupan manusia. Islam memandang harta tidak lah
hina, bahkan dalam Alquran
sebutannya mencapai lebih dari 80 kali dan
disebut pula dalam hadis-hadis
Nabi yang tak terhitung jumlahnya. Allah Swt pun telah
menjadikan harta menjadi salah
satu perhiasan kehidupan dunia.
Allah Swt berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا
وَخَيْرٌ أَمَلا (الكهف:٤٦)
Artinya: “harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi
amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu
serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Islam telah menetapkan status harta
dengan konsep-konsep yang telah diisyaratkan Allah melalui Alquran dan Hadis Nabi, salah satunya adalah
larangan menyia-nyiakan harta. Motivasi untuk menjaga harta
dan perintah untuk saling menjaga hak
milik harta diantara orang muslim juga dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi Saw.
"وَنَـهَى
رَسُول الله صلى اللهُ عَلَيْه وَ سلَّم عنْ إِضَاعَةِ الـمَالِ"
Artinya: Rasulullah
Saw telah melarang menyia-nyiakan harta.
"مَنْ
قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ"
Artinya: Barang
siapa terbunuh karena membela hartanya maka dia mati syahid.
"كُلُّ
الـمُسْلِمِ عَلى الـمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُوَمَالُهُ وَعِرْضُهُ"
Artinya: Diharamkan
bagi setiap muslim terhadap muslim lainnya darah, harta dan kehormatannya.
Islam menempatkan harta sebagai sesuatu yang dapat
mempermudah dalam interaksi kehidupan di dunia. Harta sebagai salah satu
pondasi dalam muamalah seperti berdagang, bisnis, dan lain sebagainya dapat
menghilangkan kerancuan dalam kepemilikan suatu barang atau harta. Islam tidak
menganggap harta dengan anggapan yang tidak baik sehingga ia dikucilkan dan
juga tidak menganggapnya sesuatu yang terpuji sehingga ia dimuliakan, akan
tetapi islam hanya menempatkannya sebagai perantara yang apabila digunakan
dengan baik maka akan berbuah kebaikan dan ketika digunakan dengan tidak baik
maka akan membuahkan sesuatu yang tidak baik juga. Sebagaimana diisyaratkan Allah Swt
dalam Alquran.
فَأَمَّا
مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (٥) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى
(٦) فَسَنُيَسِّرُهُ
لِلْيُسْرَى (٧) وَأَمَّا مَنْ
بَخِلَ وَاسْتَغْنَى (٨) وَكَذَّبَ
بِالْحُسْنَى (٩) فَسَنُيَسِّرُهُ
لِلْعُسْرَى (١٠) وَمَا يُغْنِي
عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى (١١) (الليل :٥ـــ١١)
Artinya: 5. Adapun orang
yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, 6. dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga). 7. Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah, 8. Dan adapun
orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, 9. serta mendustakan pahala
terbaik. 10. Maka kelak
Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.11. dan hartanya tidak
bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.
Oleh karena itu, harta dalam
kepemilikan seorang muslim tidaklah lebih dari kepemilikan hak pengambilan
manfaat saja. Sehingga seorang muslim sangatlah diharuskan untuk menggunakan
harta pinjamannya untuk taat hanya pada
pemiliknya dengan melakukan
investasi-investasi yang halal saja untuk kebaikannya di akhirat tanpa
melupakan hak-haknya didunia.[10]
BAB III
Konsep Kepemilikan
A.
Definisi Kepemilikan
Kata milik menurut bahasa adalah menguasai sesuatu
atau kemampuan untuk menguasainya dan menggunakannya.[11]
Menurut
Ulama Mazhab Maliki kepemilikan secara istilah adalah hukum yang ditetapkan pada suatu benda atau manfaat,
atau bisa diartikan memungkinnya manusia baik melalui orang lain atau dirinya
sendiri untuk memanfaatkan benda atau manfaat berdasarkan syariat.[12]
Menurut H. Behesti, kepemilikan merupakan pemberian -yang
bersifat sosial dan diakui- suatu hak dari seseorang atau kelompok kepada seseorang atau suatu kelompok
masyarakat. Pemberian ini mencerminkan hak potensial untuk memanfaatkan barang
tertentu, dan pada saat yang sama menyampingkan pihak lain dari pemberian hak
yang sama.[13]
Pendapat lain menyatakan, sebagaimana
dikutip Behesti bahwa kepemilikan menunjukkan hubungan sosial dan diakui antara
individu atau kelompok atas dasar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, hal tersebut
menandai adanya hak milik sah atas suatu barang oleh seseorang atau suatu kelompok, sehingga pada saat yang sama menghalangi pihak lain dari hak
milik tersebut.[14]
B.
Kepemilikan
dalam Pandangan Islam
Apabila kita berbicara tentang sesuatu yang bersandar pada Islam, tentu
yang dimaksud disana adalah hukum syariat yang bersumber dari Alquran dan
Hadis. Konsep kepemilikan dalam Islam sangat berbeda dengan konsep kepemilikan
Ekonomi Ra’sumâli dan Ekonomi Isytirâki yang masing-masing
memiliki kecondongan tersendiri dalam konsepnya. Konsep kepemilikan menurut Islam atau dalam
pembahasan Ekonomi Islam memiliki pandangan bahwa semua harta yang kita miliki
pada hakikatnya adalah milik Allah Swt. Sedangkan
manusia hanya memiliki hak pakai dalam pemanfaatannya atau singkatnya semua
harta yang dimiliki manusia hanya titipan dari Allah Swt. Oleh karena itu,
dalam konsep Ekonomi Islam tidak ada kepemilikan mutlak bagi manusia.
Hak milik dalam agama islam sangatlah dijaga baik secara individual
ataupun hak milik secara umum. Sehingga dilarang bagi muslimin untuk mengambil
hak milik orang lain.
Allah Swt berfirman :
لا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ (النساء : 29)
Artinya: 29. janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil,
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ
دِمَائَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَ أَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ
Artinya: sesungguhnya darah kalian, harta
kalian dan barang-barang kalian diharamkan atas kalian.
Al-Juwaini menyatakan
pekerjaan yang tidak diragukan lagi keharamannya adalah menguasai hak orang lain
dengan jalan yang tidak benar. Begitu juga pernyataan Ibnu Taimiyyah yang
berkata “laki-laki lebih berhak terhadap hartanya dari pada anaknya, orang
tuanya dan semua manusia.”[15]
Tapi realita yang terjadi banyak
penyelewengan-penyelewengan hak milik yang terjadi di masyarakat yang merupakan
salah satu akibat konsep Ekonomi
Ra’sumâli yang masih
mengakar dalam konsep perekonomian dunia. Banyak barang
yang seharusnya dimiliki Negara tapi dimiliki perorangan atau swasta sehingga yang seharusnya dimiliki Negara
untuk hak layak umum tapi hanya dimiliki perorangan saja, dan
juga masih banyak sumber daya alam yang seharusnya dimilki hak layak umum
masih dimiliki para pemilik modal yang keuntungannya hanya dinikmati sebagian
orang saja. Sehingga apa yang telah diperintahkan oleh Allah Swt masih belum
bisa terealisasi dengan baik.
Allah
Swt berfirman :
مَا
أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ
وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا
يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ (٧) (الحشر:7)
Artinya: 7. apa saja harta
rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang
berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya
saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.
dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.
C.
Kepemilikan adalah Amanah
Kita
sering merasa memiliki semua yang kita miliki, tanpa kita sadari bahwa itu
semua hanyalah amanah dari Allah Swt. untuk kita kelola sesuai dengan yang Ia
perintahkan. Berikut adalah dalil-dalil mengenai konsep kepemilikan harta
Ekonomi Islam yang menjelaskan bahwa harta pada hakikatnya adalah milik Allah
dan manusia hanya bertugas sebagai pengelola.
Allah Pemilik Hakiki
وَلْيَسْتَعْفِفِ
الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ
إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي
آتَاكُمْ وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ
تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ
فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣٣) (النور : 33)
Artinya: “Dan orang-orang yang
tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah
memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang
memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika
kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka
sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah
kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka
sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan
Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” (QS. An
Nûr:33)
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ
أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ
مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٢٨٤)
Artinya: “kepunyaan
Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika
kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya
Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah
mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya;
dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah:284)
Manusia hanyalah Pengelola
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا
جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ (٧) (الحديد:7)
Artinya: “berimanlah
kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di
antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang
besar.” (QS. Al-Hadîd:7)
D.
Macam-macam Kepemilikan
1.
Kepemilikan
Khusus, Umum dan Negara
a.
Kepemilikan
khusus/individu adalah harta yang dimiliki satu orang tertentu baik perorangan
atau perkongsian.
b.
Kepemilikan
umum adalah harta yang tidak dimilki orang tertentu akan tetapi dimiliki semua
orang dengan perkongsian yang diperbolehkan. Maka tidak diperbolehkan bagi
Negara atau perorangan untuk mengelolanya dengan akad jual beli atau hibah akan
tetapi hanya di perbolehkan untuk mengambil manfaatnya saja.
c.
Kepemilikan
Negara adalah harta yang hak miliknya dimilki negara atau biasa diistilahkan
dengan hak milik baitul mal. Maka diperbolehkan bagi Negara untuk mengelolanya
seperti halnya pengelolaan kepemilikan individual
sesuai dengan kebutuhan.[16]
2.
Kepemilikan
Sempurna dan Tidak Sempurna
a.
Kepemilikan
sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap harta dan kemanfaatan harta.
Seperti halnya ketika kita membeli mobil maka kita akan memiliki mobil dan
manfaatnya. Berbeda halnya ketika kita menyewakan mobil tersebut maka kita cuma
memiliki mobilnya saja dan tidak memiliki manfaatnya.
b.
Kepemilikan
tidak sempurna adalahkepemilikan seseorang terhadap hartanya
atau manfaatnya saja. Seperti halnya ketika kita meminjamkan mobil yang kita miliki
maka kita akan menjadi pemilik mobilnya saja dan
peminjam akan menjadi pemilik manfaatnya saja.
3.
Kepemilikan
Sukarela dan Paksa
a.
Kepemilikan
seukarela adalah hak milik yang timbul melalui proses sukarela “pilihan sendiri
tanpa paksaan” baik menggunakan perkataan seperti akad buyu’ atau dihasilkan melalui pekerjaan seperti
berburu, mencari rumput dan kayu bakar.
b.
Kepemilikan
paksa adalah kepemilikan yang sudah ditentukan oleh syari’at seperti harta warits,
wakaf, syhuf’ah dan ghanîmah.
4.
Kepemilikan
Tetap dan Tidak Tetap
a.
Kepemilikan
tetap adalah hak milik yang tidak bisa berubah seperti harga barang dagangan
setelah serah terima atau mahar perkawinan
setelah dukhul atau berhubungan
intim.
b.
Kepemilikan
tidak tetap adalah kepemilikan yang bisa berubah seperti harga barang dagangan
sebelum serah terima dan mahar
perkawinan sebelum dukhul atau berhubungan intim.[17]
5.
Kepemilikan
Mutlak dan Relatif (Terbatas)
a.
Kepemilikan
Mutlak adalah kepemilikan yang dimiliki Allah Swt.
Pemilik
hakiki semua kekayaan (harta benda) dialam semesta ini adalah Allah Swt karena
Allah yang menciptakan segala sesuatu, maka hanya Dia-lah yang memiliki
kekuasaan penuh untuk mengontrol apa yang diciptakan-Nya.[18]
b.
Kepemilikan
Relatif adalah kepemilikan yang dimiliki manusia.
Sekalipun
harta itu adalah milik Allah, namun kepemilikan manusia diakui secara de
jure karena Allah sendiri telah mengaruniakan padanya kekayaan dan Dia
mengakui kepemilikan tersebut.[19]
E.
Sebab-Sebab Kepemilikan
Banyak cara untuk kita memiliki harta. Adakalanya
kepemilikan timbul dari sebuah pekerjaan seperti berburu
atau
mencari kayu bakar di hutan, adakalanya kepemilikan timbul dari harta yang kita
miliki seperti berbuahnya tanaman dan perkembang biakan ternak, adakanya
disebabkan hubungan kekerabatan seperti hak waris dan adakalanya disebabkan
hubungan sosial seperti shadaqah, hadiah dan banyak lagi cara kita untuk memiliki
harta. Berikut salah satu sebab kepemilikan:
1.
Pertumbuhan
harta seperti berbuahnya tanaman dan perkembang biakan hewan.
2.
Melakukan
yang dibolehkan seperti mencari kayu bakar, dan berburu.
3.
Harta
rampasan.
4.
Merevitalisasi
lahan mati.
5.
Warisan.
6.
Diyat.
7.
Ganti
rugi atas kerusakan.
8.
Pertukaran
seperti jual beli dan sewa.
Sebab-sebab kepemilikan diatas sebagian diambil dari harta yang tidak ada
pemiliknya seperti berburu dan mencari kayu bakar, sebagian diambil dari harta
yang ada pemiliknya dengan paksa seperti harta rampasan “ghanimah”,
sebagian diambil dari harta yang ada pemiliknya tanpa paksa dan menggunakan ‘iwadh
seperti akad jual beli dan sebagian ada juga yang didapat dari harta yang ada
pemiliknya tanpa paksaan dan tanpa ‘iwadh seperti hibah.[20]
F.
Etika Kepemilikan
1.
Etika
Sebab-sebab Kepemilikan
Sebab-sebab kepemilikan diharuskan harus termasuk sebab yang
diperbolehkan bukan melalui sebab terlarang seperti mencuri, menimbun,
mengghashab, judi, riba, tipuan dan kekejian.[21]
2.
Etika
Pengimplementasian Kepemilikan
Dalam mengimplementasikan kepemilikan, seorang pemilik harta haruslah
memperhatikan hal-hal yang terlarang seperti berlebih-lebihan, bersikap kikir,
menyia-nyiakan harta, menggunakan wadah emas dan perak, berpakaian berbahan
sutra dan emas bagi kaum leleki dan menyebabkan kemudhatan pada orang lain baik
tetangga atau orang lain.[22]
3.
Etika
Perpindahan Kepemilikan
Dalam perpindahan kepemilikan kedua belah pihak haruslah
memperhatikan keridhaan kedua belah pihak tanpa tipuan dan paksaan agar
diantara kedua belah pihak tidak ada yang
dirugikan.[23]
G.
Pencabutan Kepemilikan
Negara berhak untuk mencabut kepemilikan individual untuk kemaslahatan
umum. Seperti halnya ketika seseorang mempunyai makanan dan banyak masyarakat
yang sangat membutuhkan maka diperbolehkan bagi negara untuk memaksanya untuk
menjualnya. Begitu juga diperbolehkan untuk memperluas masjid-masjid dan jalan-jalan
dengan memperhitungkan.[24]
BAB IV
Kerangka Konsep Harta dan Kepemilikan
Lampiran 1:
Lampiran 2:
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harta adalah salah satu kebutuhan
primer bagi kehidupan manusia. Tidak bisa diingkari bahwa setiap manusia
membutuhkan harta. Bahkan para ulama ushul fikih memasukan persoalan harta
menjadi salah satu bagian dalam al-dharûriyat al-khamsah (lima kebutuhan
pokok) dalam kehidupan manusia yang perlu dijaga yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.
Kepemilikan tidak bisa dipisahkan
dengan permasalahan harta. Konsep harta dan kepemilikan sangat diperhatikan
dalam Islam. Diawali dengan definisi dan hakikat kepemilikan dan harta,
aturan-aturannya dan dalam sistem pelaksanaannya. Kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa konsep Ekonomi Islam sangat berbeda dengan Ra’sumâli
dan Isytirâki. Ekonomi Islam memiliki konsep bahwa kepemilikan individu
tidak boleh dimanfaatkan hanya untuk kepentingan individu saja, akan tetapi
memberikan manfaat kebaikan pula bagi orang lain pada umumnya, dan kepemilikan
umum atau kepemilikan negara pun tidak boleh dimanfaatkan hanya untuk
kepentingan golongan tertentu saja, akan tetapi kepemilikan umum dimanfaatkan
demi kemaslahatan setiap individu yang ada atau singkatnya demi kemaslahatan umat.
Demikianlah kesempurnaan ajaran Islam khususnya mengenai konsep Ekonomi Islam
dalam pembahasan Harta dan Kepemilikan.
Demikianlah makalah ini kami
uraikan, semoga tulisan ini dapat memberikan banyak wawasan dan pelajaran
penting pada kita tentang hakikat harta dan kepemilikan menurut pandangan
Islam. Sepandai apapun tupai melompat pasti ia akan jatuh juga. Mungkin
begitulah pribahasa yang cocok untuk menggambarkan makalah ini. Sebaik apapun
kami membuat dan menyusun makalah ini pasti tetap akan terdapat kesalahan
didalamnya. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi
penyempurnaan makalah ini dan dijadikan pelajaran untuk makalah-makalah selanjutnya.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada para pembimbing yang selalu kami
harapkan bimbingannya.
Jazâkumullah
Khairal Jazâ’
B.
Saran
Sebagai agama yang mengedepankan ajaran tauhid dan merupakan rahmatan
lil ‘âlamin, Islam sangat
menekankan untuk memiliki harta dengan cara yang diperbolehkan, melakukan
investasi yang halal saja dan didistribusikan sesuai dengan konsep yang
mengantarkan pada agama yang rahmatan lil ‘âlamin.
Kepemilikan yang bersifat relatif, harta yang hanya merupakan
amanah dari pemilik mutlak dan sebagian harta yang merupakan hak orang lain
yang harus diberikan kepada mereka, seyogyanya untuk diimplementasikan dengan
semestinya sesuai dengan konsep-konsep yang sudah diisyaratkan alquran dan
hadis-hadis Nabi ribuan tahun silam.
Dengan demikian penguasaan kepemilikan harta tidak terakumulasi
oleh perorangan atau sekolompok orang saja, tetapi juga bisa dinikamati orang
atau komunitas lain sebagai kewajiban yang harus dikeluarkan dan hak yang harus
diperoleh mereka sebagaimana yang telah
diperintahkan Allah Swt
كَيْ
لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ (الحشر:7)
Yang berarti: supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang Kaya saja di antara kamu.
Marilah kita bersama-sama untuk mengasuh anak yatim, memberi makan
orang miskin dan membantu orang yang membutuhkan agar kita tidak termasuk pada
orang-orang yang mendustakan agama rahmatan lil ‘âlamin yang sudah kita ikuti, sesuai
dengan perintah pemilik mutlak yang kita imani pada surah al-Mâ’ûn
أَرَأَيْتَ
الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (١) فَذَلِكَ
الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (٢) وَلا يَحُضُّ
عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (٣) فَوَيْلٌ
لِلْمُصَلِّينَ (٤) الَّذِينَ
هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ (٥) الَّذِينَ
هُمْ يُرَاءُونَ (٦) وَيَمْنَعُونَ
الْمَاعُونَ (٧) (الماعون:1-7)
Artinya: 1. tahukah kamu (orang)
yang mendustakan agama? 2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. dan
tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. 4. Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, 6.
orang-orang yang berbuat riya, 7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Daftar
Pustaka
Taufik,
Mohamad, Quran
In Word Ver 1.3, Taufiq Product,
yahoo messenger id : mtaufiq.rm, http://www.qeocities.com/mtaufi.rm/quran.html
Irsyad, Mahmud Abdul
Karim, Al-Madkhal Ila al-Iqtishad al-Islami, Dar an-Nafais, Kairo, 2012
Zahroh, Muhammad Abu, Al-Milkiyah
wa nazhoriyah al-Aqd, Dar al-Fikr al-Arabi, Kairo, Cet I 2004
Al-Mishri, Rofiq Yunus, Fiqhu
al-Muamalati
al-Maliyyah, Dar
al-Qalam, Damaskus, Cet. IV, 2012.
Dawabah, Asyraf Muhammad, Al-Iqtishadi al-Islami
Madkhal wa Manhaj, Darus al-Salam,
Kairo, Cet. I, 2010.
Djakfar, Muhammad, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam,
UIN-Malang Press, Malang, Cet. I, 2007.
[1] DR. Mahmud Abdul Karim Irsyad, Al Madkhal Ila Al
Iqtishad Al Islami, Daru an-Nafa’is, Kairo, 2012, hal. 110
[2] Ibid., hal. 110
[3] http://mujahidinimeis.wordpress.com/2011/01/24/harta-dalam-perspektif-ekonomi-islam-dan-fiqh-muamalah/. (diakses pada hari
Senin, 24 Januari 2011)
[4] Muhammad Abu Zahroh, al
milkiyah wa nazhoriyah al aqd, Daru al-Fikr al-Arabi, Kairo, Cet I 2004,
hal. 47-48
[5] http://amrianidris.blogspot.com.eg/2014/06/konsep-harta-dan-kepemilikan-dalam-islam.html?m=1 (diakses pada hari Kamis, 5 Juni 2014)
[6] Dr. Rofiq Yunus
al-Mishri, Fiqhu al-Mu’âmalâti al-Mâliyyah, Daru al-Qalam, Damaskus, Cet.
IV, 2012, hal. 40-41
[7] Ibid., hal. 46
[8] Ibid., hal. 46-47
[9] Ibid., hal. 40
[10] Dr. Asyraf Muhammad dawâbah, al-Iqtishâdi
al-Islâmi Madkhal wa Manhaj, Darus al-Salâm, Kairo, Cet. I,
2010, hal.141-144
[12] Ibid., hal. 51
[13] Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag, Etika Bisnis dalam
Perspektif Islam, UIN-Malang Press, Malang, Cet. I, 2007, Hal.89
[14] Ibid., Hal. 89-90
[16] Ibid., hal. 52
[17] Ibid., hal. 55
[18] Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag, op. cit. hal.100
[19] Ibid., hal. 101
[21] Ibid., hal. 56
[22] Ibid., hal. 56
[23] Ibid., hal. 57
[24] Ibid., hal. 57
No comments:
Post a Comment