TauKahAnda

TaukahAnda bertujuan untuk menjangkau informasi yang anda butuhkan dalam segala aspek pengetahuan

Sponsor

Sunday, November 4, 2018

Konsep Harta dan Kepemilikan dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
      Harta merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. Pada umumnya harta menjadi sesuatu yang disukai oleh manusia, seperti uang, emas, perak, pertanian, dan berbagai macam jenis perhiasan dunia lainnya. Dalam prakteknya, harta menjadi salah satu gambaran status seseorang dalam kehidupannya. Semakin banyak harta seseorang maka semakin tinggi status pandangan sosial orang-orang disekitarnya.
      Kepemilikan sangat erat kaitannya dengan harta karena status dan manfaat harta sangat bergantung pada konsep kepemilikannya. Konsep kepemilikan menurut Ekonomi Ra’sumâli dalam permasalahan harta memiliki pandangan bahwa manusia adalah pemilik mutlak seluruh proses sember daya ekonomi, sehingga manusia memiliki hak penuh dalam pemanfaatannya sesuai kebutuhannya. Sedangkan konsep kepemilikan Ekonomi Isytirâki memiliki pandangan yang berlawanan dengan konsep Ekonomi Ra’sumâli yaitu mementingkan hak milik sosial atau milik bersama dan pemerintah berperan sebagai pengatur utamanya. Pandangan konsep kepemilikan harta Ekonomi Ra’sumâli dan Ekonomi Isytirâki yang terlalu ekstrim dalam penerapannya justru menimbulkan permasalahan-permasalahan yang tidak berujung yang merugikan banyak masyarakat atau suatu golongan tertentu dan bahkan mengganggu keseimbangan dalam perekonomian dunia.
      Menanggapi permasalahan konsep kepemilikan harta Ekonomi Ra’sumâli dan Ekonomi Isytirâki yang sulit diselesaikan maka muncul gagasan dalam konsep Ekonomi Islam mengenai harta dan kepemilikan menurut pandangan Islam sebagai solusi dari permasalahan-permasalahan tersebut. Lebih lanjut makalah ini akan membahas lebih rinci mengenai Konsep Harta dan Kepemilikan dalam Pandangan Islam.

B.   Rumusan Masalah
1.      Apa definisi harta dan kepemilikan?
2.      Apa saja macam-macam harta dan kepemilikan?
3.      Bagaimana harta dan kepemilikan dalam perspektif islam?



C.   Maksud dan Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui definisi harta dan kepemilikan.
2.      Memahami dengan baik konsep kepemilikan harta dalam Islam.
3.      Dapat mengklarifikasikan pembagian atau macam-macam harta dan kepemilikan.
4.      Dapat mengidentifikasi perbedaan konsep Ekonomi Islam dengan konsep Ekonomi Ra’sumâli dan Isytirâki dalam kepemilikan harta.

D.   Metode Penulisan
Dalam membuat makalah ini, penulis menggunakan metode studi pustaka, dengan mengumpulkan informasi dan materi dari berbagai sumber yang ada dan ketika referensi diambil dari sebuah kitab yang butuh untuk diterjemahkan penulis lebih banyak menggunakan metode penerjemahan bebas.
Kemudian Kami susun menjadi satu makalah utuh yang didalamnya memberikan gambaran-gambaran umum dan khusus mengenai materi yang bersangkutan.





















BAB II
KONSEP HARTA

A.   Definisi Harta
Dalam literatur Islam (Alquran dan Hadis) dan Bahasa Arab, harta disebut المال (al mâl) dalam bentuk tunggal dan الأموال (al amwâl) dalam bentuk jamak atau banyak. Diambil dari kata dasar مال – يميل – ميلا yang berarti condong, cenderung, dan miring. Dikatakan condong, cenderung, dan miring karena secara tabiat manusia cenderung ingin memiliki dan menguasai harta tersebut. Dalam Shahibu al-Qamus, kata al mâl berarti apa saja yang dimiliki dari segala sesuatu.[1] Dalam Mu’jam al-Wasith, kata al mâl adalah segala sesuatu yang dimiliki seseorang atau kelompok, seperti perhiasan, barang dagangan, bangunan, uang dan hewan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), harta adalah barang yang menjadi kekayaan, atau kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai.
Adapun pengertian mâl (harta) secara istilah terdapat banyak perbedaan pendapat para ahli fikih dalam mengartikannya. Beberapa pengertian al mâl (harta) menurut pandangan para ahli fikih diantaranya:
1.      Imam Abu Hanifah: sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya, baik manusia itu akan memberikannya atau menyimpannya, yang kemungkinannya akan digunakan ketika dibutuhkan.[2]
2.      Imam Ahmad bin Hambal: apa-apa yang memiliki manfaat yang dapat digunakan untuk suatu keperluan atau untuk kondisi darurat.
3.      Imam Syafii: barang-barang yang memiliki nilai jual, dan nilai harta tersebut akan terus ada kecuali jika semua orang telah meninggalkannya (tidak lagi berguna atau tidak lagi dibutuhkan).
4.      Ibnu Abidin: segala sesuatu yang disukai nafsu atau jiwa yang bisa disimpan hingga waktu ia dibutuhkan.
5.      As Suyuti, dinukil dari Imam Syafii: tidak ada yang bisa disebut mâl (harta) kecuali apa-apa yang memiliki nilai jual dan diberi sanksi bagi siapa yang merusaknya.
6.      Jumhur Ahli Fikih: segala sesuatu yang memiliki nilai, dan orang yang merusaknya berkewajiban untuk menanggung atau menggantinya.[3]



Dr. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan lebih rinci dalam bukunya mengenai definisi harta. Secara bahasa, harta adalah segala sesuatu yang mungkin untuk dimiliki, sama saja apakah kepemilikan tersebut terdapat pada wujud benda itu sendiri atau pada manfaatnya. Dalam menentukan definisi menurut istilah sudah sepatutnya harus memiliki hubungan erat dengan pengertian atau definisi menurut bahasa, adapun pengertian harta menurut istilah terdapat perbedaan pendapat, diantaranya:
1.      Harta adalah sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya dan mungkin untuk disimpan kemudian digunakan jika sewaktu-waktu membutuhkannya.
Pengertian ini meskipun dekat dengan pengertian secara bahasa, tetapi definisi tersebut kurang lengkap karena dalam praktiknya kita menemukan bahwa ada jenis harta yang tidak ingin dimiliki manusia seperti racun misalnya. Ada juga harta yang tidak mungkin disimpan dalam waktu tertentu ketika kita membutuhkannya seperti sayuran.
2.      Harta adalah apa saja yang memungkinkan untuk diberikan atau ditahan.
Pengertian ini lebih luas dari pengertian sebelumnya. Akan tetapi definisi ini juga kurang tepat karena hanya mencakup masalah pemanfaatan dalam harta.
3.      Harta adalah nama yang dinisbatkan untuk segala sesuatu selain bani adam, diciptakan untuk kemaslahatan bani adam, mungkin untuk dipelihara, disimpan, dan diberdayakan sesuai keinginan dari bani adam itu sendiri.
Pengertian ini adalah pengertian yang paling tepat karena mencakup aspek umum dan khusus dalam definisi harta secara istilah. Meski terdapat beberapa perbedaan redaksi kata dalam pengertian secara istilah, namun makna yang dimaksud tetap sama.[4]
Dalam Alquran kata mâl atau al mâl disebutkan sebanyak 24 kali dalam ayat yang berbeda-beda, kata amwâl disebutkan sebanyak 61 kali dalam puluhan ayat dan surat yang berbeda-beda pula, dan kata mâliyah disebutkan sebanyak satu kali saja.[5]
       Gambaran mengenai definisi harta dan kesenangan terhadapnya juga dijelaskan dalam Alquran surat Ȃli ‘Imrȃn ayat 14 yang artinya :
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ȃli ‘Imrȃn 3:14)
Dari ayat tersebut secara umum harta dalam pandangan Alquran adalah sesuatu yang disenangi manusia seperti emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, sawah ladang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perhiasan dunia.
B.           Macam-macam Harta
1.     ‘Iqâr dan Manqûl
‘Iqâr adalah harta yang tidak dapat dipindahkan dari tempatnya seperti tanah dan rumah.
Manqûl adalah harta yang dapat dipindahkan seperti emas, perak dan hewan.
2.      Mitsly dan Qîmî
Mitsly adalah harta yang sama yang dapat ditemukan di pasar tanpa perbedaan yang berarti seperti beras, jagung dan gandum.
Qîmî adalah harta yang tidak memiliki kesamaan di pasar, seperti hewan-hewan yang berbeda-beda dan rumah.
3.     Mutaqawwim dan Ghairu Mutaqawwim
Mutaqawwim menurut Ulama Mazhab Hanafi adalah harta yang bisa dimanfaatkan secara syariat ketika dalam keadaan tidak terpaksa “boleh memilih” seperti makanan-makanan yang halal.
Ghairu Mutaqawwim adalah harta yang bisa dimanfaatkan ketika dalam keadaan darurat saperti alkohol dan babi.
4.     Nuqûdz dan ‘Arudz
Nuqûdz adalah harta yang berupa mata uang emas, perak, kertas dan lain-lain.
‘Arudz adalah harta selain Nuqûdz seperti tumbuhan, hewan dan tanah.[6]
5.     Dhzimâr dan Marjû
Dhzimâr adalah harta yang pemiliknya tidak memungkinkan untuk mengelolanya dikarenakan dighasab, hilang atau yang lain.
Marjû adalah harta yang masih dimungkinkan untuk kembali pada pemilikanya seperti piutang yang masih dimungkinkan untuk ditagih oleh pemilik.
Pembagian harta ini biasa dipakai pada bab zakat, harta yang berstatus Marjû wajib dizakati dan kewajiban zakat dalam harta yang berstatus Dhzimâr masih terdapat perbedaan ulama.[7]
6.     Nâmi dan Qaniyyah
Nâmi adalah harta yang berkembang atau bertambah seperti tumbuh-tumbuhan “Nâmi haqȋqȋ” dan mata uang “Nâmi Taqȋdrȋ”.
Qaniyyah adalah harta yang diambil manusia untuk kebutuhannya saja bukan untuk berniaga.
Pembagian harta sebagaimana tersebut biasa dipakai pada bab zakat, yang mana kewajiban zakat hanya diwajibkan pada harta Nâmi dan zakat yang dikeluarkan adalah dari hasil perkembangan harta.
7.     Zhâhir dan Bâthin
Zhâhir adalah harta yang tidak mungkin disembunyikan seperti pertanian, buah-buahan dan hewan ternak.
Bâthin adalah harta yang memungkinkan untuk disembunyikan seperti uang dan barang-barang dagangan.
Pembagian ini biasa dipakai di bab zakat, harta yang bersifat Bâthin maka pemerintah tidak ikut campur dalam pengeluaran zakat.
8.     Ribawi dan Ghairu Ribawi
Ribawi adalah harta yang tergolong pada praktek-praktek riba. Ada enam jenis harta yang tergolong harta Ribawi menurut Hadis Nabi yang tergolong pada dua ‘Illah Naqdiyyah dan Math’umiyyah.
Ghairu Ribawi adalah harta selain harta Ribawi.[8]

C.   Hubungan Harta dengan Manfaat dan Utang
Setiap barang yang ada disekitar kita pasti memiliki manfaat tersendiri, baik manfaat tersebut untuk diri kita pribadi atau untuk orang lain. Contoh manfaat suatu barang diantaranya seperti rumah yang bermanfaat untuk tempat istirahat dan pakaian yang bermanfaat untuk  menutupi badan. Adapun utang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu barang yang dipinjamkan pada orang lain. Lalu apakah manfaat dan utang dapat termasuk dalam golongkan harta?
Ulama berbeda pendapat mengenai status manfaat dan utang. Menurut Ulama Mazhab Hanafi manfaat dan utang bukanlah harta. Akan tetapi, mayoritas ulama menyatakan bahwa manfaat termasuk dalam kategori harta karena benda-benda yang dipakai bukanlah dzatnya yang dimaksudkan secara hakiki akan tetapi manfaat benda tersebut. Begitu juga utang dapat dinamakan harta menurut mayoritas ulama.[9]

D.   Status Harta dalam Islam
Harta merupakan salah satu kebutuhan hidup yang harus ada dalam kehidupan manusia. Islam memandang harta tidak lah hina, bahkan dalam Alquran sebutannya mencapai lebih dari 80 kali dan disebut pula dalam hadis-hadis Nabi yang tak terhitung jumlahnya. Allah Swt pun telah menjadikan harta menjadi salah satu perhiasan kehidupan dunia.



Allah Swt berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا (الكهف:٤٦)
Artinya: harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

Islam telah menetapkan status harta dengan konsep-konsep yang telah diisyaratkan Allah melalui Alquran dan Hadis Nabi, salah satunya adalah  larangan menyia-nyiakan harta. Motivasi untuk menjaga harta dan  perintah untuk saling menjaga hak milik harta diantara orang muslim juga dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi Saw.
"وَنَـهَى رَسُول الله صلى اللهُ عَلَيْه وَ سلَّم عنْ إِضَاعَةِ الـمَالِ"
Artinya: Rasulullah Saw telah melarang menyia-nyiakan harta.
"مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ"
Artinya: Barang siapa terbunuh karena membela hartanya maka dia mati syahid.
"كُلُّ الـمُسْلِمِ عَلى الـمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُوَمَالُهُ وَعِرْضُهُ"
Artinya: Diharamkan bagi setiap muslim terhadap muslim lainnya darah, harta dan kehormatannya.

Islam menempatkan harta sebagai sesuatu yang dapat mempermudah dalam interaksi kehidupan di dunia. Harta sebagai salah satu pondasi dalam muamalah seperti berdagang, bisnis, dan lain sebagainya dapat menghilangkan kerancuan dalam kepemilikan suatu barang atau harta. Islam tidak menganggap harta dengan anggapan yang tidak baik sehingga ia dikucilkan dan juga tidak menganggapnya sesuatu yang terpuji sehingga ia dimuliakan, akan tetapi islam hanya menempatkannya sebagai perantara yang apabila digunakan dengan baik maka akan berbuah kebaikan dan ketika digunakan dengan tidak baik maka akan membuahkan sesuatu yang tidak baik juga. Sebagaimana diisyaratkan Allah Swt dalam Alquran.

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (٥) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (٦) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (٧) وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى (٨) وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى (٩) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (١٠) وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى (١١) (الليل :٥ـــ١١)
Artinya: 5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, 6. dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga). 7. Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah, 8. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, 9. serta mendustakan pahala terbaik. 10. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.11. dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.
Oleh karena itu, harta dalam kepemilikan seorang muslim tidaklah lebih dari kepemilikan hak pengambilan manfaat saja. Sehingga seorang muslim sangatlah diharuskan untuk menggunakan harta pinjamannya untuk taat hanya pada pemiliknya  dengan melakukan investasi-investasi yang halal saja untuk kebaikannya di akhirat tanpa melupakan hak-haknya didunia.[10]



BAB III

Konsep Kepemilikan

A.     Definisi Kepemilikan
Kata milik menurut bahasa adalah menguasai sesuatu atau kemampuan untuk menguasainya dan menggunakannya.[11]
Menurut Ulama Mazhab Maliki kepemilikan secara istilah adalah hukum yang ditetapkan pada suatu benda atau manfaat, atau bisa diartikan memungkinnya manusia baik melalui orang lain atau dirinya sendiri untuk memanfaatkan benda atau manfaat berdasarkan syariat.[12]
Menurut H. Behesti, kepemilikan merupakan pemberian -yang bersifat sosial dan diakui- suatu hak dari seseorang atau kelompok kepada seseorang atau suatu kelompok masyarakat. Pemberian ini mencerminkan hak potensial untuk memanfaatkan barang tertentu, dan pada saat yang sama menyampingkan pihak lain dari pemberian hak yang sama.[13]
Pendapat lain menyatakan, sebagaimana dikutip Behesti bahwa kepemilikan menunjukkan hubungan sosial dan diakui antara individu atau kelompok atas dasar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, hal tersebut menandai adanya hak milik sah atas suatu barang oleh seseorang atau suatu kelompok, sehingga pada saat yang sama menghalangi pihak lain dari hak milik tersebut.[14]

B.     Kepemilikan dalam Pandangan Islam
Apabila kita berbicara tentang sesuatu yang bersandar pada Islam, tentu yang dimaksud disana adalah hukum syariat yang bersumber dari Alquran dan Hadis. Konsep kepemilikan dalam Islam sangat berbeda dengan konsep kepemilikan Ekonomi Ra’sumâli dan Ekonomi Isytirâki yang masing-masing memiliki kecondongan tersendiri dalam konsepnya. Konsep kepemilikan menurut Islam atau dalam pembahasan Ekonomi Islam memiliki pandangan bahwa semua harta yang kita miliki pada hakikatnya adalah milik Allah Swt. Sedangkan manusia hanya memiliki hak pakai dalam pemanfaatannya atau singkatnya semua harta yang dimiliki manusia hanya titipan dari Allah Swt. Oleh karena itu, dalam konsep Ekonomi Islam tidak ada kepemilikan mutlak bagi manusia.
Hak milik dalam agama islam sangatlah dijaga baik secara individual ataupun hak milik secara umum. Sehingga dilarang bagi muslimin untuk mengambil hak milik orang lain.



Allah Swt berfirman :
لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ  (النساء : 29)
Artinya: 29. janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ دِمَائَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَ أَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ
Artinya: sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan barang-barang kalian diharamkan atas kalian.
Al-Juwaini menyatakan pekerjaan yang tidak diragukan lagi keharamannya adalah menguasai hak orang lain dengan jalan yang tidak benar. Begitu juga pernyataan Ibnu Taimiyyah yang berkata “laki-laki lebih berhak terhadap hartanya dari pada anaknya, orang tuanya dan semua manusia.[15]
   Tapi realita yang terjadi banyak penyelewengan-penyelewengan hak milik yang terjadi di masyarakat yang merupakan salah satu akibat  konsep Ekonomi Ra’sumâli yang masih mengakar dalam konsep perekonomian dunia. Banyak barang yang seharusnya dimiliki Negara tapi dimiliki perorangan atau swasta  sehingga yang seharusnya dimiliki Negara untuk hak layak umum tapi hanya dimiliki perorangan saja, dan juga masih banyak sumber daya alam yang seharusnya dimilki hak layak umum masih dimiliki para pemilik modal yang keuntungannya hanya dinikmati sebagian orang saja. Sehingga apa yang telah diperintahkan oleh Allah Swt masih belum bisa terealisasi dengan baik.
Allah Swt berfirman :
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٧) (الحشر:7)
Artinya: 7. apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

C.        Kepemilikan adalah Amanah
               Kita sering merasa memiliki semua yang kita miliki, tanpa kita sadari bahwa itu semua hanyalah amanah dari Allah Swt. untuk kita kelola sesuai dengan yang Ia perintahkan. Berikut adalah dalil-dalil mengenai konsep kepemilikan harta Ekonomi Islam yang menjelaskan bahwa harta pada hakikatnya adalah milik Allah dan manusia hanya bertugas sebagai pengelola.

Allah Pemilik Hakiki
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣٣) (النور : 33)
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” (QS. An Nûr:33)
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٢٨٤)
Artinya: “kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah:284)

Manusia hanyalah Pengelola
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ (٧) (الحديد:7)
Artinya: “berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al-Hadîd:7)

D.   Macam-macam Kepemilikan
1.      Kepemilikan Khusus, Umum dan Negara
a.         Kepemilikan khusus/individu adalah harta yang dimiliki satu orang tertentu baik perorangan atau perkongsian.
b.        Kepemilikan umum adalah harta yang tidak dimilki orang tertentu akan tetapi dimiliki semua orang dengan perkongsian yang diperbolehkan. Maka tidak diperbolehkan bagi Negara atau perorangan untuk mengelolanya dengan akad jual beli atau hibah akan tetapi hanya di perbolehkan untuk mengambil manfaatnya saja.
c.         Kepemilikan Negara adalah harta yang hak miliknya dimilki negara atau biasa diistilahkan dengan hak milik baitul mal. Maka diperbolehkan bagi Negara untuk mengelolanya seperti halnya pengelolaan kepemilikan individual sesuai dengan kebutuhan.[16]
2.           Kepemilikan Sempurna dan Tidak Sempurna
a.        Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap harta dan kemanfaatan harta. Seperti halnya ketika kita membeli mobil maka kita akan memiliki mobil dan manfaatnya. Berbeda halnya ketika kita menyewakan mobil tersebut maka kita cuma memiliki mobilnya saja dan tidak memiliki manfaatnya.
b.       Kepemilikan tidak sempurna adalahkepemilikan seseorang terhadap hartanya atau manfaatnya saja. Seperti halnya ketika kita meminjamkan mobil yang kita miliki maka kita akan menjadi pemilik mobilnya saja dan peminjam akan menjadi pemilik manfaatnya saja.
3.      Kepemilikan Sukarela dan Paksa
a.         Kepemilikan seukarela adalah hak milik yang timbul melalui proses sukarela “pilihan sendiri tanpa paksaan” baik menggunakan perkataan seperti akad buyu’  atau dihasilkan melalui pekerjaan seperti berburu, mencari rumput dan kayu bakar.
b.        Kepemilikan paksa adalah kepemilikan yang sudah ditentukan oleh syari’at seperti harta warits, wakaf, syhuf’ah dan ghanîmah.
4.      Kepemilikan Tetap dan Tidak Tetap
a.        Kepemilikan tetap adalah hak milik yang tidak bisa berubah seperti harga barang dagangan setelah serah terima atau mahar perkawinan setelah dukhul atau  berhubungan intim.
b.       Kepemilikan tidak tetap adalah kepemilikan yang bisa berubah seperti harga barang dagangan sebelum serah terima  dan mahar perkawinan sebelum dukhul atau berhubungan intim.[17]
5.                 Kepemilikan Mutlak dan Relatif (Terbatas)
a.        Kepemilikan Mutlak adalah kepemilikan yang dimiliki Allah Swt.
Pemilik hakiki semua kekayaan (harta benda) dialam semesta ini adalah Allah Swt karena Allah yang menciptakan segala sesuatu, maka hanya Dia-lah yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengontrol apa yang diciptakan-Nya.[18]

b.       Kepemilikan Relatif adalah kepemilikan yang dimiliki manusia.
Sekalipun harta itu adalah milik Allah, namun kepemilikan manusia diakui secara de jure karena Allah sendiri telah mengaruniakan padanya kekayaan dan Dia mengakui kepemilikan tersebut.[19]


E.         Sebab-Sebab Kepemilikan
Banyak cara untuk kita memiliki harta. Adakalanya kepemilikan timbul dari sebuah pekerjaan seperti berburu atau mencari kayu bakar di hutan, adakalanya kepemilikan timbul dari harta yang kita miliki seperti berbuahnya tanaman dan perkembang biakan ternak, adakanya disebabkan hubungan kekerabatan seperti hak waris dan adakalanya disebabkan hubungan sosial seperti shadaqah, hadiah dan banyak lagi cara kita untuk memiliki harta. Berikut salah satu sebab kepemilikan:

1.        Pertumbuhan harta seperti berbuahnya tanaman dan perkembang biakan hewan.
2.        Melakukan yang dibolehkan seperti mencari kayu bakar, dan berburu.
3.        Harta rampasan.
4.        Merevitalisasi lahan mati.
5.        Warisan.
6.        Diyat.
7.        Ganti rugi atas kerusakan.
8.        Pertukaran seperti jual beli dan sewa.

Sebab-sebab kepemilikan diatas sebagian diambil dari harta yang tidak ada pemiliknya seperti berburu dan mencari kayu bakar, sebagian diambil dari harta yang ada pemiliknya dengan paksa seperti harta rampasan “ghanimah”, sebagian diambil dari harta yang ada pemiliknya tanpa paksa dan menggunakan ‘iwadh seperti akad jual beli dan sebagian ada juga yang didapat dari harta yang ada pemiliknya tanpa paksaan dan tanpa ‘iwadh seperti hibah.[20]

F.      Etika Kepemilikan
1.       Etika Sebab-sebab Kepemilikan
Sebab-sebab kepemilikan diharuskan harus termasuk sebab yang diperbolehkan bukan melalui sebab terlarang seperti mencuri, menimbun, mengghashab, judi, riba, tipuan dan kekejian.[21]



2.       Etika Pengimplementasian Kepemilikan
Dalam mengimplementasikan kepemilikan, seorang pemilik harta haruslah memperhatikan hal-hal yang terlarang seperti berlebih-lebihan, bersikap kikir, menyia-nyiakan harta, menggunakan wadah emas dan perak, berpakaian berbahan sutra dan emas bagi kaum leleki dan menyebabkan kemudhatan pada orang lain baik tetangga atau orang lain.[22]
3.       Etika Perpindahan Kepemilikan
Dalam perpindahan kepemilikan kedua belah pihak haruslah memperhatikan keridhaan kedua belah pihak tanpa tipuan dan paksaan agar diantara kedua belah pihak tidak ada yang  dirugikan.[23]

G.        Pencabutan Kepemilikan
Negara berhak untuk mencabut kepemilikan individual untuk kemaslahatan umum. Seperti halnya ketika seseorang mempunyai makanan dan banyak masyarakat yang sangat membutuhkan maka diperbolehkan bagi negara untuk memaksanya untuk menjualnya. Begitu juga diperbolehkan untuk memperluas masjid-masjid dan jalan-jalan dengan memperhitungkan.[24]



BAB IV
Kerangka Konsep Harta dan Kepemilikan

Lampiran 1:


 



Lampiran 2:

 


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
     Harta adalah salah satu kebutuhan primer bagi kehidupan manusia. Tidak bisa diingkari bahwa setiap manusia membutuhkan harta. Bahkan para ulama ushul fikih memasukan persoalan harta menjadi salah satu bagian dalam al-dharûriyat al-khamsah (lima kebutuhan pokok) dalam kehidupan manusia yang perlu dijaga yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
     Kepemilikan tidak bisa dipisahkan dengan permasalahan harta. Konsep harta dan kepemilikan sangat diperhatikan dalam Islam. Diawali dengan definisi dan hakikat kepemilikan dan harta, aturan-aturannya dan dalam sistem pelaksanaannya. Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa konsep Ekonomi Islam sangat berbeda dengan Ra’sumâli dan Isytirâki. Ekonomi Islam memiliki konsep bahwa kepemilikan individu tidak boleh dimanfaatkan hanya untuk kepentingan individu saja, akan tetapi memberikan manfaat kebaikan pula bagi orang lain pada umumnya, dan kepemilikan umum atau kepemilikan negara pun tidak boleh dimanfaatkan hanya untuk kepentingan golongan tertentu saja, akan tetapi kepemilikan umum dimanfaatkan demi kemaslahatan setiap individu yang ada atau singkatnya demi kemaslahatan umat. Demikianlah kesempurnaan ajaran Islam khususnya mengenai konsep Ekonomi Islam dalam pembahasan Harta dan Kepemilikan.
     Demikianlah makalah ini kami uraikan, semoga tulisan ini dapat memberikan banyak wawasan dan pelajaran penting pada kita tentang hakikat harta dan kepemilikan menurut pandangan Islam. Sepandai apapun tupai melompat pasti ia akan jatuh juga. Mungkin begitulah pribahasa yang cocok untuk menggambarkan makalah ini. Sebaik apapun kami membuat dan menyusun makalah ini pasti tetap akan terdapat kesalahan didalamnya. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini dan dijadikan pelajaran untuk makalah-makalah selanjutnya. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada para pembimbing yang selalu kami harapkan bimbingannya.
            Jazâkumullah Khairal Jazâ

B.   Saran
Sebagai agama yang mengedepankan ajaran tauhid dan merupakan rahmatan lil ‘âlamin, Islam sangat menekankan untuk memiliki harta dengan cara yang diperbolehkan, melakukan investasi yang halal saja dan didistribusikan sesuai dengan konsep yang mengantarkan pada agama yang rahmatan lil ‘âlamin.
Kepemilikan yang bersifat relatif, harta yang hanya merupakan amanah dari pemilik mutlak dan sebagian harta yang merupakan hak orang lain yang harus diberikan kepada mereka, seyogyanya untuk diimplementasikan dengan semestinya sesuai dengan konsep-konsep yang sudah diisyaratkan alquran dan hadis-hadis Nabi ribuan tahun silam.
Dengan demikian penguasaan kepemilikan harta tidak terakumulasi oleh perorangan atau sekolompok orang saja, tetapi juga bisa dinikamati orang atau komunitas lain sebagai kewajiban yang harus dikeluarkan dan hak yang harus diperoleh mereka  sebagaimana yang telah diperintahkan Allah Swt
كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ (الحشر:7)
Yang berarti: supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
Marilah kita bersama-sama untuk mengasuh anak yatim, memberi makan orang miskin dan membantu orang yang membutuhkan agar kita tidak termasuk pada orang-orang yang mendustakan agama rahmatan lil ‘âlamin yang sudah kita ikuti, sesuai dengan perintah pemilik mutlak yang kita imani pada surah al-Mâûn
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (١) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (٢) وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (٣) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (٤) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ (٥) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (٦) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (٧)  (الماعون:1-7)
Artinya: 1. tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. 4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, 6. orang-orang yang berbuat riya, 7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.













Daftar Pustaka

Taufik, Mohamad, Quran In Word Ver 1.3, Taufiq Product, yahoo messenger id : mtaufiq.rm, http://www.qeocities.com/mtaufi.rm/quran.html
Irsyad, Mahmud Abdul Karim, Al-Madkhal Ila al-Iqtishad al-Islami, Dar an-Nafais, Kairo, 2012
Zahroh, Muhammad Abu, Al-Milkiyah wa nazhoriyah al-Aqd, Dar al-Fikr al-Arabi, Kairo, Cet I 2004
Al-Mishri, Rofiq Yunus, Fiqhu al-Muamalati al-Maliyyah, Dar al-Qalam, Damaskus, Cet. IV, 2012.
Dawabah, Asyraf Muhammad, Al-Iqtishadi al-Islami Madkhal wa Manhaj, Darus al-Salam, Kairo, Cet. I, 2010.
Djakfar, Muhammad, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, UIN-Malang Press, Malang, Cet. I, 2007.






[1] DR. Mahmud Abdul Karim Irsyad, Al Madkhal Ila Al Iqtishad Al Islami, Daru an-Nafa’is, Kairo, 2012, hal. 110
[2] Ibid., hal. 110
[4] Muhammad Abu Zahroh, al milkiyah wa nazhoriyah al aqd, Daru al-Fikr al-Arabi, Kairo, Cet I 2004, hal. 47-48
[6] Dr. Rofiq Yunus al-Mishri, Fiqhu al-Mu’âmalâti al-Mâliyyah, Daru al-Qalam, Damaskus, Cet. IV, 2012, hal. 40-41
[7] Ibid., hal. 46
[8] Ibid., hal. 46-47
[9] Ibid., hal. 40
[10] Dr. Asyraf Muhammad dawâbah, al-Iqtishâdi al-Islâmi Madkhal wa Manhaj, Darus al-Salâm, Kairo, Cet. I, 2010, hal.141-144
[11] Dr. Rofîq Yûnus al-Mishri, op. cit hal. 51
[12] Ibid., hal. 51
[13] Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, UIN-Malang Press, Malang, Cet. I, 2007, Hal.89
[14] Ibid., Hal. 89-90
[15] Dr. Rofîq Yûnus al-Mishri, op. cit. hal.51
[16] Ibid., hal. 52
[17] Ibid., hal. 55
[18] Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag, op. cit. hal.100
[19] Ibid., hal. 101
[20] Dr. Rofîq Yûnus al-Mishri, op. cit. hal.55
[21] Ibid., hal. 56
[22] Ibid., hal. 56
[23] Ibid., hal. 57
[24] Ibid., hal. 57

No comments:

Sponsor