TauKahAnda

TaukahAnda bertujuan untuk menjangkau informasi yang anda butuhkan dalam segala aspek pengetahuan

Sponsor

Wednesday, January 9, 2019

Etimologi Fakir Dan Miskin



Fakir adalah orang yang sangat berkekurangan, terlalu miskin, dengan sengaja membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin. Fakir miskin adalah kaum fakir dan kaum miskin; orang-orang yang sangat kekurangan.[1] Menurut Luis Ma’luf fakir berarti susah dan sedih.[2] Taqiyuddin al-Nabhani menyatakan kata faqru (kemiskinan) dalam bahasa berarti ihtiyaj (membutuhkan). Bisa dinyatakan dengan fuqara waiftaqara lawan dari kata dari istaghna (tidak membutuhkan atau kaya); iftaqara ilaihi artinya adalah ihtaja (membutuhkan). Kata faqru lawan kata dari ghaniya. Hal itu karena seseorang bisa saja membutuhkan sesuatu sementara dia tidak memiliki sesuatu yang dibutuhkan.[3] Sedangkan Raghib al-Ashfahani dalam mu’jam mufrad alfadh al-qur’an, kata faqr dipergunakan untuk empat arti yaitu: adanya tuntutan kepada kebutuhan primer, tidak adanya persediaan makanan, rakus (fakr al-nafs lawan dari ghina al-nafs), berhajat kepada Allah.[4] Sedangkan kata faqir menurut syara’ adalah orang membutuhkan serta lemah keadaannya yang tidak bisa dimintai apa-apa.[5]

Miskin adalah tidak berharta, serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah).[6] Dalam kamus al-Munjid miskin berarti tetap dan tidak bergerak.[7] Menurut Atabik Ali miskin adalah yang kekurangan dan melarat.[8] Metwally mengatakan bahwa yang termasuk dalam kelompok miskin adalah: orang tua atau orang cacat yang tidak memperoleh pendapatan untuk keperluan sehari-hari, pengangguran yang belum memperoleh pendapatan, dan pengungsi yang menghindari penindasan di negara asalnya.[9] Menurut Parsudi Suparlan, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung akan tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai miskin.[10] Ajaran Islam yang di jabarkan dalam Fiqh melihat ada tiga faktor yang menentukan miskin tidaknya seseorang yaitu: pertama, harta benda yang dimiliki secara sah dan berada ditempat, kedua mata pencaharian atau pekerjaan tetap yang dibenarkan dalam hukum, ketiga, kecukupan kebutuhan pokok.[11]

Kemiskinan berasal dari kata miskin yang mendapatkan awalan ‘ke’ dan akhiran ‘an’ yang berarti orang yang tidak mempunyai apa-apa atau yang membutuhkan pertolongan.[12] Menurut Eti Rocaety kemiskinan adalah istilah yang menyatakan tidak ada kenikmatan hidup dan suatu persediaan kebutuhan tidak sebanding. Istilah ini didefinisikan sebagai suatu titik kehilangan untuk pemeliharaan efesiensi secara fisik. Suatu keadaan ekonomi yang di tandai dengan ketidaksanggupan untuk membeli barang dan jasa yang sangat dibutuhkan bagi kesehatan pribadi.[13] Masalah kemisikinan adalah masalah umat manusia keseluruhan. Dampak yang timbul terutama terbentuk keresahan-keresahan sosial yang tidak saja dirasakan oleh negara-negara berkembang, tetapi juga dirasakan oleh negara maju. Kemiskinan pada hakikkatnya enggan dalam melaksanakan Perintah Allah Swt, terutama dalam hal mengubah hidup kearah yang baik dan berusaha bekerja keras agar hidupnya lebih nyaman. Disamping itu juga pemahaman yang keliru tentang masalah rezeki yang dalam ungkapan bahwa saya miskin karena sudah takdir Tuhan yang sudah tidak dapat diubah lagi.[14] Kemiskinan merupakan bentuk kelumpuhan perekonomian umat yang dapat membawa dan menjurus kepada bentuk malapetaka, kemiskinan bukan saja mendekati pada kekafiran, kebodohan dan  keterbelakangan tetapi juga dapat mendekatkan kepada kehinaan, bahkan bisa mendangkalkan keimanan disebabkan lemahnya iman, akibat tidak sanggup bertahan dalam kemiskinan.[15]

Menurut Ali Yafie salah satu dari hadis yang mengungkapkan sebab-sebab kemiskinan yang berbunyi: “….aku mohon supaya Engkau melindungi aku dari kelemahan, kemalasan, ketakutan, kepelitan, terlilit hutang, dan diperas atau dikuasi sesama manusia”.[16] Menurut Sa’ad terjadinya kemiskinan terkait dengan moral interaksi manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya, alam, dan dengan masyarakatnya. Sebab kemiskinan terkait dengan alam ekploitasi alam tanpa melakukan analisis dampak ligkungan, kemiskinan yang terkait dengan dirinya sendiri kurang percaya pada kemampuannya, enggan mengaktualisasikan potensi yang ada dalam bentuk kerja yang nyata, sedangkan kemiskinan yang terkait dengan sosial masyarakat ialah terkonsentrasinya modal ditangan orang-orang kaya.[17]

Dalam teori development of under development atau teori ketergantungan dominasi bahwa sebab-sebab kemiskinan dan keterbelakangan bukanlah sekedar faktor-faktor yang terdapat pada masyarakat yang bersangkutan seperti kurangnya modal, pendidikan yang rendah, kepadatan penduduk, kekurangan gizi dan lainnya. Lebih dari itu faktor tersebut adalah atribut kemiskinan saja, tetapi kemiskinan itu sendiri berakar dari sejarah ekploitasi yang dilakukan oleh kapitalis asing atau internasional yang melakukan penetrasi, dominasi dan pengerukan keuntungan dari daerah pinggiran ke pusat-pusat metropolis.[18]


by :
Tesis : IHSAN ZULFANDRI

[1] http://kbbi.web.id/fakirdiakses pada tanggal 5 Juni 2016 pukul 14.55 wib. Lihat juga Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.3, cet.2 (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 312.
[2] Lūis Ma’lūf, al-Munjīd, cet.41, (Beirut: Maktabah al-Sharqiyah, 2005), hlm. 589.
[3] Taqīyuddīn al-Nabhāni, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, terj. Moh Maghfur (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 228.
[4] Rāghib al-Afahani, Mu’jām Mufrād AlfāAl-Qur’an (Beirut: Dar al-Fīkr, t.t), hlm. 397-398.
[5] Muhammad Al-Ghazāli, al-Islām wa al-Aua’ al-Iqtishādiyah (Mesir: Dar al-Rayyān, 1987), hlm. 137.
[6] http://kbbi.web.id/miskindiakses pada tanggal 5 juni 2016 pukul 15.00 wib lihat juga Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,ed.3, cet.2 (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 749.
[7] Lūis Ma’luf, al-Munjīd, cet.41, (Beirut: Maktabah al-Sharqiyah, 2005), hlm. 342.
[8] Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, cet.41, hlm. 1721.
[9] M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, (Jakarta: Bangkit Daya Insana, 1995), hlm. 7.
[10] Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. xi.
[11] Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, Cet.2, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 232.
[12] Hasbi Ash-Shidiqy, Pedoman Zakat, (Jakarta: Bulan Bintang,1976), hlm. 161.
[13] Ety Rochaety, Kamus Istilah Ekonomi, Ed.2, cet.1, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm. 158-159.
[14] Muslim Zainuddin dkk, Agama dan Perubahan Sosial Dalam Era Reformasi di Aceh, cet. 1, (Banda Aceh: ar-Raniry Press, 2006), hlm. 181
[15] Muslim Zainuddin dkk, Agama dan Perubahan Sosial …, hlm. 181.
[16] Wildana Wargadinata, Islam dan Pengentasan Kemiskinan, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm.17- 18.
[17] M. Saad IH, Kemiskinan Dalam Perspektif al-Qur’an, Disertasi Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, (Jakarta: 1997), hal. 48. Dalam Wildana Wargadinata, Islam dan Pengentasan Kemiskinan, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm. 19.
[18] M. Dawam Raharjo, Esei-esei Ekonomi Politik, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 8.

No comments:

Sponsor