SIRAH NABAWIYAH
( 13 A )
Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
FAKTOR
KESABARAN DAN KETEGARAN KAUM MUSLIMIN
Seorang yang berhati lembut akan berdiri tercenung dan para cendikiawan
akan saling bertanya diantara mereka: “apa sebenarnya
sebab-sebab dan faktor-faktor yang telah membawa kaum Muslimin mencapai puncak dan batas tak tertandingi dalam ketegarannya?”, “bagaimana mungkin mereka
bisa bersabar menghadapi penindasan demi penindasan yang membuat bulu roma merinding dan hati gemetar begitu
mendengarnya?”.
Melihat fenomena yang menggoncangkan jiwa ini, kami
menganggap perlunya menyinggung
sebagian dari faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut secara ringkas dan singkat:
1. Keimanan kepada
Allah
Sebab dan faktor
paling utama adalah
keimanan kepada Allah
Ta’ala semata dan ma’rifah
kepada-Nya dengan sebenar-benar ma’rifah. Keimanan yang
tegas bila telah
menyelinap ke sanubari dapat menimbang gunung
dan tidak akan
goyang. Orang yang
memiliki keimanan dan
keyakinan seperti ini akan memandang kesulitan duniawi sebesar, sebanyak dan serumit apapun seperti lumut-lumut yang
diapungkan oleh air bah lantas menghancurkan bendungan kuat dan benteng
perkasa. Orang yang kondisinya seperti
ini, tidak mempedulikan rintangan apapun lagi karena telah mengenyam
manisnya iman, segarnya keta’atan serta cerianya keyakinan. Allah berfirman:
“Adapun buih itu akan
hilang sebagia sesuatu
yang tak ada
harganya. Adapun yang
memberi manfaat kepada manusia,
maka ia tetap di bumi”.
(Q,.s.ar-Ra’d: 17)
Dari sebab utama
ini, kemudian berkembang dan beralih kepada
sebab-sebab lain yang semuanya tidak lain menguatkan ketegaran dan kesabaran tersebut seperti yang
akan disebutkan selanjutnya.
2. Kepimpinan yang
digandrungi
oleh setiap hati
Sosok Rasulullah adalah
sosok seorang pemimpin umat Islam tertinggi. Tidak saja bagi Umat Islam tetapi bagi
seluruh manusia. Beliau
memiliki postur badan
yang ideal, jiwa yang sempurna, akhlak luhur,
sifat-sifat yang terhormat dan ciri fisik yang
agung. Hal ini dapat menyebabkan hati tertawan dan membuat jiwa
rela berjuang untuknya sampai tetas darah
terakhir. Kesempurnaan yang dianugerahkan kepadanya tersebut tidak pernah
dianugerahkan kepada siapapun. Beliau menempati posisi
puncak dalam derajat sosial, keluhuran budi, kebaikan dan
keutamaan. Demikian pula
dari sisi kesucian diri, amanah, kejujuran dan semua jalan-jalan kebaikan
tidak ada yang menandinginya. Jangankan oleh para pencinta dan shahabat karib
beliau, musuh-musuhnya pun tidak meragukan lagi hal itu. Ungkapan yang
pernah terlontarkan dari
mulut beliau pastilah
membuat mereka langsung
meyakini kejujurannya dan kebenarnya.
Suatu ketika, tiga orang tokoh
Quraisy berkumpul. Masing-masing dari mereka ternyata telah mendengarkan al-Qur’an
secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh dua temannya yang lain, namun
kemudian rahasia itu tersingkap. Salah
seorang dari mereka bertanya kepada Abu Jahal –yang merupakan salah
seorang dari ketiga orang tersebut- :
“bagaimana pendapatmu mengenai apa yang engkau dengar dari Muhammad tersebut?”
“apa yang telah aku
dengar? Memang kami telah berselisih dengan Bani ‘Abdi
Manaf dalam persoalan derajat
sosial; manakala mereka
makan, kamipun makan;
mereka menanggung
sesuatu, kamipun ikut menanggungnya; mereka memberi, kamipun memberi hingga akhirnya kami
sejajar diatas tunggangan yang sama (setara
derajatnya-red). Kami ibarat dua kuda
perang yang sedang
bertaruh. Lalu tiba-tiba mereka berkata: ‘kami memiliki nabi yang
membawa wahyu dari langit!’. Kapan
kami mengetahui hal ini? Demi Allah! kami tidak akan beriman sama
sekali kepadanya dan tidak akan membenarkannya”.
Abu Jahal pernah berkata: “wahai Muhammad! sesungguhnya kami tidak pernah
memdustakanmu akan tetapi
kami mendustakan apa yang engkau
bawa”. Lalu turunlah ayat: “Sebenarnya
mereka bukan mendustakanmu, tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah”. (Q,.s.al -An’âm: 33).
Suatu ketika kaum
Kafir mempermainkan beliau dengan
saling mengerling diantara mereka. Mereka melakukan itu
hingga tiga kali. Pada kali ketiga ini, barulah beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam menjawab: “wahai
kaum Quraisy! sungguh
aku datang membawakan
sembelihan untuk kalian”. Ucapan beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi mereka Bahkan orang yang paling
kasar diantara mereka, memberikan ucapan selamat kepada beliau
dengan sebaik-baik ucapan
yang pernah beliau
dapatkan.
Ketika mereka melemparkan kotoran onta ke arah kepala
beliau saat sedang
sujud, beliau mendoakan
kebinasaan atas mereka. Tawa yang tadinya menyeringai di bibir mereka berubah menjadi kegundahan dan kecemasan karena
mereka yakin akan
binasa.
Beliau mendoakan kebinasaan atas ‘Utbah bin Abi Lahab.
Orang ini masih
yakin akan terjadinya apa yang didoakan oleh beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam terhadapnya. Maka, ketika dia melihat
segerombolan singa, serta
merta dia bergumam: “Demi Allah!
dia (Muhammad) telah membunuhku padahal dia berada di Mekkah”.
Ubay bin Khalaf pernah mengancam akan membunuh
beliau, namun beliau menantangnya: “akulah
yang akan membunuhmu, insya Allah”. Maka,
pada perang Uhud, tatkala beliau berhasil mencederai
Ubay di bagian lehernya, yakni goresan yang tidak terlalu melebar,
Ubay berkomentar: “Sesungguhnya apa yang diucapkannya di Mekkah dihadapanku dulu : ‘akulah
yang akan membunuhmu’ telah terjadi. Demi
Allah! andai dia meludah saja ke arahku
niscaya itu akan
dapat membunuhku”. Pembahasan tentang ini akan disajikan pada bahasan mendatang.
Sa’d bin Mu’adz
–saat berada di Mekkah- pernah
berkata kepada Umayyah
bin Khalaf: “Sungguh, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam bersabda: ‘ sesungguhnya mereka –kaum Muslimin- telah
memerangimu’ “. Mendengar ini, dia tampak sangat takut
sekali dan berjanji
untuk tidak akan
keluar dari Mekkah.
Ketika dipaksa oleh Abu Jahal
untuk berperang di Badar, dia
membeli keledai yang
paling bagus di Mekkah untuk digunakannya bila suatu ketika dapat kabur.
Saat itu, isterinya berkata kepadanya: “Wahai
Abu Shafwan! Apakah engkau lupa apa yang dikatakan saudaramu dari Yatsrib tersebut?”.
Dia menjawab: “Demi Allah!
bukan demikian tetapi
aku tidak akan
mau berhadapan langsung
dengan mereka kecuali
memang sudah dekat
benar jaraknya”.
Demikianlah kondisi musuh-musuh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam .
Adapun kondisi para
shahabat dan rekan-rekan beliau lain lagi;
kedudukan beliau di sisi
mereka ibarat ruh dan jiwa
dan semua urusan
beliau menempati hati dan mata
mereka. Cinta yang tulus
terhadap diri beliau
mengalir terhadap beliau
bak aliran air ke dataran rendah. Keterpikatan hati mereka terhadap beliau
laksana tarikan magnet terhadap besi.
Oleh karena itu,
sebagai implikasi dari
rasa cinta dan siap mati
ini membuat mereka
tidak gentar bila
leher harus terpenggal, kuku terkupas atau ditusuk oleh
duri.
Suatu hari ketika
di Mekkah, Abu Bakar bin Abi Quhâfah
pernah diinjak dan dipukul
dengan keras. Di tengah kondisi
seperti itu, ‘Utbah bin Rabi’ah mendekatinya sembari memukulinya lagi
dengan kedua terompahnya yang tebal dan melayangkannya ke arah
wajahnya. Tidak cukup
disitu, dia kemudian melompat diatas badannya dan jatuh tepat
di atas perut
Abu Bakar hingga
wajahnya bonyok, tidak
bisa diketahui lagi
mana letak hidung dari wajahnya.
Setelah itu, dia diangkut dengan
menggunakan bajunya oleh
suku Bani Tamim
kemudian dicampakkan ke rumahnya. Mereka sama sekali tidak menyangsikan
bahwa dia pasti sudah tidak bernyawa. Saat hari beranjak
sore, dia tersadar
dan berbicara: “apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?”.
Mereka mencibirnya dengan
lisan mereka dan mengumpatinya, lalu
berdiri dan berkata kepada ibunya, Ummul Khair
: “Terserah, apa yang akan engkau lakukan;
memberinya makan atau minum”.
Ketika sang ibu hanya
tinggal berdua saja dengan anaknya, dia membujuknya agar
mau makan atau minum.
Tetapi, justeru sang
anak malah berkata: “apa yang
terjadi terhadap diri Rasulullah?”.
Ibunya menjawab: “demi Allah!
aku tidak tahu
sama sekali tentang
shahabatmu itu”.
Dia berkata: “kalau
begitu, pergilah menjumpai
Ummu Jamil binti al -Khaththab lalu tanyakanlah kepadanya”.
Sang ibu pergi keluar hingga sampai ke rumah
Ummu Jamil, lantas berkata: “sesungguhnya Abu
Bakar bertanya kepadamu tentang Muhammad bin ‘Abdullah”.
Dia menjawab: “aku tidak
kenal siapa Abu Bakar dan juga Muhammad bin ‘Abdullah. Jika engkau ingin aku
menyertaimu menemui anakmu,
akan aku lakukan”.
Dia menjawab:
“ya”.
Akhirnya keduanya berlalu
hingga akhirnya mendapati Abu Bakar dalam
keadaan terkapar tak berdaya. Ummu Jamil mendekatinya seraya berteriak mengumumkan kepada orang banyak: “demi Allah! sesungguhnya kaum yang melakukan tindakan ini terhadapmu adalah orang yang
fasiq dan kafir.
Sungguh, aku berharap
semoga Allah membalaskan untukmu terhadap mereka”.
Abu Bakar malah
berkata lagi: “apa yang
terjadi terhadap diri
Rasulullah?”. Ummu Jamil berkata: “Ini ibumu ikut mendengarkan”.
Dia berkata: “Tidak usah khawatir terhadapnya”
Dia menjawab: “beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam dalam kondisi sehat
dan bugar”. Dia berkata lagi:”dimana beliau sekarang?”
“ada di Dar Ibnu al -Arqam”, jawabnya.
Dia berkata lagi:”a ku bersumpah kepada Allah untuk tidak mencicipi makanan dan meminum minuman hingga aku mendatangi Rasulullah”.
Keduanya mengulur-ulur waktu
sejenak, hingga bilamana kondisi Abu Bakar
sudah tenang dan
orang-orang mulai sepi, keduanya berangkat keluar membawanya dengan dipapah. Lalu dipertemukanlah dirinya dengan Rasulullah”.
Bentuk kecintaan yang
demikian langka serta
pengorbanan hidup seperti
ini akan kami bahas pada beberapa bagian
dari buku ini,
terutama yang terjadi
pada waktu perang
Uhud dan yang terjadi terhadap
Khubaib dan semisalnya.
3. Rasa tanggung jawab
Para shahabat menyadari secara penuh akan besarnya
tanggung jawab yang dipikulkan ke pundak manusia. Tanggung jawab ini tidak
dapat dielakkan dan diselewengkan betapapun kondisinya sebab keteledoran dan lari dari rasa tanggung
jawab ini memiliki
implikasi yang sangat
besar dan berbahaya daripada penindasan yang
dirasakan oleh mereka.
Kerugian yang diderita oleh umat manusia
secara keseluruhan bila lari darinya,
tidak dapat diukur dengan
kesulitan-kesulitan yang mereka
hadapi akibat dari
beban yang ditanggung tersebut.
4. Iman kepada Akhirat
Ini merupakan salah satu
faktor yang menguatkan tumbuhnya rasa tanggung
jawab tersebut. Mereka
memiliki keyakinan yang kuat bahwa
mereka akan dibangkitkan kelak menghadap
Rabb semesta alam,
amal mereka dihisab
dengan sedetail-detailnya; besar dan
kecilnya. Jadi,
hanya ada dua
pilihan; ke surga
yang penuh dengan
kesenangan atau ke neraka Jahim yang penuh dengan azab yang abadi.
Mereka menjalani kehidupan mereka antara rasa takut
dan pengharapan; mengharapkan rahmat
Rabb mereka dan takut akan siksa-Nya.
Mereka adalah
sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala:
”Dan orang-orang
yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”. (Q,.s. al-Mukminûn:
60).
Mereka mengetahui bahwa
dunia dengan kesengsaraan dan kesenangan yang
ada di dalamnya tidak akan bisa menyamai
sepasang sayap nyamuk
(tidak ada apa-apanya-red) bila dibandingkan dengan kehidupan di Akhirat.
Pengetahuan mereka yang kuat tentang hal inilah yang
meringankan mereka di dalam menghadapi
kepayahan, kesulitan dan kepahitan yang ada di dunia sehingga mereka tidak menyibukkan diri untuk mengoleksinya
sebanyak mungkin bahkan terbetik di hati merekapun tidak.
LIHAT SAMBUNGAN SIRAH NABAWIYAH DI LINK DI BAWAH INI :
No comments:
Post a Comment