SIRAH NABAWIYAH ( 02 )
Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
KEKUASAAN
DAN IMARAH DI KALANGAN BANGSA ARAB
Selagi kita hendak
membicarakan masalah kekuasaan
di kalangan Bangsa Arab sebelum Islam, berarti kita
harus membuat miniatur
sejarah pemerintahan, imarah
(keemiratan), agama dan kepercayaan di kalangan Bangsa
Arab, agar lebih
mudah bagi kita
untuk memahami kondisi
yang tengah bergejolak saat kemunculan Islam.
Para penguasa jazirah tatkala terbitnya matahari
Islam, bisa dibagi menjadi dua kelompok:
Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada
hakikatnya mereka tidak
memiliki independensi dan berdiri sendiri
Para pemimpin dan
pemuka kabilah atau
suku, yang memiliki
kekuasaan dan hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja. Mayoritas di
antara mereka memiliki independensi. Bahkan boleh jadi sebagian diantara
mereka mempunyai subordinasi layaknya seorang raja yang mengenakan mahkota.
Raja-raja yang memiliki mahkota adalah raja-raja
Yaman, raja-raja kawasan Syam, Ghassan
dan Hirah. Sedangkan penguasa-penguasa lainnya di jazirah Arab tidak memiliki mahkota.
Raja -Raja di Yaman
Suku bangsa tertua
yang dikenal di Yaman adalah
kaum Saba'. Mereka
bisa diketahui lewat penemuan fosil Aur, yang
hidup dua puluh
abad Sebelum Masehi
(SM). Puncak peradaban
dan pengaruh kekuasaan mereka dimulai pada
tahun sebelas SM.
Klasifikasi periodisasi kekuasaan mereka
dapat diperkirakan sebagai
berikut :
Antara tahun 1300
SM hingga 620 SM ; pada periode
ini dinasti mereka
dikenal dengan dinasti al-Mu'iniah, sedangkan raja-raja mereka
dijuluki sebagai "Mukrib Saba'", dengan
ibukotanya Sharwah. Puing-puing peninggalan mereka dapat
ditemui sekitar jarak
50 km ke arah
barat laut dari
negeri Ma'rib, dan dari jarak
142 km arah
timur kota Shan'a'
yang dikenal dengan
sebutan Kharibah.
Pada periode merekalah dimulainya pembangunan
bendungan, yang dikenal dengan nama bendungan Ma'rib, yang memiliki peran
tersendiri dalam sejarah
Yaman. Ada yang mengatakan, wilayah kekuasaan kaum Saba' ini meliputi daerah-daerah jajahan didalam dan luar negeri Arab.
Antara tahun 620 SM hingga
115 SM ; Pada periode
ini dinasti mereka
dikenal dengan dinasti saba',
dan mereka menanggalkan julukan "Mukrib" alias
hanya dikenal dengan raja-raja Saba' dengan menjadikan Ma'rib sebagai
ibukota, sebagai ganti dari Sharwah. Puing-puing kota ini
dapat ditemui sejauh
192 km dari
arah timur Shan'a'.
Sejak tahun 115 SM hingga
tahun 300 M ; Pada
periode ini dinasti
mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah I, sebab kabilah
Himyar telah memisahkan diri dari kerajaan Saba', dan menjadikan kota Raidan sebagai ibukotanya,
menggantikan Ma'rib. Kota Raidan dikenal kemudian dengan
nama Zhaffar. Puing-puing peninggalannya dapat ditemukan di sebuah bukit
yang memutar dekat Yarim.
Pada periode ini mereka mulai
melemah dan jatuh,
serta mengalami kerugian besar
dalam perdagangan yang mereka lakukan. Diantara penyebabnya adalah
beberapa factor ; pertama, dikuasainya kawasan utara Hijaz.
Kedua, berhasilnya Bangsa
Romawi menguasai jalur perdagangan laut setelah sebelumnya mereka menancapkan kekuasaan mereka di Mesir, Syria
dan bagian utara
kawasan Hijaz. Ketiga,
adanya persaingan antar
masing- masing kabilah .
Faktor-faktor inilah yang menyebabkan berpencarnya keluarga besar suku Qahthan dan hijrahnya mereka
ke negeri-negei yang jauh.
Sejak tahun 300
M hingga masuknya Islam ke Yaman
; Pada periode ini dinasti
mereka dikenal dengan dinasti
al-Himyariyyah II dan kondisi
yang mereka alami
penuh dengan
kerusuhan-kerusuhan dan kekacauan, beruntunnya peristiwa kudeta, serta
timbulnya perang keluarga
yang mengakibatkan mereka menjadi santapan
kekuatan asing yang selalu
mengintai hingga
hal itu kemudian mengakhiri kemerdekaan yang
mereka pernah renggut. Begitu juga, pada
periode ini Bangsa
Romawi berhasil memasuki kota 'Adn serta
atas bantuan mereka,
untuk pertama kalinya orang-orang Habasyah berhasil menduduki negeri Yaman, yaitu tahun
340 M. Hal itu dapat
mereka lakukan berkat
persaingan yang terjadi antara dua kabilah; Hamadan
dan Himyar. Pendudukan mereka berlangsung hingga
tahun 378 M. Kemudian negeri Yaman memperoleh kemerdekaannya akan tetapi
kemudian bendungan Ma'rib jebol
hingga mengakibatkan banjir
besar seperti yang disebutkan oleh Al-Qur'an dengan istilah
Sailul 'Arim pada
tahun 450 atau
451 M. Itulah peristiwa besar yang berkesudahan dengan lenyapnya peradaban dan
bercerai berainya suku bangsa mereka.
Pada tahun 523 M, Dzu
Nawwas, seorang Yahudi
memimpin pasukannya menyerang orang-orang Nasrani dari penduduk Najran, dan
berusaha memaksa mereka meninggalkan
agama nasrani. Karena mereka menolak, maka dia
membuat parit-parit
besar yang di dalamnya api yang menyala, lalu mereka dilemparkan ke dalam api tersebut
hidup-hidup, sebagaimana yang
diisyaratkan oleh AlQur'an
dalam surat al-Buruj. Kejadian ini
membakar dendam di hati orang-orang Nasrani dan mendorong mereka untuk memperluas
daerah kekuasaan dan penaklukan terhadap negeri Arab dibawah
kemando imperium Romawi.
Mereka bekerja sama dengan orang-orang Habasyah yang sebelumnya telah mereka provokasi dan menyiapkan armada
laut buat mereka
sehingga bergabunglah sebanyak
70.000 personil tentara
dari mereka. Mereka
untuk kedua kalinya
berhasil menduduki negeri Yaman
dibawah komando Aryath
pada tahun 525
M. Dia menjadi penguasa di sana
atas penunjukan dari
raja Habasyah hingga
kemudian dia dibunuh
oleh Abrahah bin ash-Shabbah al-Asyram, anak buahnya sendiri
pada tahun 549
M, dan selanjutnya dia berhasil
menggantikan Aryath setelah
meminta restu raja
Habasyah.
Abrahah inilah yang
mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Ka'bah. Dalam sejarah dia dan pasukannya dikenal
dengan pasukan penunggang gajah (ashhabul fil). Sepulangnya dari sana menuju Shan'a',
dia mati dan digantikan oleh kedua anaknya
yang kedua-duanya ketika
menjadi penguasa lebih
otoriter dan sadis
dari orangtuanya.
Setelah peristiwa "gajah" tersebut, penduduk Yaman meminta bantuan
kepada orang- orang Persi untuk
menghadang serangan pasukan
Habasyah dan kerjasama ini berhasil
sehingga mereka akhirnya dapat mengusir orang-orang Habasyah dari negeri Yaman.
Mereka memperoleh kemerdekaan pada tahun 575 M, berkat
jasa seorang panglima
yang bernama Ma'di
Yakrib bin Saif
Dzi Yazin al-Himyari yang
kemudian mereka angkat menjadi raja mereka. Meskipun begitu, Ma'di Yakrib
masih mempertahankan sejumlah orang-orang
Habasyah sebagai pengawal yang selalu menyertainya dalam perjalanannya. Hal itu justru menjadi bumerang baginya,
maka pada suatu hari mereka berhasil membunuhnya. Dengan kematiannya berakhirlah dinasti raja dari keluarga
besar Dzi Yazin. Setelah itu
Kisra mengangkat penguasa
dari Bangsa Persia
sendiri di Shan'a', dan menjadikan Yaman sebagai salah satu wilayah
konfederasi kekisraan Persia. Kemudian hal
itu terus berlanjut hingga era
kekisraan terakhir yang dipimpin oleh Badzan, yang memeluk Islam
pada tahun 638 M. Dengan
keislamannya ini berakhirlah kekuasaan kekisraan
Persia atas negeri Yaman *.
* Lihat rinciannya pada buku "al-Yaman 'abrat
Tarikh" , hal. 77, 83, 124, 130, 157, 161, dst ; "Tarikh ardhil Quran", Juz
I, dari hal. 133
hingga akhir buku
ini; "Tarikhul 'Arab Qablal Islam", hal.
101 -151 ; dalam menentukan tahun-tahun peristiwa tersebut
terjadi perbedaaan yang amat
signifikan antara referensi-referensi sejarah.
Bahkan sebagian penulis mengomentari tentang rincian
tersebut, dengan mengutip firman Allah : "Al Quran ini tidak lain
hanyalah dongengan orang-orang dahulu".
Raja
-raja di Hirah
Untuk beberapa periode,
negeri Iraq masih
menjadi konfederasi kekisraan Persia hingga munculnya Cyrus Yang Agung (557-529 SM.) yang dapat
mempersatukan kembali Bangsa Persia.
Maka selama kekuasaannya, tak seorangpun yang dapat menandingi dan mengalahkannya, hingga muncul Alexander dari
Macedonia pada tahun 326 SM, yang mampu mengalahkan "Dara I", raja
mereka dan menceraiberaikan persatuan mereka.
Akibatnya negeri mereka
terkotak-kotak dan muncullah di masing-masing wilayah
raja- raja baru, yang dikenal dengan raja-raja ath-Thawa'if . Mereka
berkuasa atas wilayah- wilayah masing-masing hingga
tahun 230 M. Pada era kekuasaan raja-raja ath-Thawa'if inilah orang-orang Qahthan
berpindah dan kemudian menempati daerah pedalaman Iraq. Mereka kemudian berpapasan dengan orang-orang dari
keturunan 'Adnan yang juga berhijrah dan membanjiri pemukiman baru tersebut dan
memilih bermukim di wilayah
teluk dari sungai Eufrat .
Bangsa Persia kembali
menjadi suatu kekuatan
untuk kedua kalinya pada era Ardasyir, pendiri dinasti Sasaniyah sejak tahun 226 M. Dialah
yang berhasil mempersatukan Bangsa Persia dan memaksa Bangsa Arab yang bermukim
disana untuk mengakui kekuasaannya. Dan ini merupakan sebab mengungsinya orang-orang Qudha'ah ke Syam dan
tunduknya penduduk Hirah
dan Anbar kepadanya.
Pada era Ardasyir
ini pula, Judzaimah al-Wadhdhah berkuasa atas Hirah dan seluruh
penduduk pedalaman Iraq dan Jazirah
Arab yang terdiri
dari keturunan Rabi'ah
dan Mudhar. Ardasyir
merasa mustahil dapat
menguasai Bangsa Arab
secara langsung dan mencegah mereka untuk menyerang kekuasaannya kecuali dengan cara menjadikan salah seorang dari mereka
(Bangsa Arab) yang
memiliki kefanatikan dan loyalitas terhadapnya dalam membelanya sebagai kaki tangannya. Disamping itu, dia juga
sewaktu-waktu bisa meminta bantuan
mereka untuk mengalahkan raja-raja Romawi yang amat dia
takuti.
Dengan demikian dia dapat menandingi tentara bentukan yang terdiri dari Bangsa Arab juga, seperti apa yang
dibentuk oleh raja-raja Romawi sehingga berbenturanlah antara Bangsa Arab Syam dan Iraq.
Dia juga masih
mempersiapkan satu batalyon
dari pasukan Persia untuk disuplai dalam menghadapi para
penguasa Arab pedalaman yang membangkang terhadap kekuasaanya. Juzaimah meninggal sekitar tahun 268 M.
Sepeninggal Juzaimah, 'Amru
bin 'Ady bin Nashr al-Lakhmi naik tahta dan menjadi
penguasa atas Hirah dan Anbar
pada tahun 268-288
M. Dia adalah
raja dari dinasti Lakhmi Pertama pada
era Kisra Sabur
bin Ardasyir dan kekuasaan dinasti
Lakhmi terus berlanjut atas kedua wilayah
tersebut hingga naiknya
Qubbaz bin Fairuz
menjadi Kisra Persia pada tahun 448-531 M. Pada era
kekuasaannya muncullah Mazdak, yang mempromosikan gaya hidup
permisivisme. Tindakannya ini
diikuti juga oleh
Qubbaz dan kebanyakan rakyatnya. Qubadz kemudian mengirim
utusan kepada raja
Hirah, yaitu al- Mundzir
bin Ma'us Sama' (512-554 M), dan mengajaknya untuk memilih faham ini dan menjadikannya sebagai jalan hidup
. Namun al-Mundzir menolak ajakan itu
dengan penuh kesatria,
sehingga Qubbadz mencopotnya dan menggantikannya dengan al-Harits bin 'Amru bin Hajar al-Kindi yang merespons ajakan kepada Mazdakisme
tersebut.
Qubbadz kemudian diganti oleh Kisra Anusyirwan
(531-578 M) yang sangat membenci faham tersebut. Karenanya, dia kemudian membunuh Mazdak dan banyak para pengikutnya serta mengangkat kembali
al-Munzir sebagai penguasa atas Hirah. Sementara itu dia terus memburu al-Harits bin 'Amr akan tetapi
dia memilih bersembunyi ke pemukiman kabilah Kalb hingga meninggal di sana.
Kekuasaan Anusyirwan terus
berlanjut sepeninggal al-Munzir bin Ma'us Sama',
hingga naiknya an-Nu'man bin al-Munzir. Dialah
orang yang memancing kemarahan Kisra, yang bermula dari adanya suatu
fitnah hasil rekayasa
Zaid bin 'Adiy
al -Ibady. Kisra
akhirnya mengirim utusan
kepada an-Nu'man untuk
memburunya, maka secara
sembunyi- sembunyi,
an-Nu'man menemui Hani' bin Mas'ud, pemimpin suku Ali Syaiban seraya menitipkan keluarga dan harta bendanya.
Setelah itu, dia menghadap Kisra yang langsung menjebloskannya ke dalam penjara
hingga meninggal dunia. Sebagai penggantinya, Kisra mengangkat Iyas bin
Qabishah Ath-Thaiy dan memerintahkannva untuk mengirimkan utusan kepada
Hani' bin Mas'ud
agar dia memintanya untuk menyerahkan titipan
yang ada padanya namun
Hani'menolaknya dengan penuh keberanian bahkan dia memaklumatkan perang melawan
raja. Tak berapa
lama tibalah para
komandan batalyon berikut prajuritnya yang diutus oleh Kisra
dalam rombongan yang membawa Iyas tersebut sehingga kemudian terjadilah antara kedua pasukan itu, suatu
pertempuran yang amat dahsyat
di dekat tempat yang bernama "Zi Qaar"
dan pertempuran tersebut akhirnya
dimenangkan oleh Banu Syaiban, yang masih satu suku dengan Hani' sementara hal ini bagi Persia merupakan kekalahan yang
sangat memalukan. Kemenangan ini
merupakan yang pertama
kalinya bagi bangsa
Arab terhadap kekuatan asing. Ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi tak berapa lama
menjelang kelahiran Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam
sebab beliau lahir
delapan bulan setelah
bertahtanya Iyas bin Qa bishah
atas Hirah.
Sepeninggal Iyas, Kisra mengangkat seorang
penguasa di Hirah dari bangsa
Persia yang bernama
Azazbah yang memerintah selama tujuh belas
tahun (614-631 M).
Pada tahun 632 M tampuk kekuasaan disana kembali dipegang
oleh keluarga Lakhm.
Diantaranya adalah al-Munzir bin an-Nu'man yang
dijuluki dengan "al-Ma'rur". Umur
kekuasaannya tidak lebih dari
delapan bulan sebab
kemudian berhasil dikuasai oleh pasukan Muslimin dibawah komando Panglima Khalid bin al-Walid.
Raja -raja di Syam
Manakala Bangsa Arab
banyak diwarnai perpindahan berbagai kabilah, maka
suku-suku Qudha'ah justru beranjak menuju kawasan Syam
dan menetap disana.
Mereka terdiri dari Bani Salih bin Halwan
yang diantara anak
keturunannya adalah Banu
Dhaj'am bin Salih dan lebih dikenal
kemudian dengan adh-Dhaja'imah. Mereka berhasil dijadikan oleh Bangsa Romawi
sebagai kaki tangan
dalam menghadang perbuatan iseng Bangsa Arab daratan dan sebagai kekuatan penopang
dalam menghadapi pasukan Persia. Banyak diantara mereka yang
diangkat sebagai raja
dan hal itu
berlangsung selama bertahun- tahun. Raja dari kalangan mereka yang paling
terkenal adalah Ziyad
bin al -Habulah.
Periode kekuasaan mereka
diperkirakan berlangsung dari permulaan abad
2 M hingga berakhirnya
yaitu setelah kedatangan keluarga besar suku Ghassan yang dapat mengalahkan adh-Dhaja'imah dan merebut semua
kekuasaan mereka. Atas kemenangan suku Ghassan ini,
mereka kemudian diangkat oleh Bangsa Romawi
sebagai raja atas Bangsa Arab di Syam
dengan pusat pemerintahan mereka di kota
Hauran. Dalam hal ini,
kekuasaan mereka sebagai kaki
tangan Bangsa Romawi disana terus berlangsung hingga pecahnya perang "Yarmuk" pada tahun 13 H. Tercatat, bahwa raja terakhir mereka Jabalah bin al-Ayham telah
memeluk Islam pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu.
Emirat di Hijaz
Isma'il 'alaihissalam menjadi
pemimpin Mekkah dan menangani urusan
Ka'bah sepanjang hidupnya. Beliau
meninggal pada usia 137 tahun.
Sepeninggal beliau, kedua
putra beliau yaitu; Nabit
kemudian Qaidar secara
bergilir menggantikan posisinya. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Qaidar
lah yang lebih
dahulu kemudian baru
Nabit. Sepeninggal keduanya,
urusan Makkah kemudian
ditangani oleh kakek
mereka Mudhadh bin 'Amru al- Jurhumi **.
** Ini bukan Mudhadh
al-Jurhumi tertua yang dulu pernah
disinggung dalam kisah
Nabi Isma'il 'alaihissalam.
Dengan demikian beralihlah kepemimpinan ke tangan
suku Jurhum dan terus berlanjut dalam waktu yang lama.
Kedua putra Nabi
Ismail menempati kedudukan yang te rhormat di hati mereka lantaran jasa ayahanda keduanya dalam membangun Baitullah, padahal mereka tidak memiliki fungsi
apapun dalam pemerintahan.
Hari-hari dan zaman
pun berlalu sedangkan perihal anak cucu Nabi Isma'il
masih redup tak tersentuh
hingga gaung suku Jurhum pun akhirnya semakin melemah menjelang munculnya
Bukhtunshar. Dipihak lain,
peran politik suku 'Adnan mulai
bersinar di Mekkah pada masa itu yang indikasinya adalah tampilnya 'Adnan
sendiri sebagai pemimpin
Bangsa Arab tatkala
berlangsung serangan Bukhtunshar terhadap mereka di Zat 'irq, sementara tak seorangpun
dari suku Jurhum yang berperan dalam peristiwa tersebut.
Bani 'Adnan berpencar ke Yaman ketika
terjadinya serangan kedua
oleh Bukhtunshar pada tahun 587
M. Sedangkan Barkhiya, seorang karib Yarmayah, Nabi dari Bani
Israil mengajak Ma'ad untuk
pergi menuju Hiran,
sebuah wilayah di Syam. Akan
tetapi setelah tekanan
Bukhtunshar mulai mengendor, Ma'ad kembali lagi ke Mekkah dan setibanya disana, dia tidak menemui
lagi penduduk dari suku Jurhum
kecuali Jarsyam bin Jalhamah,
lalu dia mengawini anaknya, Mu'anah dan melahirkan seorang anak laki-laki
bernama Nizar.
Di Mekkah, keadaan
suku Jurhum semakin
memburuk setelah itu,
dan mereka mengalami kesulitan hidup. Hal ini menyebabkan mereka
menganiaya para pendatang dan menghalalkan
harta yang dimiliki oleh administrasi Ka'bah. Tindakan ini menimbulkan kemarahan orang-orang dari Bani 'Adnan
sehingga membuat mereka mempertimbangkan kembali sikap terhadap
mereka sebelumnya. Ketika
Khuza'ah melin tasi
Marr azh- Zhahran dan melihat
keberadaan rombongan orang-orang 'Adnan yang terdiri
dari suku Jurhum, dia tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, maka atas bantuan
keturunan Bani 'Adnan yang
lain yaitu Bani Bakr bin 'Abdu Manaf bin Kinanah
mereka lantas memerangi orang-orang Jurhum,
akibatnya mereka diusir
dari Mekkah. Dengan
begitu, dia berhasil mengusai pemerintahan Mekkah pada pertengahan abad II M.
Tatkala orang-orang Jurhum
akan mengungsi keluar
Mekkah, mereka menyumbat sumur Zamzam
dan menghilangkan letaknya serta mengubur didalamnya beberapa benda. Ibnu Ishaq berkata : " 'Amru bin al-Harits bin Mudhadh al-Jurhumi keluar dengan membawa pintalan Ka'bah dan Hajar
Aswad lalu mengubur
keduanya di sumur
Zamzam, kemudian dia dan orang-orang Jurhum
yang ikut bersamanya berangkat menuju Yaman.
Namun betapa mereka
sangat tertekan dan sedih sekali karena harus meninggalkan kota Mekkah dan kekuasaan yang
pernah mereka raih
disana. Untuk mengenang hal itu, 'Amru merangkai sebuah sya'ir :
"Seakan tiada pelipur
lara lagi, juga
para pegadang antara
Hujun dan Shafa
di kota Mekkah Sungguh, kamilah dulu penghuninya Namun oleh perubahan malam dan dataran berdebu, kami dibinasakan"
Periode Ismail 'alaihissalam diprediksi berlangsung
sekitar dua puluh abad sebelum Masehi. Dengan demikian
masa keberadaan Jurhum
di Mekkah berkisar sekitar dua puluh satu abad sedangkan masa
kekuasaan mereka adalah
selama dua puluh
abad. Khuza'ah menangani
sendiri urusan administrasi Mekkah tanpa menyertakan peran Bani Bakr, kecuali terhadap kabilah-kabilah Mudhar yang diberikan kepada
mereka tiga spesifikasi :
Memberangkatkan orang-orang (yang berhaji) dari
'Arafah ke Muzdalifah, dan membolehkan mereka
berangkat dari Mina pada hari
Nafar (kepulangan dari melakukan
haji tersebut) ; urusan ini ditangani oleh Bani al-Ghauts bin Murrah, dari keturunan Ilyas bin Mudhar. Mereka
ini dijuluki dengan
sebutan "Shûfah"; makna
dari pembolehan tersebut adalah : bahwa orang-orang yang berhaji
tersebut tidak melempar pada hari Nafar hingga salah
seorang dari kaum
"Shûfah" tersebut melakukannya terlebih dulu, kemudian bila semua telah selesai
melaksanakan prosesi ritual tersebut dan mereka ingin melakukan nafar/ pulang
dari Mina, kaum "Shûfah" mengambil posisi disamping kedua sisi (jumrah) 'Aqabah, dan ketika itu,
tidak boleh seorang
pun lewat kecuali
setelah mereka, kemudian
bila mereka telah
lewat barulah orang-orang diizinkan lewat. Tatkala kaum "Shûfah" sudah berkurang keturunannya/ musnah, tradisi
ini dilanjutkan oleh
Bani Sa'd bin Zaid Munah dari suku Tamim.
Melakukan ifâdhah (bertolak) dari Juma', pada pagi hari
Nahr (hari penyembelihan hewan qurban) menuju
Mina ; urusan ini diserahkan kepada Bani 'Udwan.
Merekayasa bulan-bulan Haram (agar tidak terkena
larangan berperang didalamnya-penj); urusan ini ditangani oleh Bani Tamim dari keturunan Bani Kinanah.
Periode kekuasaan Khuza'ah berlangsung selama tiga
ratus tahun. Pada periode ini kaum 'Adnan menyebar di kawasan Najd,
pinggiran 'Iraq dan Bahrain.
Sedangkan keturunan Quraisy ; mereka hidup
sebagai Hallul (suku
yang suka turun
gunung) dan Shirm
(yang turun gunung guna
mencari air bersama
unta mereka) dan
menyebar ke pinggiran kota Mekkah dan menempati rumah-rumah yang berpencar-pencar di tengah kaum
mereka, Bani Kinanah. Namun begitu, mereka
tidak memiliki wewenang apa pun baik
dalam pengurusan kota Mekkah
ataupun Ka'bah hingga
kemunculan Qushai bin
Kilab.
Mengenai jatidiri Qushai
ini, diceritakan bahwa
bapaknya meninggal dunia
saat dia masih dalam momongan ibunya, kemudian ibunya menikah lagi
dengan seorang laki-laki dari Bani 'Uzrah yaitu
Rabi'ah bin Haram,
lalu ibunya dibawa
ke negeri asalnya
di pinggiran Kota Syam.
Ketika Qushai beranjak
dewasa, dia kembali
ke kota Mekkah
yang kala itu diperintah oleh Hulail bin Habasyah dari Khuza'ah
lalu dia meminang putri Hulail, Hubba maka gayung
pun bersambut dan keduanya kemudian
dinikahkan. Ketika Hulail meninggal dunia, terjadi perang
antara Khuza'ah dan Quraisy yang berakhir dengan kemenangan Qushai
dan penguasaannya terhadap urusan kota Mekkah
dan Ka'bah.
Ada tiga versi
riwayat, berkaitan dengan
sebab terjadinya perang
tersebut :
Bahwa ketika Qushai
telah beranak pianak,
harta melimpah, pangkatnya semakin tinggi dan
bersamaan dengan itu Hulail telah tiada, dia menganggap dirinya lah yang paling
berhak atas urusan Ka'bah dan
kota Mekkah daripada
Khuza'ah dan Bani
Bakr sebab suku Quraisy adalah
pemuka dan pewaris
tunggal keluarga Nabi
Ismail lantas dia membicarakan hal ini
dengan beberapa pemuka
Quraisy dan Bani
Kinanah dalam upaya mengusir Khuza'ah dan Bani Bakr
dari kota Mekkah.
Idenya tersebut disambut
baik oleh mereka.
Bahwa Hulail, sebagaimana pengakuan Khuza'ah,
berwasiat kepada Qushai agar mengurusi
Ka'bah dan Mekkah.
Bahwa Hulail menyerahkan urusan Ka'bah kepada
putrinya, Hubba dan mengangka t Abu
Ghibsyan al-Khuza'i sebagai wakilnya
lantas kemudian dia yang mengurusi Ka'bah tersebut mewakili Hubba.
Tatkala Hulail meninggal, Qushai berhasil menipunya dan membeli kewenangannya atas Ka'bah tersebut
dengan segeriba arak,
atau sejumlah onta yang berkisar antara
tiga ekor hingga
tiga puluh ekor.
Khuza'ah tidak puas
dengan transaksi jual
beli tersebut dan berupaya menghalang-halangi Qushai atas penguasaannya terhadap urusan Ka'bah tersebut. Menyikapi
hal itu, Qushai mengumpulkan sejumlah orang
dari Quraisy dan Bani Kinanah
untuk tujuan mengusir
mereka dari kota Mekkah,
maka mereka menyambut hal itu.
Apa pun alasannya, setelah Hulail meninggal dunia dan kaum
Shûfah menjalani aktivitas mereka tersebut, maka Qushai
tampil bersama orang-orang Quraisy dan Kinanah
di dekat 'Aqabah sembari
berseru: " Kami lebih berhak
daripada kalian ! ".
Karena pelecehan ini, mereka lantas memeranginya namun Qushai berhasil
mengalahkan mereka dan merampas semua kekuasaan mereka.
Khuza'ah dan Bani
Bakr mengambil sikap
tidak menyerang setelah itu, maka Qushailah akhirnya yang
malah lebih dahulu mengambil inisiatif penyerangan dan sepakat
untuk memerangi mereka.
Maka bertemulah kedua
kekuatan tersebut dan terjadilah peperangan yang amat
dahsyat tetapi kedua
musuhnya tersebut justru
menjadi mangsa yang empuk baginya. Akibat tekanan ini, mereka mengajaknya untuk berdamai dan
bertahkim kepada Ya'mur
bin 'Auf, salah
seorang dari Bani
Bakr.
Ya'mur memutuskan bahwa
Qushai lah yang
berhak atas Ka'bah
dan urusan kota Mekkah
daripada Khuza'ah. Begitu juga diputuskan, setiap tetes darah yang ditumpahkan
oleh Qushai maka akan menjadi tanggung jawabnya sendiri sedangkan setiap nyawa
yang melayang oleh tangan Khuza'ah
dan Bani Bakr harus dibayar
dengan tebusan, serta (diputuskan juga) bahwa
Qushai harus dibebastugaskan dari pengelolaan atas Ka'bah.
Maka dari sejak
itu, Ya'mur dijuluki sebagai asy-Syaddakh (Sang
Pemecah masalah). Kekuasaan Qushai atas penanganan Mekkah dan
Ka'bah berlangsung pada pertengahan
abad V Masehi yaitu
tahun 440 M. Dengan demikian, jadilah
Qushai sekaligus suku Quraisy memiliki kekuasaan penuh dan otoritas atas
Mekkah serta pelaksana ritual keagamaan bagi Ka'bah yang selalu dikunjungi oleh
orang-orang Arab dari seluruh Jazirah.
Di antara langkah
yang diambil oleh
Qushai adalah memindahkan kaumnya
dari rumah- rumah mereka ke
Mekkah dan memberikan mereka lahan yang dibagi menjadi empat bidang, lantas
menempatkan setiap suku
dari Quraisy ke lahan yang
telah ditentukan bagi mereka serta menetapkan jabatan sebelumnya kepada
mereka yang pernah
memegangnya yaitu suku Nasa-ah, Ali Shafwan, 'Udwan
dan Murrah bin 'Auf sebab dia melihat
sudah selayaknya dia tidak merubahnya.
Qushai banyak meninggalkan peninggalan-penginggalan
sejarah; diantaranya adalah didirikannya
Darun Nadwah disamping utara Masjid Ka'bah (Masjidil Haram), dan menjadikan
pintunya mengarah ke masjid. Darun Nadwah merupakan tempat berkumpulnya orang-orang Quraisy yang
didalamnya dibahas hal-hal yang sangat strategis bagi mereka. Oleh karena itu, ia mendapatkan tempat
tersendiri dihati mereka karena dapat mencetak kata sepakat diantara
mereka dan menyelesaikan sengketa secara baik.
Diantara wewenang Qushai
dalam mengelola pemerintahannya adalah sebagai berikut :
Mengepalai Darun Nadwah ; Dalam Darun Nadwah ini mereka berembuk
tentang masalah-masalah yang sangat strategis
disamping sebagai tempat mengawinkan anak-anak
perempuan mereka.
Pemegang
panji ; Panji perang
tidak akan bisa
dipegang oleh orang
lain selainnya termasuk
anak-anaknya dan harus
berada di Darun Nadwah.
Qiyadah
(wewenang memberikan izin perjalanan) ; Kafilah dagang atau
lainnya tidak akan bisa keluar dari
Mekkah kecuali dengan
seizinnya atau anak-anaknya.
Hijabah
yaitu wewenang atas Ka'bah ; pintu Ka'bah tidak boleh
dibuka kecuali olehnya begitu juga dalam
seluruh hal yang terkait dengan
pelayanannya.
Siqayah
(wewenang menangani masalah
air bagi jemaah
haji) ; mereka mengisi
penuh galon-galon air yang
disisipkan didekatnya buah
kurma dan zabib
(sejenis anggur kering). Dengan bagitu jemaah
haji yang datang
ke Mekkah bisa
meminumnya.
Rifadah (wewenang menyediakan makanan); mereka menyediakan makanan khusus buat tamu-tamu
mereka (jemaah haji).
Qushai mewajibkan semacam
kharaj/ pajak kepada kaum Quraisy yang
dikeluarkan pada setiap
musim haji dan hal tersebut kemudian dipergunakan
untuk membeli persediaan makanan buat jemaah haji, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki bekal yang cukup.
Semua hal tersebut adalah menjadi wewenang Qushai,
sedangkan anaknya 'Abdu Manaf juga otomatis telah memiliki kharisma
dan kepemimpinan di masa hidupnya, dan hal itu diikuti juga oleh adiknya
'Abdud Dar maka berkatalah Qushai
kepadanya : "
aku akan menghadapkanmu dengan kaum kita meskipun
sebenarnya mereka telah menghormatimu".
Kemudian Qushai berwasiat kepadanya agar
dia memperhatikan wewenangnya
dalam mengemban mashlahat kaum Quraisy, lalu dia berikan kepadanya
wewenang atas Darun Nadwah, hijabah, panji, siqayah
dan rifadah. Qushai termasuk orang yang
tidak pernah mengingkari dan mencabut kembali
apa yang telah
terlanjur diucapkan dan diberikannya dan begitulah semua
urusannya semasa hidup
dan setelah matinya yang
diyakininya dan selalu
konsisten terhadapnya. Tatkala
Qushai meninggal dunia, anak-anaknya dengan setia menjalankan wasiatnya dan tidak
tampak perseteruan diantara mereka,
akan tetapi ketika
'Abdu Manaf meninggal dunia, anak-anaknya bersaing keras dengan anak-anak paman
mereka, 'Abdud Dar (saudara-saudara sepupu
mereka) dalam memperebutkan wewenang
tersebut. Akhirnya, suku Quraisy terpecah menjadi dua
kelompok bahkan hampir
saja terjadi perang
saudara diantara mereka,
untunglah hal itu mereka bawa ke meja perundingan. Hasilnya, wewenang atas
siqayah dan rifadah diserahkan kepada anak-anak 'Abdu Manaf sedangkan Darun Nadwah, panji
dan hijabah diserahkan kepada
ana-anak 'Abdud Dar. Anak-anak 'Abdu Manaf kemudian memilih jalan undian
untuk menentukan siapa
diantara mereka yang memiliki kewenangan atas siqayah
dan rifadah. Undian itu akhirnya jatuh ketangan Hasyim bin 'Abdu Manaf sehingga
dialah yang berhak
atas pengelolaan keduanya
selama hidupnya. Dan ketika dia meninggal dunia, wewenang tersebut
dipegang oleh adiknya, al-Muththolib bin 'Abdu Manaf yang diteruskan kemudian oleh 'Abdul
Muththolib bin Hasyim
bin 'Abdu Manaf, kakek Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam . Kewenangan tersebut
terus dilanjutkan oleh keturunannya hingga datangnya Islam
dimana ketika itu kewenangannya berada
ditangan al-'Abbas bin
'Abdul al-Muththolib. Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa Qushai sendirilah
yang membagi-bagikan wewenang
atas urusan-urusan tersebut diantara anak- anaknya untuk kemudian setelah dia meninggal tinggal dijalankan oleh
mereka.
Selain itu suku
Quraisy juga mempunyai kewenangan yang lain
yang mereka bagi-bagi diantara mereka, yaitu masing-masing boleh membentuk
negara-negara kecil, bahkan bila boleh diungkapkan dengan
ungkapan yang pas saat ini adalah semacam
semi negara demokrasi.
Instansi-instansi yang ada, begitu juga dengan bentuk pemerintahannya hampir menyerupai bentuk pemerintahan yang ada sekarang
yaitu sistim parlemen dan majelis-majelisnya.
Berikut penjelasannya :
Al-Isar : penanganan bejana-bejana tempat darah
ketika terjadi sumpah,
dan urusan ini diserahkan kepada suku Jumah.
Tahjirul amwal (pembekuan harta) : yaitu
diperuntukkan dalam tata cara penyerahan qurban/ sesajian dan nazar-nazar
kepada berhala-berhala mereka, begitu juga dalam memecahkan sengketa-sengketa dan perkerabatan, dan
urusan ini diserahkan kepada Bani Sahm.
Syura : yang diserahkan kepada Bani Asad.
Al-Asynaq : peraturan dalam menangani kasus
diyat (denda bagi tindak kriminal) dan gharamat (denda pelanggaran perdata), dan urusan ini
diserahkan kepada Bani Tayyim. Al-'iqab
: pemegang panji kaum dan ini diserahkan kepada Bani Umayyah.
Al-Qabbah : peraturan kemiliteran dan menunggang kuda. Hal ini
diserahkan kepada Bani Makhzum.
As-Sifarah (kedutaan) : Hal ini diserahkan kepada Bani 'Ady ***.
*** Lihat; "Tarikh ardhil
Quran", II/ 104, 105, 106 . Riwayat yang
masyhur adalah bahwa yang membawa panji adalah
Bani 'Abdid Dar, sedang
kepemimpinan berada ditangan Bani Umayyah.
Kekuasaan
di Seluruh Negeri Arab
Di bagian muka telah kami singgung tentang
kepindahan kabilah-kabilah Qahthan dan 'Adnan, begitu juga dengan kondisi
negeri-negeri Arab yang terpecah-pecah diantara mereka sendiri; Kabilah-kabilah yang
berdekatan dengan Hirah
tunduk kepada raja
Arab di Hirah, dan
suku yang tinggal
di pedalaman Syam
tunduk terhadap raja Ghassan. Hanya saja ketundukan mereka ini sekedar nama
(bersifat simbolis) bukan
secara riil di lapangan. Sedangkan mereka yang berada di daerah-daerah
pedalaman dalam jazirah Arab mendapatkan kebebasan mutlak.
Sebenarnya, setiap kabilah-kabilah tersebut memiliki
para pemuka yang mereka angkat sebagai pemimpin
kabilah, begitu juga
kabilah ibarat pemerintah mini yang landasan berpijaknya adalah
kesatuan ras dan
kepentingan yang saling
menguntungkan dalam menjaga secara bersama
tanah air dan
membendung serangan lawan.
Posisi para pemuka
kabilah tersebut di tengah pengikutnya tak ubahnya seperti
posisi para raja.
Jadi, setiap kabilah
selalu tunduk kepada
pendapat pemimpinnya baik
dalam kondisi damai ataupun
perang dan tidak
ada yang berani
membantahnya. Kekuasaannya dalam memimpin dan memberikan pendapat
bak seorang diktator yang kuat sehingga
bila ada sebagian yang
marah maka beribu-ribu pedang berkilatan lah
yang bermain dan
ketika itu tak seorang
pun yang bertanya
kenapa hal itu terjadi. Anehnya, karena persaingan dalam memperebutkan kepemimpinan terjadi
diantara sesama keturunan satu paman sendiri kadang membuat mereka sedikit
bermuka dua alias
over acting dihadapan orang banyak. Hal
itu tampak dalam prilaku-prilaku dalam berderma, menjamu tamu, menyumbang, berlemah lembut, menonjolkan keberanian dan
menolong orang lain yang mereka lakukan semata-mata agar mendapatkan pujian
dari orang, khususnya lagi para penyair yang merangkap penyambung lidah
kabilah pada masa
itu. Disamping itu,
mereka lakukan juga, agar derajat
mereka lebih tinggi dari para pesaingnya.
Para pemuka dan pemimpin kabilah memiliki hak
istimewa sehingga mereka bisa mengambil bagian dari
harta rampasan tersebut ; baik mendapat bagian mirba', shaffi, nasyithah atau fudhul . Dalam menyifati tindakan ini, seorang
penyair bersenandung :
Bagimu bagian mirba', shaffi,
nasyithah, dan fudhul Dalam kekuasaanmu terhadap
kami
Yang dimaksud dengan mirba' adalah seperempat harta
rampasan. Ash-Shaffi adalah bagian yang diambil
untuk dirinya sendiri.
An-Nasyithah adalah sesuatu
yang didapat oleh pasukan di jalan sebelum
sampai tujuan. Sedangkan al-Fudhul adalah bagian
sisa dari harta rampasan yang tidak dapat
dibagikan kepada individu-individu para pejuang seperti keledai, kuda dan
lain-lain.
Kondisi
Politik
Setelah.kami jelaskan tentang
para penguasa di negeri Arab,
maka akan kami
jelaskan sedikit gambaran tentang
kondisi politik yang
mereka alami. Tiga
wilayah yang letaknya berdampingan dengan
negeri asing, kondisinya sangat lemah dan tidak pernah
berubah positif. Mereka
dikelompokkan kepada golongan tuan-tuan atau para budak, para penguasa atau rakyat. Para tuan-tuan, terutama bila
mereka orang asing, memiliki seluruh kambing sedangkan para budak, sebaliknya yaitu mereka semua
wajib membayar upeti.
Dengan ungkapan lain yang lebih
jelas, bahwa rakyat
ibarat posisi sebuah
sawah yang selalu mendatangkan hasil buat
dipersembahkan kepada pemerintah yang memanfaatkannya sebagai sarana untuk bersenang-senang, melampiaskan hawa
nafsu, keinginan-keinginan, kelaliman dan upaya memusuhi orang. Sementara
rakyat itu sendiri tenggelam dalam
kebutaan, hidup tidak menentu, dan saat kelaliman menimpa mereka, tak seorangpun diantara
mereka yang mampu
mengadu, bahkan mereka
diam tak bergerak
dalam menghadapi kelaliman dan beraneka macam
siksaan . Hukum
kala itu benar-benar bertangan besi, sedangkan hak-hak
asasi hilang ternoda. Adapun kabilah-
kabilah yang berdampingan dengan kawasan
ini, mengambil posisi
ragu dan oleng
oleh hawa nafsu dan tujuan pribadi masing-masing ; terkadang mereka
terdaftar sebagai penduduk Iraq tapi terkadang juga terdaftar sebagai
penduduk Syam. Kondisi kabilah- kabilah dalam Jazirah Arab tersebut benar-benar berantakan dan tercerai berai, masing-
masing lebih memilih untuk berselisih dalam masalah suku,
ras dan agama.
Seorang dari mereka berdesah :
Aku tak lain dari seorang pelacak jalan, jika ia tersesat
Maka tersesatlah aku, dan jika sampai ketujuan maka sampai pulalah aku
Mereka tidak lagi memiliki seorang raja yang dapat menyokong kemerdekaan
mereka, atau seorang penengah tempat dimana mereka
merujuk dan mengadu
dikala ditimpa kesusahan.
Sedangkan pemerintahan Hijaz
sebaliknya, mata seluruh
orang-orang Arab tertuju kepadanya dan mendapatkan penghargaan dan
penghormatan dari mereka. Mereka menganggapnya
sebagai pemimpin dan pelaksana keagamaan. Realitasnya, memang
pemerintahan tersebut merupakan akumulasi antara kepemimpinan keduniawiaan, pemerintahan dalam arti yang
sebenarnya dan kepemimpinan keagamaan. Ketika mengadili persengketaan yang terjadi antar
orang-orang Arab, pemerintahan tersebut bertindak mewakili kepemimpinan
keagamaan dan ketika mengelola urusan masjid Haram dan hal-hal yang
berkaitan dengannya, maka
ia lakukan sebagai
pemerintah yang mengurusi kemashlahatan orang-orang yang
berkunjung ke Baitullah/ Ka'bah, begitu juga ia masih menjalankan syari'at Nabi Ibrahim.
Pemerintahannya juga, sebagaimana kami singgung sebelumnya, memiliki instansi-instansi dan
bentuk-bentuk yang menyerupai sistim parlemen, namun
pemerintahan ini sangat
lemah sehingga tak mampu memikul tanggungjawabnya sebagaimana saat mereka menyerang
orang-orang Habasyah dulu.
LIHAT SAMBUNGAN SIRAH NABAWIYAH DI LINK DI BAWAH INI :
No comments:
Post a Comment