SIRAH NABAWIYAH ( 05 )
Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
NASAB DAN KELUARGA BESA R NABI
Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam terbagi ke
dalam tiga klasifikasi:
Pertama, yang disepakati oleh ahlus
Siyar wal Ansaab
(Para Sejarawan dan Ahli Nasab);
yaitu urutan nasab beliau
hingga kepada Adnan.
Kedua, yang masih
diperselisihkan antara yang mengambil sikap diam dan tidak
berkomentar dengan yang mengatakan sesuatu tentangnya, yaitu urutan nasab
beliau dari atas
Adnan hingga Ibrahim
'alaihissalam.
Ketiga, yang tidak
diragukan lagi bahwa
didalamnya terdapat riwayat
yang tidak shahih, yaitu urutan nasab beliau
mulai dari atas
Ibrahim hingga Nabi
Adam 'alaihissalam. Kami sudah singgung sebagiannya, dan
berikut ini penjelasan detail tentang ketiga
klasifikasi tersebut:
Klasifikasi Pertama: Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul Muththalib (nama aslinya; Syaibah)
bin Hasyim (nama
aslinya: 'Amru) bin 'Abdu Manaf
(nama aslinya: al-Mughirah) bin Qushai (nama
aslinya: Zaid) bin
Kilab bin Murrah
bin Ka'ab bin
Luai bin Ghalib
bin Fihr (julukannya: Quraisy yang kemudian
suku ini dinisbatkan kepadanya) bin Malik
bin an-Nadhar (nama aslinya:
Qais) bin Kinanah
bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama
aslinya: 'Amir)
bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'add bin Adnan.
Klasifikasi Kedua: (dari urutan nasab
diatas hingga ke atas Adnan)
yaitu, Adnan bin Adad
bin Humaisa' bin
Salaaman bin 'Iwadh
bin Buuz bin Qimwaal bin Abi 'Awwam
bin Naasyid bin Hiza bin Buldaas bin Yadlaaf bin Thaabikh bin
Jaahim bin Naahisy
bin Maakhi b in 'Iidh bin 'Abqar bin 'Ubaid bin ad-Di'aa
bin Hamdaan bin Sunbur
bin Yatsribi bin Yahzan bin Yalhan bin Ar'awi bin 'Iidh bin Diisyaan bin
'Aishar bin Afnaad bin Ayhaam bin Miqshar
bin Naahits bin Zaarih bin
Sumay bin Mizzi
bin 'Uudhah bin 'Uraam bin Qaidaar bin Isma'il bin Ibrahim 'alaihimassalam.
Klasifikasi Ketiga: (dari urutan nasab
kedua klasifikasi diatas
hingga keatas Nabi Ibrahim)
yaitu, Ibrahim 'alaihissalam bin Taarih (namanya: Aazar) bin Naahuur
bin Saaruu' atau Saaruugh bin Raa'uw
bin Faalikh bin 'Aabir bin Syaalikh bin Arfakhsyad bin Saam bin
Nuh 'alaihissalam bin
Laamik bin Mutwisylakh bin Akhnukh (ada
yang mengatakan bahwa dia adalah Nabi
Idris 'alaihissalam) bin Yarid bin Mahlaaiil bin
Qainaan bin Aanuusyah bin Syits
bin Adam 'alaihissalam.
Keluarga besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Al-Usrah an-Nabawiyyah (Keluarga Besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam) lebih
dikenal dengan sebutan al-Usrah
al-Hasyimiyyah (dinisbatkan kepada
kakek beliau, Hasyim
bin 'Abdu Manaf), oleh
karenanya kita sedikit
akan menyinggung tentang
kondisi Hasyim
ini dan orang-orang setelahnya dari keluarga besar
beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam :
Hasyim : Sebagaimana telah kita singgung bahwa Hasyim adalah
orang yang bertindak sebagai penanggung jawab
atas penanganan air (as-Siqayah) dan penyediaan makanan
(ar- Rifadah) terhadap
Baitullah dari keluarga Bani 'Abdi Manaf ketika terjadi perundingan antara Banu
'Abdi Manaf dan Banu 'Abdid
Daar dalam masalah
pembagian kekuasaan antar kedua
belah fihak. Hasyim
dikenal sebagai orang
yang hidup dalam
kondisi yang baik dan
memiliki martabat tinggi. Dia lah orang pertama yang menyediakan makanan
berbentuk ats-Tsarid (semacam roti yang diremuk dan direndam dalam kuah) kepada
jama'ah-jama'ah haji di Mekkah.
Nama aslinya adalah 'Amru, adapun kenapa dia dinamakan Hasyim, hal ini dikarenakan pekerjaannya
yang meremuk-remukan roti (sesuai dengan arti kata
Hasyim dalam Bahasa
Arabnya-red). Dia juga
lah orang pertama
yang mencanangkan program dua kali rihlah (bepergian) bagi kaum Quraisy,
yaitu: Rihlatus Syitaa' ; bepergian di musim dingin
dan Rihlatush Shaif;
bepergian di musim
panas (sebagaimana dalam surat Quraisy
ayat 2 -red). Berkenaan dengan hal ini, seorang penyair bersenandung:
'Amru lah orang yang menghidangkan at-Tsarid kepada kaumnya Kaum yang ditimpa
kurang hujan dan paceklik
Dia lah yang mencanangkan bagi
mereka dua rihlah
musiman Rihlah/ bepergian di musim dingin
dan di musim
panas
Diantara kisah tentang
dirinya; suatu hari
dia pergi ke kota Syam
untuk berdagang, namun ketika sampai di Madinah
dia menikah dahulu
dengan Salma binti
'Amru, salah seorang puteri 'Uday bin an-Najjar. Dia tinggal bersama
isterinya untuk beberapa
waktu kemudian berangkat ke kota Syam (ketika itu isterinya
ditinggalkan bersama keluarganya dan sedang mengandung bayinya yang kemudian dinamai dengan
'Abdul Muththalib). Hasyim akhirnya meninggal di kota Ghazzah (Ghaza) di tanah
Palestina. Isterinya, Salma melahirkan puteranya, 'Abdul
Muththalib pada tahun
497 M. Ibunya
menamakannya dengan
Syaibah karena tumbuhnya uban (yang dalam Bahasa 'Arabnya adalah "syaibah"- red) di kepalanya. Dia mendidik anaknya
di rumah ayahnya
(Hasyim-red) di Yatsrib sedangkan keluarganya yang di Mekkah tidak seorang
pun diantara mereka yang tahu tentang dirinya. Hasyim
mempunyai empat orang
putera dan lima
orang puteri.
Keempat puteranya tersebut adalah:
Asad, Abu Shaifi,
Nadhlah dan 'Abdul
Muththalib. Sedangkan kelima puterinya adalah:
asy-Syifa', Khalidah, Dha'ifah, Ruqayyah dan Jannah.
'Abdul Muththalib : dari pembahasan yang telah lalu
kita telah mengetahui bahwa tanggung
jawab atas penanganan as-Siqayah dan ar-Rifadah setelah Hasyim diserahkan kepada saudaranya, al-Muththalib bin 'Abdu Manaf
{Dia adalah orang yang
ditokohkan, disegani dan memiliki kharisma di kalangan kaumnya. Orang-orang Quraisy
menjulukinya dengan al-Fayyadh karena
kedermawanannya (sebab al-Fayyadh artinya dalam Bahasa Arab adalah yang murah
hati-red)}. Ketika
Syaibah ('Abdul Muththalib) menginjak remaja
sekitar usia 7 tahun atau
8 tahun lebih,
al-Muththalib, kakeknya mendengar berita tentang dirinya lantas dia
pergi mencarinya. Ketika
bertemu dan melihatnya, berlinanglah air matanya, lalu direngkuhnya erat-erat dan
dinaikkannya ke atas tunggangannya dan memboncengnya namun cucunya
ini menolak hingga
diizinkan dahulu oleh
ibunya.
Kakeknya, al- Muththalib
kemudian meminta persetujuan ibunya agar mengizinkannya membawa serta cucunya
tersebut tetapi dia (ibunya) menolak permintaan tersebut. Al- Muththalib lantas bertutur: "sesungguhnya dia (cucunya, 'Abdul Muththalib) akan
ikut bersamanya menuju
kekuasaan yang diwarisi
oleh ayahnya (Hasyim-red), menuju Tanah Haram Allah". Barulah kemudian ibunya
mengizinkan anaknya dibawa.
Abdul Muththalib dibonceng oleh
kakeknya, al-Muththalib dengan
menunggangi keledai miliknya. Orang- orang berteriak: "inilah 'Abdul
Muththalib!". Kakeknya, al -Muththalib memotong
teriakan tersebut
sembari berkata: "celakalah kalian! Dia ini adalah anak saudaraku
(keponakanku), Hasyim". 'Abdul
Muththalib akhirnya tinggal
bersamanya hingga tumbuh
dan menginjak dewasa. Al-Muthtthalib meninggal di Rodman,
di tanah Yaman dan kekuasaannya kemudian digantikan oleh
cucunya, 'Abdul Muththalib. Dia menggariskan kebijakan terhadap kaumnya persis seperti
nenek-nenek moyang dulu akan tetapi
dia berhasil melampaui mereka; dia mendapatkan kedudukan dan martabat di hati kaumnya yang belum pernah
dicapai oleh nenek-nenek moyangnya terdahulu; dia dicintai oleh
mereka sehingga kharisma dan wibawanya di hati mereka
semakin besar.
Ketika al-Muththalib meninggal dunia, Naufal (paman
'Abdul Muththalib) menyer obot kekuasaan keponakannya tersebut. Tindakan ini
menimbulkan amarahnya yang serta merta meminta pertolongan para pemuka Quraisy
untuk membantunya melawan
sang paman. Namun mereka
menolak sembari berkata: "kami tidak akan mencampuri urusanmu dengan pamanmu
itu". Akhirnya dia
menyurati paman-pamannya dari
pihak ibunya, Bani an-Najjar dengan rangkaian bait-bait sya'ir yang berisi
ungkapan memohon bantuan mereka.
Pamannya, Abu Sa'd
bin 'Uday bersama
delapan puluh orang
kemudian berangkat
menuju ke arahnya dengan menunggang kuda. Sesampai mereka di al-Abthah, sebuah tempat di Mekkah dia disambut oleh
'Abdul Muththalib yang langsung bertutur kepadanya: "silahkan mampir ke
rumah, wahai paman!". Pamannya menjawab: "demi Allah, aku
tidak akan ( mampir ke rumahmu-red) hingga
bertemu dengan Naufal", lantas dia mendatanginya dan mencegatnya yang
ketika itu sedang
duduk-duduk di dekat
al-Hijr (Hijr Isma'il) bersama
para sesepuh Quraisy.
Abu Sa'd langsung mencabut pedangnya
seraya mengancam: "Demi Pemilik
rumah ini (Ka'bah)! Jika tidak engkau
kembalikan kekuasaan anak saudara
perempuanku (keponakanku) maka
aku akan memenggalmu dengan pedang ini". Naufal berkata: "sudah aku kembalikan kepadanya!". Ucapannya ini
disaksikan oleh para
sesepuh Quraisy tersebut. Kemudian barulah
dia mampir ke rumah
'Abdul Muththalib dan
tinggal di sana
selama tiga hari.
Selama disana, dia
melakukan umrah (ala kaum
Quraisy dahulu sebelum
kedatangan Islam-red)
kemudian pulang ke Madinah. Menyikapi kejadian yang
dialaminya tersebut, Naufal akhirnya bersekutu dengan Bani 'Abdi Syams bin 'Abdi Manaf untuk
menandingi Bani Hasyim. Suku Khuza'ah tergerak
juga untuk menolong 'Abdul Muththalib setelah
melihat pertolongan yang diberikan oleh
Bani an-Najjar terhadapnya. Mereka berkata (kepada
Bani an- Najjar):"kami
juga melahirkannya ('Abdul Muththalib juga merupakan anak/ turunan kami-red)
seperti kalian, namun kami justru lebih berhak untuk menolongnya". Hal ini
lantaran ibu dari 'Abdi
Manaf adalah keturunan mereka. Mereka memasuki Darun Nadwah dan bersekutu dengan Bani Hasyim
untuk melawan Bani
'Abdi Syams dan Naufal. Persekutuan inilah yang
kemudian menjadi sebab penaklukan Mekkah sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Ada dua momentum
besar yang terjadi
atas Baitullah di masa 'Abdul
Muththalib:
Pertama, Penggalian sumur Zam-zam.
Kedua,
datangnya pasukan gajah.
Ringkasan momentum pertama
:
'Abdul Muththalib bermimpi dirinya diperintahkan untuk menggali Zam-zam dan dijelaskan kepadanya dimana
letaknya, lantas dia melakukan penggalian (sesuai dengan petunjuk
mimpi tersebut-red) dan menemukan
didalamnya benda-benda terpendam yang dulu dikubur
oleh suku Jurhum
ketika mereka akan keluar
meninggalkan Mekkah; yaitu
berupa pedang-pedang, tameng-tameng besi (baju
besi) dan dua pangkal pelana yang terbuat dari emas. Pedang-pedang kemudian dia jadikan sebagai pintu Ka'bah,
sedangkan dua pangkal pelana tersebut dia jadikan sebagai lempengan-lempengan
emas dan ditempelkan di pintu tersebut. Dia juga menyediakan tempat untuk pelayanan
air Zam-zam bagi para jama'ah haji.
Ketika sumur Zam-zam
berhasil digali, orang-orang Quraisy mempermasalahkannya. Mereka berkata kepadanya: "ikutsertakan
kami!". Dia menjawab: "aku tidak akan melakukannya sebab ini merupakan proyek yang sudah
aku tangani secara khusus". Mereka tidak tinggal
diam begitu saja
tetapi menyeretnya ke pengadilan seorang
dukun wanita dari Bani Sa'd, di pinggiran kota Syam namun
dalam perjalanan mereka,
bekal air pun habis lalu Allah turunkan
hujan ke atas 'Abdul Muththalib tetapi tidak setetespun tercurah ke atas
mereka. Mereka akhirnya
tahu bahwa urusan
Zam-zam telah dikhususkan kepada 'Abdul Muththalib dan pulang ke tempat mereka
masing-masing. Saat itulah 'Abdul Muththalib bernazar
bahwa jika dikaruniai sepuluh orang anak dan mereka
sudah mencapai usia
baligh, meskipun mereka mencegahnya guna mengurungkan niatnya untuk menyembelih
salah seorang dari mereka disisi
Ka'bah maka dia tetap akan
melakukannya.
Ringkasan momentum kedua:
Abrahah ash-Shabbah al-Habasyi, penguasa bawahan an-Najasyi di negeri
Yaman ketika melihat
orang-orang Arab melakukan haji ke Ka'bah,
dia juga membangun gereja
yang amat megah
di kota Shan'a'.
Tujuannya adalah agar
orang- orang Arab mengalihkan haji mereka ke sana. Niat jelek ini
didengar oleh seorang
yang berasal dari Bani
Kinanah. Dia secara diam-diam mengendap-endap menerobos malam memasuki gereja tersebut, lalu
dia lumuri kiblat
mereka tersebut dengan
kotoran. Tatkala mengetahui perbuatan ini meledaklah amarah
Abrahah dan sertamerta dia mengerahkan pasukan besar yang kuat (berkekuatan 60.000
personil) ke Ka'bah untuk meluluhlantakkannya.
Dia juga memilih gajah paling besar
sebagai tunggangannya. Dalam pasukan
tersebut terdapat sembilan ekor gajah atau tiga ekor. Dia meneruskan perjalanannya hingga sampai di al-Maghmas
dan disini dia memobilisasi pasukannya, menyiagakan gajahnya dan bersiap-siap melakukan invasi ke kota Mekkah.
Akan tetapi baru saja mereka sampai di Wadi Mahsar
(Lembah Mahsar) yang terletak antara Muzdalifah dan Mina, tiba-tiba gajahnya berhenti dan duduk. Gajah
ini tidak mau lagi
berjalan menuju Ka'bah dan
ogah dikendalikan oleh
mereka baik ke arah selatan,
utara atau timur; setiap
mereka perintahkan ke arah-arah tersebut, gajah berdiri dan berlari dan bila mereka arahkan ke Ka'bah, gajah
tersebut duduk. Manakala mereka mengalami kondisi semacam itu, Allah mengirimkan ke atas
mereka burung-burung yang berbondong-bondong
yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu
Dia Ta'ala menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
Burung tersebut semisal besi
yang berkeluk/ pengait
(khathaathiif) dan kacang adas (balsan). Setiap burung
melempar tiga buah
batu; sebuah diparuhnya, dan dua buah di
kedua kakinya berbentuk seperti kerikil. Bila
lemparan batu tersebut
mengenai seseorang maka anggota-anggota badan orang tersebut
akan menjadi berkeping-keping dan hancur. Tidak semua mereka
terkena lemparan tersebut; ada yang dapat
keluar melarikan diri tetapi mereka saling berdesakan satu sama lainnya
sehingga banyak yang jatuh di jalan- jalan lantas mereka binasa
terkapar di setiap
tempat. Sedangkan Abrahah
sendiri, Allah kirimkan kepadanya satu penyakit yang
membuat sendi jari-jemari tangannya tanggal dan berjatuhan satu per-satu. Sebelum dia mencapai
Shan'a' maka dia tak ubahnya
seperti seekor anak burung
yang dadanya terbelah dari hatinya, untuk
kemudian dia roboh
tak bernyawa.
Adapun kondisi orang-orang Quraisy; mereka
berpencar-pencar ke lereng-lereng gunung dan bertahan di bukit-bukitnya karena
merasa ngeri dan
takut kejadian tragis
yang menimpa pasukan
Abrahah tersebut akan
menimpa diri mereka
juga. Manakala pasukan tersebut telah mengalami kejadian
tragis dan mematikan tersebut, mereka turun
gunung dan kembali
ke rumah masing-masing dengan rasa penuh
aman.
Peristiwa tragis tersebut terjadi pada bulan Muharram, lima puluh hari
atau lima puluh lima hari (menurut pendapat
mayoritas) sebelum kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam; yaitu bertepatan dengan penghujung bulan
Pebruari atau permulaan bulan Maret pada tahun
571 M. Peristiwa tersebut ibarat prolog
yang disajikan oleh
Allah untuk
NabiNya dan BaitNya.
Sebab ketika kita
memandang ke Baitul
Maqdis, kita melihat bahwa kiblat ini (dulu, sebelum
Ka'bah-red) telah
dikuasai oleh musuh-musuh Allah dari kalangan kaum Musyrikin dimana ketika itu
penduduknya beragama Islam, yakni sebagaimana yang terjadi dengan tindakan Bukhtanashshar terhadapnya pada
tahun 587 SM dan oleh bangsa
Romawi pada tahun
70 M. Sebaliknya Ka'bah tidak
pernah dikuasai oleh orang-orang Nasrani
(mereka ketika itu
disebut juga sebagai orang-orang Islam/ Muslimun) padahal
penduduknya adalah kaum Musyrikin.
Peristiwa tragis tersebut juga terjadi dalam
kondisi yang dapat
mengekspos beritanya ke seluruh penjuru dunia yang ketika itu
sudah maju; Diantaranya, Negeri Habasyah yang ketika itu memiliki
hubungan yang erat dengan orang-orang Romawi . Di sisi lain, orang-
orang Farsi masih mengintai mereka
dan menunggu apa
yang akan terjadi
terhadap orang- orang Romawi
dan sekutu-sekutunya. Maka,
ketika mendengar peristiwa tragis tersebut, orang-orang
Farsi segera berangkat menuju Yaman. Kedua
negeri inilah (Farsi
dan Romawi) yang saat
itu merupakan negara maju dan berperadaban (superpower). Peristiwa tersebut
juga mengundang perhatian dunia dan memberikan isyarat kepada mereka
akan kemuliaan Baitullah. Baitullah inilah yang dipilih
olehNya untuk dijadikan sebagai tempat
suci. Jadi, bila ada seseorang yang berasal dari
tempat ini mengaku
sebagai pengemban risalah kenabian maka hal inilah
sesungguhnya yang merupakan kata kunci dari
terjadinya peristiwa tersebut
dan penjelasan atas hikmah terselubung di balik pertolongan Allah terhadap Ahlul Iman (kaum Mukminin) melawan kaum
Musyrikin; suatu cara yang melebihi kejadian Alam yang bernuasa
kausalitas ini.
'Abdul Muththalib mempunyai sepuluh orang putera,
yaitu: al-Harits, az-Zubair, Abu Thalib, 'Abdullah, Hamzah, Abu Lahab,
al-Ghaidaaq, al-Muqawwim, Shaffar,
al-'Abbas. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa
mereka berjumlah sebelas
orang, yaitu ditambah dengan seorang putera lagi yang bernama Qutsam. Ada lagi versi riwayat yang menyebutkan
bahwa mereka berjumlah tiga belas orang
ditambah (dari nama-nama yang sudah ada pada dua versi
diatas) dengan dua orang putera
lagi yang bernama
'Abdul Ka'bah dan Hajla.
Namun ada riwayat
yang menyebutkan bahwa 'Abdul Ka'ba
h ini tak lain adalah al-Muqawwim diatas sedangkan Hajla adalah
al-Ghaidaaq dan tidak ada diantara putera-puteranya tersebut yang bernama
Qutsam. Adapun puteri-puterinya berjumlah enam orang,
yaitu: Ummul Hakim (yakni al-Baidha'/ si putih), Barrah,
'Atikah, Arwa dan Umaimah.
'Abdullah, ayahanda Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam : Ibu 'Abdullah bernama Fathimah binti 'Amru bin 'Aaiz bin 'Imran
bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah. 'Abdullah ini adalah
anak yang paling
tampan diantara putera-putera 'Abdul Muththalib,
yang paling bersih jiwanya dan paling disayanginya. Dia lah yang sebenarnya calon
kurban yang dipersembahkan oleh 'Abdul Muththalib sesuai nazarnya diatas.
Ceritanya; ketika 'Abdul Muththalib sudah komplit mendapatkan sepuluh orang putera
dan mengetahui bahwa mereka mencegahnya untuk melakukan niatnya,
dia kemudian memberitahu mereka
perihal nazar tersebut sehingga mereka pun menaatinya. Dia menulis nama-nama mereka di anak
panah yang akan diundikan diantara mereka dan dipersembahkan kepada patung
Hubal, kemudian undian tersebut dimulai maka setelah itu keluarlah nama
'Abdullah. 'Abdul Muththalib membimbingnya sembari membawa pedang dan mengarahkan
wajahnya ke Ka'bah
untuk segera disembelih, namun orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman-pamannya (dari fihak ibu)
dari Bani Makhzum
dan saudaranya, Abu Thalib. Menghadapi sikap tersebut, 'Abdul
Muththalib berkata: "lantas, apa yang harus kuperbuat dengan nazarku?".
Mereka menyarankannya agar dia menghadirkan dukun/
peramal wanita dan meminta p etunjuknya. Dia
kemudian datang kepadanya
dan meminta petunjuknya. Dukun/ peramal wanita ini memerintahkannya untuk menjadikan anak panah undian
tersebut diputar antara
nama 'Abdullah dan sepuluh
ekor onta; jika yang keluar
nama Abdullah maka dia ('Abdul Muththalib) harus menambah tebusan sepuluh
ekor onta lagi,
begitu seterusnya hingga
Tuhannya ridha.
Dan jika yang keluar atas
nama onta maka dia harus menyembelihnya sebagai kurban. 'Abdul Muththalib pun kemudian pulang ke rumahnya
dan melakukan undian (sebagaimana
yang diperintahkan dukun wanita tersebut) antara nama 'Abdullah dan sepuluh ekor
onta, lalu keluarlah yang nama 'Abdullah; bila yang terjadi
seperti ini maka dia terus menambah tebusan
atasnya sepuluh ekor
onta begitu seterusnya, setiap diundi maka yang
keluar adalah nama
'Abdullah dan diapun
terus menambahnya dengan
sepuluh ekor onta hingga onta tersebut sudah berjumlah seratus ekor
berulah undian tersebut jatuh
kepada onta-onta tersebut, maka dia kemudian menyembelihnya dan meninggalkannya begitu saja tanpa
ada yang menyentuhnya baik oleh tangan
manusia maupun binatang buas.
Dulu diyat (denda)
di kalangan orang
Quraisy dan Bangsa
'Arab secara keseluruhan dihargai
dengan sepuluh ekor
onta, namun sejak
peristiwa itu maka dirubah menjadi seratus ekor
onta yang kemudian
dilegitimasi oleh Islam.
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda: "Aku lah anak (cucu) kedua orang yang dipersembahkan
sebagai sembelihan/ kurban". Yakni, Nabi Isma'il 'alaihissalam dan ayah beliau 'Abdullah (Ibnu Hisyam;I/ 151 -155, Tarikh
ath-Thabari;II/ 240 -243).
'Abdul Muththalib memilihkan buat puteranya, 'Abdullah seorang gadis bernama
Aminah binti Wahab
bin 'Abdu Manaf
bin Zahrah bin
Kilab. Aminah ketika
itu termasuk wanita idola di kalangan
orang-orang Quraisy baik
dari sisi nasab
ataupun martabatnya. Ayahnya adalah pemuka suku Bani
Zahrah secara nasab
dan kedudukannya. Akhirnya
'Abdullah dikawinkan
dengan Aminah dan tinggal bersamanya di Mekkah. Tak berapa lama kemudian,
dia dikirim oleh
ayahnya, 'Abdul Muththalib ke Madinah. Ketika sampai
disana dia sedang dalam
kondisi sakit, sehingga
kemudian meninggal disana
dan dikuburkan di Daar
an-Naabighah al-Ja'di. Ketika
(meninggal) itu dia baru berumur
25 tahun dan tahun
meninggalnya tersebut adalah
sebelum kelahiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana pendapat
mayoritas sejarawan. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa
dia meninggal dua bulan
atau lebih setelah
kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika
berita kematiannya sampai
ke Mekkah, Aminah, sang
isteri meratapi kepergian sang suami dengan untaian
ar-Ratsaa' (bait syair
yang berisi ungkapan
kepedihan hati atas kematian
seseorang dengan menyebut
kebaikan-kebaikannya-red) yang paling indah dan menyentuh:
Seorang putera Hasyim
tiba (dengan kebaikan) di tanah lapang
berkerikil Keluar menghampiri liang lahad tanpa meninggalkan kata yang
jelas Rupanya kematian
mengundangnya lantas disambutnya
Tak pernah ia (maut)
mendapatkan orang semisal
putera Hasyim Di saat mereka
tengah memikul keranda
kematiannya
Kerabat-kerabatnya saling berdesakan untuk melayat/
mengantarnya Bila lah
pemandangan berlebihan itu diperlakukan maut untuknya
Sungguh itu pantas karena dia adalah si banyak memberi dan penuh kasih
Keluruhan harta yang ditinggalkan oleh 'Abdullah adalah: lima ekor onta, sekumpulan kambing, seorang
budak wanita dari
Habasyah bernama Barakah
dan Kun-yah (nama panggilannya) adalah Ummu Aiman yang
merupakan pengasuh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
LIHAT SAMBUNGAN SIRAH NABAWIYAH DI LINK DI BAWAH INI :
No comments:
Post a Comment