SIRAH NABAWIYAH ( 10 )
Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
PEMBOIKOTAN MENYELURUH
Perjanjian yang zhalim dan melampaui batas
Setelah segala cara sudah ditempuh
dan tidak membuahkan hasil juga, kepanikan kaum musyrikin mencapai puncaknya, ditambah lagi mereka
mengetahui bahwa Bani
Hasyim dan Bani ‘Abdul
Muththalib berkeras akan
menjaga Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dan membelanya mati-matian apapun resikonya.
Karena itu, mereka
berkumpul di kediaman
Bani Kinanah yang terletak di lembah al -
Mahshib dan bersumpah untuk
tidak menikahi Bani
Hasyim dan Bani
al-Muththalib, tidak berjual
beli dengan mereka,
tidak berkumpul, berbaur,
memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga
mereka menyerahkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam untuk dibunuh. Mereka mendokumentasikan hal tersebut, diatas sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian
dan sumpah “bahwa mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim
dan tidak akan
berbelas kasihan terhadap mereka kecuali bila mereka
menyerahkan beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk dibunuh”.
Ibnu al-Qayyim berkata: “Ada yang
mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh Manshûr bin ‘Ikrimah bin ‘Âmir bin
Hâsyim. Ada lagi yang mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh
Nadlr bin al-Hârits. Yang
benar, bahwa yang menulisnya
adalah Baghîdl bin ‘Âmir
bin Hâsyim, lalu
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam berdoa atasnya
(dengan doa yang buruk) dan dia pun mengalami kelumpuhan ditangannya sebagaimana
doa beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam .
Perjanjian itu pun dilaksanakan dan digantungkan di rongga Ka’bah
namun Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib semuanya, baik yang masih
kafir maupun yang
sudah beriman selain Abu Lahab tetap
berpihak untuk membela
Rasulullah. Mereka akhirnya
tertahan di kediaman Abu
Thalib pada malam bulan Muharram tahun ke-7 dari
bi’tsah (diutusnya beliau sebagai
Rasul) sedangkan riwayat
yang lain menyebutkan selain tanggal tersebut.
Tiga
Tahun di Kediaman Abu Thalib
Pemboikotan semakin diperketat sehingga makanan dan stock pun habis,
sementara kaum musyrikin tidak
membiarkan makanan apapun
yang masuk ke Mekkah atau dijual
kecuali mereka segera
memborongnya. Tindakan ini membuat kondisi
Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib semakin kepayahan dan memprihatinkan sehingga mereka terpaksa
memakan dedaunan dan kulit-kulit. Selain
itu, jeritan kaum
wanita dan tangis
bayi-bayi yang mengerang kelaparan pun terdengar di balik kediaman
tersebut.
Tidak ada yang sampai ke tangan mereka kecuali
secara sembunyi-sembunyi, dan merekapun tidak keluar
rumah untuk membeli
keperluan keseharian kecuali
pada al- Asyhur al-Hurum (bulan-bulan yang diharamkan berperang). Mereka membelinya dari rombongan yang datang dari
luar Mekkah akan
tetapi penduduk Mekkah
menaikkan harga barang-barang kepada
mereka beberapa kali
lipat agar mereka
tidak mampu membelinya.
Hakîm bin Hizâm
pernah membawa gandum
untuk diberikan kepada
bibinya, Khadîjah
radhiallaahu 'anha namun suatu ketika dia dihadang oleh Abu Jahal dan
diinterogasi olehnya guna mencegah upayanya. Untung saja,
ada Abu al-Bukhturiy yang menengahi dan membiarkannya lolos
membawa gandum tersebut kepada bibinya.
Dilain pihak, Abu Thalib merasa
khawatir atas keselamatan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Untuk itu, dia
biasanya memerintahkan beliau
untuk baring di tempat tidurnya bila orang-orang beranjak ke tempat tidur
mereka. Hal ini agar memudahkannya untuk mengetahui siapa yang hendak membunuh beliau. Dan
manakala orang-orang sudah benar-benar
tidur, dia memerintahkan salah satu dari putera-putera, saudara-saudara atau keponakan-keponakannya untuk
tidur di tempat
tidur Rasulullah sementara beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam diperintahkan untuk tidur
di tempat tidur
mereka.
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan kaum
muslimin keluar pada musim haji, menjumpai manusia dan mengajak mereka kepada Islam sebagaimana yang telah
kami singgung dalam pembahasan
lalu tentang perlakuan Abu Lahab terhadap mereka.
Pembatalan Terhadap Shahifah Perjanjian
Pemboikotan tersebut berlangsung selama dua atau tiga tahun
penuh. Barulah pada bulan
Muharram tahun ke-10 dari
kenabian terjadi pembatalan terhadap shahifah dan perobekan perjanjian tersebut. Hal ini dilakukan karena
tidak semua kaum
Quraisy menyetujui perjanjian tersebut, diantara mereka
ada yang pro dan ada yang
kontra, maka pihak yang kontra
ini akhirnya berusaha untuk membatalkan shahifah
tersebut.
Diantara tokoh yang melakukan itu adalah Hisyâm bin ‘Amru dari suku Bani ‘Âmir bin
Lu-ay – yang secara tersembunyi pada malam hari
mengadakan kontak dengan
Bani Hâsyim dan menyuplai
bahan makanan -. Tokoh ini pergi menghadap Zuhair bin Abi
Umayyah al-Makhzûmiy (ibunya
bernama ‘Âtikah binti
‘Abdul Muththalib), dia berkata
kepadanya:
“Wahai Zuhair! Apakah engkau
tega dapat menikmati makan dan minum sementara saudara-saudara dari pihak ibumu kondisi mereka
seperti yang engkau ketahui saat ini?”
“celakalah engkau!
Apa yang dapat
aku perbuat bila
hanya seorang diri?.
Sungguh, demi Allah! andaikata bersamaku seorang lagi
niscaya aku robek shahifah perjanjian tersebut”,
jawabnya
“engkau sudah mendapatkannya!”, kata Hisyâm“siapa
dia?”, tanyanya “aku”, kata
Hisyâm
“kalau begitu, carikan bagi
kita orang ketiga”, jawabnya.
Lalu Hisyâm pergi menuju kediaman
al-Muth’im bin ‘Adiy.
Dia menyinggung tali rahim
yang terjadi antara Bani Hâsyim
dan Bani al-Muththalib, dua orang putra
‘Abdi Manaf dan mencela persetujuannya atas tindakan zhalim
kaum Quraisy.
Al-Muth’im berkata: “celakalah engkau! Apa yang
bisa aku lakukan
padahal aku hanya seorang diri?”.
Dia berkata: “engkau sudah mendapatkan orang
keduanya”. Dia bertanya: “siapa
dia?”
“aku”, jawabnya
“kalau begitu, carikan
bagi kita orang
ketiga”, pintanya lagi “sudah aku dapatkan
orangnya”, jawabnya
“siapa dia?”, tanyanya
“Zuhair bin Abi Umayyah”, jawabnya
“kalau begitu, carikan bagi kita orang keempat”, pintanya lagi
Lalu dia pergi lagi menuju kediaman Abu al-Bukhturiy
bin Hisyâm dan mengatakan kepadanya
persis seperti apa yang telah dikatakannya kepada al-Muth’im. Dia bertanya
kepada Hisyâm: “apakah
ada orang yang
membantu kita dalam
hal ini?” “Ya”, jawabnya
“siapa dia?”, tanyanya
“Zuhair bin Abi Umayyah,
al -Muth’im bin ‘Adiy. Aku juga akan bersamamu”, jawabnya “kalau begitu, carikan
lagi bagi kita orang kelima”,
pintanya.
Kemudian dia pergi
lagi menuju kediaman Zam’ah
bin al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad. Dia berbincang dengannya lalu menyinggung
perihal kekerabatan yang ada diantara mereka dan hak-hak
mereka. Zam’ah bertanya kepadanya: “apakah ada orang yang
ikut serta dalam urusan yang engkau ajak diriku ini?”
“ya”, jawabnya.
Kemudian dia menyebutkan nama -nama orang
yang ikut serta
tersebut. Akhirnya mereka berkumpul di pintu Hujûn dan berjanji akan
melakukan pembatalan terhadap shahifah. Zuhair
berkata: “Akulah yang akan memulai
dan orang pertama
yang akan berbicara”.
Ketika paginya, mereka
pergi ke tempat
perkumpulan. Zuhair datang
dengan mengenakan pakaian kebesaran lalu mengelilingi ka’bah
tujuh kali kemudian
menghadap ke khalayak seraya berkata:
“Wahai penduduk Mekkah! Apakah
kita tega bisa menikmati makanan dan
memakai pakaian sementara Bani
Hasyim binasa; tidak
ada yang sudi
menjual kepada mereka
dan tidak ada yang membeli dari
mereka? Demi Allah!
aku tidak akan
duduk hingga shahifah yang telah memutuskan rahim dan zhalim
ini dirobek!”.
Abu Jahal yang
berada di pojok
masjid menyahut: “Demi Allah!
engkau telah berbohong! Jangan
lakukan itu!”.
Lalu Zam’ah bin
al-Aswad memotongnya:”demi Allah!
justru engkaulah yang
paling pembohong!
Kami tidak pernah
rela menulisnya ketika
ditulis waktu itu”.
Setelah itu, Abu al-Bukhturiy menimpali: “Benar apa yang dikatakan Zam’ah
ini, kami tidak pernah
rela terhadap apa yang telah
ditulis dan tidak
pernah menyetujuinya”.
Berikutnya, giliran
al-Muth’im yang menambahkan: “mereka berdua ini memang benar dan sungguh orang yang
mengatakan selain itulah
yang berbohong. Kami berlepas
diri kepada Allah
dari shahifah tersebut dan apa yang ditulis didalamnya”.
Hal ini juga
diikuti oleh Hisyam bin ‘Amru yang menimpali seperti itu pula.
Abu Jahal kemudian
berkata dengan kesal:”urusan ini telah diputuskan di tempat selain ini pada malam dimusyawarahkannya saat itu!”.
Saat itu Abu Thalib tengah duduk di sudut al-Masjid al-Haram. Dia datang atas pemberitahuan keponakannya, Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam yang telah diberitahu oleh Allah perihal
shahifah tersebut bahwa
Dia Ta’ala telah
mengirim rayap - rayap untuk memakan semua tulisan yang
berisi pemutusan rahim dan kezhaliman tersebut kecuali
tulisan yang ada nama Allah
Ta’ala di dalamnya.
Abu Thâlib datang
kepada kaum Quraisy
dan memberitahukan kepada
mereka tentang apa yang telah diberitahukan oleh keponakanya kepadanya. Dia menyatakan: “ini untuk membuktikan apakah dia berbohong
sehingga kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan dengannya, demikian pula
sebaliknya, jika dia benar maka kalian harus membatalkan pemutusan rahim dan
kezhaliman terhadap kami”.
Mereka berkata kepadanya: “kalau begitu, engkau telah berlaku adil”.
Setelah terjadi pembicaraan panjang antara mereka
dan Abu Jahal,
berdirilah al-Muth’im menuju shahifah untuk
merobeknya. Ternyata dia
menemukan rayap-rayap telah memakannya kecuali tulisan
“bismikallâh” (dengan namaMu
ya Allah) dan
tulisan yang ada nama Allah
di dalamnya dimana
rayap-rayap tersebut tidak
memakannya.
Lalu dia membatalkan shahifah tersebut sehingga
Rasulullah bersama orang-orang yang ada di kediaman Abu Thalib dapat
leluasa keluar. Sungguh, kaum musyrikun telah
melihat tanda yang agung sebagai bagian dari tanda-tanda kenabian beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam, akan tetapi mereka tetaplah sebagai yang
difirmankan oleh Allah: “Dan jika
mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda
(mu'jizat), mereka berpaling dan berkata:"(Ini adalah)
sihir yang terus
menerus". (Q.S. 54/ al -Qamar:2). Mereka telah berpaling
dari tanda ini
dan bertambahlah mereka
dari kekufuran ke kekufuran yang
lebih lagi.
LIHAT SAMBUNGAN SIRAH NABAWIYAH DI LINK DI BAWAH INI :
No comments:
Post a Comment