SIRAH NABAWIYAH ( 09 E )
Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
BERDAKWAH SECARA TERANG -TERANGAN
(DAKWAH JAHRIYYAH)
Utusan Quraisy menemui Rasulullah
Setelah masuk islamnya dua orang pahlawan
yang agung, Hamzah
bin ‘Abdul Muththalib dan ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhuma, awan
kelabu mulai menyelimuti kaum Musyrikun dan barulah tersadar dari mabuk mereka yang
selama ini digunakan untuk menyiksa kaum
Muslimin. Kali ini, mereka berupaya
untuk mencari
jalan lain, yaitu mengajukan negosiasi dimana
mereka akan memenuhi semua tuntutan yang
diinginkan oleh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam asalkan
mau menghentikan dakwahnya. Mereka yang perlu dikasihani itu, tidak mengetahui bahwa setiap apa saja yang
dapat disinari oleh
matahari tidak memiliki nilai sama sekali
walau sebesar nyamuk
sekalipun dibandingkan dakwah yang beliau
emban. Akhirnya, mereka
mengalami kegagalan lagi.
Ibnu Ishâq berkata:
“Yazîd bin Ziyâd berkata
kepadaku, dari Muhammad
bin Ka’ab al -
Qurazhiy, dia berkata: ‘suatu hari ‘Utbah bin Rabî’ah -yang
merupakan seorang kepala suku- berbicara di perkumpulan Quraisy saat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam duduk-duduk
seorang diri di masjid:
‘wahai kaum Quraisy! Bagaimana pendapat kamu
bila aku menyongsong Muhammad
dan berbicara dengannya lalu menawarkan kepadanya beberapa hal yang aku berharap
semoga saja sebagiannya
dia terima lalu setelah itu kita berikan kepadanya apa yang dia mau sehingga
dia tidak lagi mengganggu kita?.
Hal itu dikatakannya ketika Hamzah radhiallaahu 'anhu masuk Islam
dan melihat bahwa para shahabat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam semakin hari semakin banyak dan bertambah, lalu mereka berkata kepadanya:
“Tentu saja bagus, wahai Abu
al-Walid! Pergilah menyongsongnya dan berbicaralah dengannya!”.
‘Utbah segera menyongsong beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam dan duduk disampingnya seraya berkata:
“wahai anak saudaraku!
Sesungguhnya engkau telah datang kepada orang-orang
dengan sesuatu hal yang amat
besar sehingga membuat
mereka bercerai berai,
angan-angan mereka
engkau kerdilkan, tuhan-tuhan serta agama mereka engkau cela dan nenek-nenek moyang mereka engkau
kafirkan. Dengarlah! Aku ingin menawarkan beberapa hal kepadamu lantas bagaimana pendapatmu
tentangnya?. Semoga saja sebagiannya dapat engkau terima”.
“wahai Abu al-Walîd! katakanlah,
aku akan mendengarkannya!”, jawab Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam .
“wahai anak saudaraku! Jika apa yang engkau bawa itu semata
hanya menginginkan harta, kami akan mengumpulkan harta-harta kami untukmu
sehingga engkau menjadi orang yang paling banyak
hartanya diantara kami;
jika apa yang
engkau bawa itu
semata hanya menginginkan
kedudukan, maka kami akan mengangkatmu menjadi tuan kami hingga kami tidak akan
melakukan sesuatupun sebelum
engkau perintahkan; jika
apa yang engkau bawa itu semata hanya
menginginkan kerajaan, maka
kami akan mengangkatmu menjadi raja;
dan jika apa yang datang
kepadamu adalah jin yang engkau
lihat dan tidak dapat engkau mengusirnya dari
dirimu, kami akan memanggilkan tabib untukmu serta akan kami infakkan harta
kami demi kesembuhanmu, sebab orang terkadang terkena oleh jin sehingga
perlu diobati”, katanya
- atau sebagaimana yang dia katakan- hingga akhirnya ‘Utbah selesai dan Rasulullah mendengarkannya.
Lalu beliau berkata: “wahai
‘Utbah! Sudah selesaikah engkau?”. Dia menjawab: “ya”.
Beliau berkata: “ Nah,
sekarang dengarkanlah dariku!”. Dia menjawab: “ya, akan aku dengar”.
Beliau membacakan firmanNya (surat Fushshilat dari
ayat 1 -5) artinya :” Hâ mîm [1].
Diturunkan dari Tuhan Yang
Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang [2]. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam Bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui [3]. Yang membawa
berita gembira dan yang membawa
peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka
mereka tidak (mau)
mendengarkan [4]. Mereka berkata: ‘hati kami berada
dalam tutupan (yang
menutupi) apa yang
kamu seru kami kepadanya..[5]”.
Kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam melanjutkan bacaannya .
Tatkala ‘Utbah mendengarnya, dia malah diam serta
khusyu’ mendengarkan sambil bertumpu
diatas kedua tangannya yang diletakkan dibelakang punggungnya hingga beliau Shallallâhu
'alaihi wasallam selesai
dan ketika melewati ayat sajadah, beliau
bersujud.
Setelah itu, beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
bersabda: “wahai Abu al -Walîd, engkau
telah mendengarkan apa yang telah engkau dengar
tadi. Sekarang terserah
padamu”.
‘Utbah bangkit dan menemui para shahabatnya. Melihat
kedatangannya, sebagian mereka berkata
kepada sebagian yang lain:
“kami bersumpah atas nama
Allah! sungguh Abu al -Walid
telah datang kepada
kalian dengan raut
muka yang berbeda
dengan sewaktu dia
pergi tadi”.
Dia pun datang dan duduk bersama
mereka. Mereka berkata kepadanya: “apa yang engkau bawa wahai Abu al-Walîd?”.
“yang aku bawa, bahwa
aku telah mendengar suatu perkataan yang -demi Allah-
belum pernah sama sekali
aku dengar semisalnya. Demi Allah! ia bukanlah syair,
bukan sihir dan bukan pula tenung! wahai
kaum Quraisy! Patuhilah aku, serahkan urusan
itu kepadaku serta biarkanlah orang ini melakukan apa yang dia lakukan. Menjauhlah dari urusannya!
Demi Allah! sungguh
ucapannya yang telah
aku dengar itu akan menjadi
berita besar; jika orang-orang Arab dapat mengalahkannya maka kalian
telah terlebih dahulu membereskannya
tanpa campur tangan orang lain; dan jika dia mengalahkan mereka maka kerajaannya adalah kerajaan kalian
juga, keagungannya adalah keagungan kalian juga; maka dengan
begitu kalian akan
menjadi orang yang paling bahagia”.
Mereka berkata: “demi Allah!
dia telah menyihirmu dengan lisannya, wahai
Abu al - Walîd”.
“inilah pendapatku terhadapnya, terserah apa yang
ingin kalian lakukan”, jawabnya.
Dalam versi riwayat
yang lain bahwa
‘Utbah mendengar dengan
khusyu’ hingga bacaan
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam sampai kepada
firmanNya (surat Fushshilat, ayat 13): “jika mereka berpaling maka katakanlah: ‘aku
telah memperingatkan kamu dengan
petir, seperti petir yang
menimpa kaum ‘Âd dan kaum
Tsamûd”. ketika itu, dia be rdiri
karena terperanjat dan
cepat-cepat menutup mulut Rasulullah dengan tangannya sembari berkata:
“aku minta kepadamu atas nama
Allah agar mengingat rahim (hubungan kekeluargaan) diantara kita”.
Hal ini dilakukannya karena takut peringatan tersebut
menimpanya. Setelah itu, dia bangkit
menemui para shahabatnya dan mengatakan apa yang dia telah katakan (seperti diatas-red).
Para Petinggi Quraisy
ingin berunding dengan
Rasulullah sementara Abu Jahal ingin menghabisinya
Harapan Quraisy untuk
berunding tidak terhenti dengan
jawaban dari beliau
Shallallâhu 'alaihi
wasallam karena jawaban tersebut tidak secara terus terang menolak atau menerima. Untuk itu, mereka berurun rembug
lalu berkumpul di depan ka’bah setelah terbenamnya matahari. Mereka mengirim utusan
untuk menemui Rasulullah dan mengajaknya bertemu disana.
Tatkala beliau datang
ke sana, mereka
kembali mengajukan tuntutan yang sama seperti yang diajukan
oleh ‘Utbah. Disini beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menjelaskan bahwa dirinya
tidak bisa melakukan hal itu sebab
beliau sebagai Rasul, hanyalah menyampaikan risalah Rabbnya; jika mereka menerima maka mereka akan beruntung dunia dan akhirat
dan jika tidak,
beliau akan bersabar
hingga Allah Yang akan memutuskannya.
Mereka meminta beliau untuk membuktikan dengan
beberapa tanda, diantaranya; agar beliau memohon kepada Rabbnya membuat
gunung-gunung bergeser dari mereka, membentangkan negeri-negeri buat mereka, mengalirkan sungai-sungai serta menghidupkan orang-orang yang telah mati
hingga mereka mau mempercayainya. Namun beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menjawabnya seperti jawaban
sebelumnya.
Mereka juga meminta
beliau agar memohon
kepada Rabbnya untuk
mengutus seorang raja yang
mereka percayai dan menyediakan taman-taman, harta terpendam serta
istana yang terbuat dari emas dan perak untuknya
namun beliau tetap
menjawab seperti jawaban sebelumnya.
Bahkan mereka meminta beliau agar Rabb mendatangkan
azab, yaitu menjatuhkan langit atas
mereka menjadi berkeping-keping. Beliau menjawab:
“hal itu semua merupakan kehendak Allah; jika Dia berkehendak maka Dia akan menjatuhkannya”.
Menanggapi jawaban itu mereka malah menantang dan
mengancam beliau. Akhirnya beliau
pulang dengan hati yang teriris sedih.
Tatkala
Rasulullah berlalu, Abu
Jahal dengan sombongnya berkata kepada kaum
Quraisy: “wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya Muhammad sebagaimana yang telah kalian
saksikan,
hanya ingin mencela
agama dan nenek
moyang kita, membuyarkan angan-angan serta
mencaci tuhan-tuhan kita.
Sungguh aku berjanji atas nama Allah untuk
duduk didekatnya dengan
membawa batu besar yang mampu aku angkat dan akan aku hempaskan ke kepalanya
saat dia sedang
sujud dalam shalatnya. Maka saat itu, kalian hanya memiliki dua pilihan; membiarkanku atau
mencegahku. Dan setelah
hal itu terjadi, maka
Banu ‘Abdi Muththalib
bisa berbuat apa saja yang mereka mau”.
Mereka menjawab: “demi Allah!
kami tidak akan
pernah membiarkanmu untuk melakukan sesuatupun. Pergilah kemana yang engkau
mau”.
Ketika paginya, Abu Jahal rupanya benar-benar
mengambil batu besar sebagaimana yang dia katakan, kemudian duduk sambil
menunggu kedatangan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Rasulullah pun
datang dan melakukan seperti yang biasa beliau lakukan. Beliau berdiri
lalu melakukan shalat
sedangkan kaum Quraisy
juga sudah datang
dan duduk di perkumpulan mereka sembari
menunggu apa yang
akan dilakukan oleh
Abu Jahal.
Manakala Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sedang
sujud, Abu Jahal
pun mengangkat batu tersebut kemudian berjalan menuju ke
arah beliau hingga jaraknya sangat dekat sekali akan tetapi anehnya dia justru
berbalik mundur, merasa ciut, wajahnya pasi dan dirundung ketakutan. Kedua tangannya sudah
tidak mampu lagi
menahan beratnya batu hingga dia melemparnya. Menyaksikan kejadian itu,
para pemuka Quraisy segera menyongsongnya sembari bertanya:
“ada apa denganmu wahai Abu al-Hakam?”.
“aku sudah berdiri menuju
ke arahnya untuk
melakukan apa yang
telah kukatakan semalam,
namun ketika aku mendekatinya seakan
ada onta jantan
yang menghalangiku. Demi Allah! aku tidak pernah sama sekali
melihat sesuatu yang menakutkan seperti rupanya, juga seperti
punuk ataupun taringnya. Binatang itu ingin
memangsaku”, Katanya.
Ibnu Ishaq berkata: “disebutkan
kepadaku bahwa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘itu adalah
Jibril 'alaihissalaam ; andai dia (Abu Jahal-red) mendekat pasti akan disambarnya”.
Negosiasi dan Kompromi
Manakala kaum Quraisy
gagal berunding dengan
cara merayu, mengiming-iming serta mengultimatum, demikian juga, Abu Jahal gagal
melampiaskan kedunguan dan niat jahatnya untuk menghabisi beliau; mereka seakan tersadar untuk
merealisasikan keinginan lainnya dengan
cara mencapai jalan
tengah yang kiranya
dapat menyelamatkan mereka.
Mereka sebenarnya, tidak menyatakan secara tegas bahwa Nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam berjalan diatas
kebathilan akan tetapi
kondisi mereka hanyalah –sebagaimana disifatkan dalam firmanNya- “sesungguhnya mereka (orang-orang kafir)
dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap al-Qur’an”
(Q.S.11/ Hûd: 110). Karenanya mereka melihat perlunya mengupayakan negosiasi
dengan beliau dalam masalah agama. Di pertengahan jalan, mereka bertemu dengan beliau dengan
menyatakan bahwa mereka akan meninggalkan sebagian urusan agama yang
pernah mereka lakukan,
lalu mereka juga menuntut Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam melakukan hal yang sama.
Mereka mengira bahwa dengan
cara kali ini mereka akan
melakukan hal yang
benar, jika memang
apa yang diajak oleh Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam itu adalah
benar.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya, dia berkata: “al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad bin ‘Abdul
‘Uzza, al-Walîd bin al-Mughîrah, Umayyah
bin Khalaf serta
al-‘Âsh bin Wâil as-Sahmiy (mereka ini merupakan orang-orang berpengaruh di tengah kaum
mereka) menghadang Rasulullah yang tengah melakukan thawaf di Ka’bah
sembari berkata:
“wahai Muhammad! mari kami menyembah apa yang engkau
sembah dan engkau
juga menyembah apa yang
kami sembah sehingga
kami dan engkau
dapat berkongsi dalam menjalankan urusan ini; jika yang
engkau sembah itu lebih
baik dari apa yang kami sembah, maka berarti
kami telah mengambil bagian kami darinya,
demikian pula jika
apa yang kami sembah
lebih baik dari
apa yang engkau
sembah, maka berarti
engkau telah mendapatkan
bagianmu darinya”. Lalu Allah menurunkan tentang
mereka surat al- Kâfirûn semuanya.
‘Abd bin Humaid
dan selainnya dari
Ibnu ‘Abbâs bahwasanya orang-orang Quraisy
berkata:”andaikata engkau usap tuhan-tuhan kami, niscaya kami akan
menyembah tuhanmu”. Lalu turunlah surat al-Kâfirûn
semuanya.
Ibnu Jarîr dan
selainnya mengeluarkan darinya
juga (Ibnu ‘Abbâs-red) bahwasanya orang- orang Quraisy berkata kepada Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam : “engkau menyembah tuhan kami
selama setahun dan
kami menyembah tuhanmu
selama setahun juga”. Lalu Allah
Ta’ala menurunkan firmanNya: “Katakanlah: ‘maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang
tidak berpengetahuan?’ “. (Q.S.39/ az-Zumar: 64)
Manakala Allah Ta’ala telah memberikan putusan final
terhadap perundingan yang menggelikan tersebut dengan pembandingan yang tegas,
orang-orang Quraisy tidak berputus asa dan berhenti hingga
disitu bahkan semakin
mengendurkan daya kompromi mereka asalkan Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mau
mengadakan beberapa evaluasi terhadap petunjuk-petunjuk yang dibawanya dari
Allah, mereka berkata (dalam firmanNya) : “datangkanlah al -Qur’an yang
lain dari ini atau gantilah dia”. (Q.S.10/ Yunus: 15).
Lantas Allah Ta’ala
juga memotong cara
seperti ini dengan menurunkan ayat berikutnya sebagai bantahan Nabi terhadap mereka, beliau berkata (dalam
firmanNya):”katakanlah: ‘tidaklah tidak patut bagiku menggantinya dari pihak
diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku
kepada siksa hari
yang besar (kiamat)”. (Q.S.10/
Yunus: 15).
Allah Ta’ala juga
mengingatkan akan besarnya
bahaya melakukan hal tersebut, dengan firmanNya: “Dan sesungguhnya mereka hampir mamalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar
kamu membuat yang
lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah
begitu tentulah mereka
mengambil kamu jadi sahabat yang
setia.[73].
Dan kalau Kami
tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir
-hampir condong sedikit
kepada mereka.[74]. kalau
terjadi demikian, benar-benarlah, Kami akan
rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia
ini dan begitu
(pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak
akan mendapat seorang
penolongpun terhadap Kami[75]”. (Q.S. 17/ al -Isra’: 73-75).
Kaum Quraisy bingung
dan berpikir keras
serta upaya mereka
menghubungi orang-orang Yahudi Setelah semua perundingan, negosiasi dan kompromi
yang diajukan oleh kaum Musyrikun mengalami kegagalan, jalan-jalan yang
ada dihadapan mereka
seakan gelap gulita. Mereka
bingung apa yang harus dilakukan hingga salah seorang dari syaithan mereka berdiri
tegak, yaitu an-Nadlar bin al-Hârits sembari
menasehati mereka: “wahai kaum Quraisy! Demi Allah!
sungguh urusan yang
kalian hadapi saat
ini tidak ada lagi jalan keluarnya. Ketika masih kecilnya,
Muhammad adalah orang yang paling
kalian ridlai, paling kalian benarkan
ucapannya, paling kalian
agungkan amanatnya hingga
akhirnya sekarang kalian melihat
uban tumbuh di kedua alisnya
dan membawa apa yang dibawanya kepada kalian. Kalian pernah
mengatakan bahwa dia adalah tukang
sihir. Demi Allah! “Dia bukanlah seorang Tukang sihir.
Kita telah melihat para
tukang sihir dan
jenis -jenis sihir mereka
sedangkan yang dikatakannya bukanlah jenis nafts (hembusan) ataupun ‘uqad (buhul-buhul) mereka. Lalu kalian
katakan dia adalah
seorang dukun. Demi
Allah! dia bukanlah seorang
dukun. Kita telah melihat
bagaimana kondisi para
dukun sedangkan yang
dikatakannya bukan seperti komat-kamit ataupun sajak (mantera-mantera) para dukun. Lalu kalian
katakan lagi bahwa
dia adalah seorang
penyair. Demi Allah!
“Dia bukan seorang Penya’ir. Kita telah
mengenal semua bentuk
sya’ir; rajaz, hazaj,
qaridh, maqbudh dan mabsuth-nya sedangkan yang dikatakannya bukanlah sya’ir. Lalu
kalian katakan bahwa dia adalah seorang
yang gila. Demi
Allah! dia bukan seorang
yang gila.
Kita telah mengetahui esensi
gila dan telah
mengenalnya sedangkan yang
dikatakannya bukan dalam kategori ketercekikan, kerasukan ataupun
was-was sebagaimana kondisi kegilaan
tersebut. wahai kaum Quraisy! Perhatikanlah urusan kalian, demi Allah! sesungguhnya kalian telah menghadapi masalah
yang besar”.
Ketika itulah kaum
Quraisy memutuskan untuk
menghubungi orang-orang
Yahudi sambil memastikan kelanjutan dari perihal Muhammad
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Maka mereka tunjuklah an-Nadlar bin al-Hârits untuk pergi
menemui orang-orang Yahudi di Madinah bersama
dua orang lainnya.
Ketika mereka tiba
di tempat mereka,
para pemuka agama Yahudi (Ahbâr)
berkata kepada mereka:
“Tanyakan kepadanya (Muhammad-red) tiga hal, jika
dia memberitahukannya maka
dialah Nabi yang diutus
itu, dan jika tidak maka dia hanyalah
orang yang ngelantur bicaranya.Yaitu, tanyakan kepadanya tentang sekolompok pemuda
yang sudah meninggal pada masa
lampau pertama, bagaimana kisah mereka? Karena sesungguhnya cerita tentang mereka amatlah mengagumkan. Juga tanyakan kepadanya tentang seorang laki-laki pengelana yang
menjelajahi dunia hingga
ke belahan timur
bumi dan belahan
baratnya, bagaimana kisahnya?. Terakhir, tanyakan kepadanya tentang apa itu ruh?”.
Setibanya di Mekkah,
an-Nadlar bin al-Hârits berkata: “kami datang
kepada kalian berkat apa yang terjadi antara
kami dan Muhammad”. Lalu dia memberitahukan mereka perihal apa yang
dikatakan oleh orang-orang Yahudi. Setelah itu, orang-orang Quraisy
bertanya kepada Rasulullah tentang
tiga hal tersebut, maka setelah beberapa
hari turunlah surat
al - Kahfi yang didalamnya terdapat kisah sekelompok pemuda tersebut,
yakni Ashhâbul Kahfi dan
kisah seorang laki-laki pengelana, yakni Dzul Qarnain. Demikian pula, turunlah jawaban tentang ruh dalam surat
al-Isra’. Ketika itu, jelaslah bagi kaum Quraisy bahwa beliau Shallallâhu
'alaihi wasallam berada dalam kebenaran namun orang-orang yang zhalim tidak berkenan
selain terhadap kekufuran.
Sikap Abu Thalib dan Keluarganya
Demikianlah tindakan kaum Musyrikun secara umum,
sedangkan Abu Thalib secara khusus menghadapi tuntutan kaum Quraisy agar menyerahkan Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam kepada
mereka untuk dibunuh.
Abu Thalib mengamati gerak-gerik dan ` kasak- kusuk mereka dan mencium
keinginan kuat mereka
untuk benar-benar menghabisi beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sebagaimana yang dilakukan
oleh ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, ‘Umar
bin al-Khaththab (sebelum Islam-red) dan
Abu Jahal. Akhirnya, dia mengumpulkan seluruh
keluarga Bani Hasyim
dan Bani al-Muththalib dan menghimbau mereka agar menjaga
Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam . Mereka
semua memenuhi imbauan itu,
baik yang sudah
masuk Islam maupun
yang masih kafir
sebagai bentuk fanatisme Arab. Mereka berikrar dan mengikat
janji di Ka’bah sel ain saudaranya, Abu Lahab yang memilih
untuk menentang mereka
dan berada di pihak kaum Quraisy.
LIHAT SAMBUNGAN SIRAH NABAWIYAH DI LINK DI BAWAH INI :
No comments:
Post a Comment