SIRAH
NABAWIYAH ( 09 C )
Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
BERDAKWAH SECARA TERANG -TERANGAN
(DAKWAH JAHRIYYAH)
Hijrah Pertama menuju negeri Habasyah
Penindasan yang terjadi,
pada permulaannya - yakni pada pertengahan atau
akhir tahun ke-4 dari
kenabian - adalah
tidak seberapa, namun
kemudian dari hari demi hari
bahkan bulan demi bulan berubah menjadi lebih sadis dan mengkhawatirkan,
terutama pada pertengahan tahun ke-5
sehingga tiada tempat
lagi bagi mereka
di Mekkah dan
memaksa mereka untuk memikirkan siasat lolos dari
siksaan-siksaan tersebut. Dalam
kondisi yang seperti inilah, turun surat az-Zumar yang
mengisyaratkan perlunya berhijrah dan mengumumkan bahwa bumi Allah tidaklah
sempit, dalam firmanNya: "…orang -orang yang berbuat baik
di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah
i tu adalah luas.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala
mereka tanpa batas". (Q.S.39/ az -Zumar:
10). Rasulullah telah
mengetahui bahwa Ash-himah an- Najasyi, raja Habasyah adalah
seorang yang adil,
tidak seorangpun yang
berada disisinya terzhalimi; oleh
karena itu, beliau
memerintahkan kaum Muslimin agar berhijrah ke sana
guna menyelamatkan agama mereka dari fitnah.
Rombongan pertama yang membawa para shahabat
bergerak pada bulan Rajab tahun ke- 5 dari kenabian. Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang
wanita, dikepalai oleh 'Utsman bin 'Affan yang ditemani oleh Ruqayyah binti
Rasulillah Shallallâhu 'alaihi
wasallam. Rasulullah menyifati keduanya sebagai "keluarga pertama yang berhijrah di jalan Allah setelah Nabi
Ibrahim dan Luth 'alaihimassalaam".
Kepergian mereka dilakukan dengan mengendap-endap
pada malam yang gelap-gulita – agar tidak
diketahui oleh kaum
Quraisy- menuju laut
kemudian mengarah ke pelabuhan
rakyat. Ternyata, takdir
mereka sejalan dan
seiring dengan itu dimana
ketika itu ada dua
buah kapal dagang yang akan berlayar menuju Habasyah dan merekapun ikut serta
bersamanya. Kaum Quraisy akhirnya
mengetahui hal itu,
lalu menelusuri jejak
perjalanan kaum muslimin akan tetapi tatkala mereka baru sampai di tepi
pantai, kaum muslimin telah bergerak
dengan aman. Akhirnya, kaum muslimin menetap
di Habasyah dan mendapatkan sebaik-baik pelayanan.
Kisah sujudnya kaum Musyrikin dan kembalinya kaum muslimin
yang berhijrah
Pada bulan Ramadhan di tahun yang
sama, Rasulullah pergi
ke mesjid al-Haram. Ketika itu, sekumpulan besar
kaum Quraisy tengah
berada disana; terdapat para pemuka dan tokoh-tokoh mereka. Beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam
kemudian berdiri di tengah
mereka sembari melantunkan surat
an-Najm tanpa sepengetahuan mereka alias secara tiba-tiba. Orang-orang kafir
tersebut sebelumnya, tidak pernah mendengarkan secara langsung Kalamullah,
karena program yang mereka lancarkan secara kontinyu adalah melakukan apa yang telah saling diingatkan
oleh sebagian mereka terhadap sebagian yang lain yang bunyinya
sebagaimana dalam firmanNya: "…janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan
al-Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya supaya
kamu dapat mengalahkan (mereka)". (Q.S.41/
Fushshilat: 26). Maka,
mana kala lantunan surat tersebut menyergap mereka
secara tiba-tiba dan
Kalam Ilahi yang
demikian indah menawan – yang tidak dapat diungkapkan
dengan kata-kata akan keagungan dan keindah- menawanannya- mengetuk telinga
mereka; mereka seakan mengesampingkan semua apa yang tengah dilakukan dan masing-masing
terkonsentrasi untuk mendengarkannya sehingga
tidak ada yang
terlintas di hatinya
selain lantunan itu.
Lalu sampailah beliau
pada akhir surat ini; ketukan yang
membawa hati seakan
terbang melayang, beliau
membaca firmanNya :"…maka bersujudlah kepada Allah
dan sembahlah Dia". (Q.S.53/ an -Najm: 62), kemudian
beliau sujud. Melihat
pemandangan itu, tak seorangpun dari mereka yang dapat menahan dirinya untuk
tidak sujud, sehingga
merekapun sujud bersama
beliau.
Sebenarnya, keindah-menawanan al-Haq telah
meluluhlantakkan kebatuan yang meliputi jiwa-jiwa kaum yang takabbur dan suka mengejek; mereka semua tak sanggup
menahannya bahkan jatuh bersujud kepada Allah.
Mereka linglung dan tak tahu harus berbuat
apa, manakala keagungan Kalamullah telah mempelintir kendali yang selama ini mereka
pegang sehingga membuat mereka melakukan sesuatu
yang selama ini justru dengan
susah payah berusaha
mereka hapus dan lenyapkan. Kejadian tersebut
mendapatkan kecaman dari teman-teman mereka
yang tidak sempat hadir
ketika itu. Dengan
begitu, mereka merasa
inilah pula momen
bagi mereka untuk mendustakan Rasulullah dan mencemarkan nama baik beliau
dengan membalikkan fakta
yang sebenarnya; yaitu, bahwa yang terjadi sebenarnya, justru beliau-lah yang berbuat demikian terhadap berhala mereka. Mereka
mengatakan bahwa kisah itu hanyalah " itulah al-Gharaniiq yang Mulia, yang syafa'atnya selalu
diminta ".
Isu bohong ini mereka gembar-gemborkan agar dapat menjadi
alasan sujud mereka
bersama Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam ketika itu.
Tentunya, respons semacam ini tidak begitu mengherankan sekali sebab sumbernya adalah dari orang yang selama
ini pekerjaannya suka mengarang- ngarang dusta serta menghembuskan isu.
Berita tersebut (tentang sujudnya kaum Quraisy-red) sampai ke telinga kaum
muslimin yang berhijrah di Habasyah akan tetapi versi
beritanya sangat kontras dengan realitas yang
sebenarnya; yang
sampai kepada mereka
bahwa kaum Quraisy
telah masuk Islam.
Oleh karena itu, merekapun kembali
ke Mekkah pada
bulan Syawwal di tahun yang
sama, namun ketika
mereka berada di tempat yang
tidak berapa jauh
dari Mekkah, yaitu
sesaat di waktu siang
lalu mereka akhirnya mengetahui duduk persoalannya; sebagian mereka ada yang
kembali lagi ke Habasyah sedangkan sebagian yang lain
ada yang memasuki Mekkah secara diam-diam atau
berlindung di bawah
suaka seseorang dari suku Quraisy.
Hijrah
Kedua ke negeri Habasyah
Setelah peristiwa tersebut, kaum Quraisy meningkatkan frekuensi penindasan dan penyiksaan terhadap mereka
dan kaum muslimin secara umum, tak luput suku
mereka sendiri memperlakukan hal yang hampir
sama. Meskipun demikian, kaum Quraisy merasa gerah dengan berita yang
mereka dapatkan bahwa
an-Najasyi adalah seorang
raja yang memperlakukan tamunya
dengan baik. Disamping itu, Rasulullah juga
telah memberikan isyarat bolehnya para shahabat berhijrah kembali ke negeri
Habasyah. Perjalanan hijrah kali ini dirasakan amat
sulit dari perjalanan sebelumnya mengingat kaum
Quraisy sudah mengantisipasinya dan bertekad untuk
menggagalkannya. Akan tetapi, Allah memudahkan perjalanan kaum muslimin sehingga mereka bergerak lebih cepat
dan menuju kepada suaka
an-Najasyi, raja Habasyah
sebelum kaum Quraisy
menciumnya.
Hijrah kali ini membawa rombongan
yang terdiri dari 83 orang laki-laki - dalam hal ini,
riwayat yang menyatakan keikutsertaan 'Ammar
bin Yasir dalam
rombongan ini masih diragukan kevalidannya - dan 18 atau 19 orang wanita.
Trik kaum Quraisy untuk memperdaya kaum muslimin yang
berhijrah ke Habasyah
Kaum musyrikin tidak
pernah merasa senang
bila kaum muhajirin tersebut mendapatkan
keamanan bagi diri
dan dien mereka.
Untuk itulah, mereka
mengutus dua orang
pilihan yang dikenal
sebagai orang telah
yang teruji lagi
cerdik, yaitu 'Amru
bin al -'Ash dan 'Abdulullah bin Abi Rabi'ah – sebelum keduanya masuk Islam -. Keduanya membawa titipan hadiah yang menggiurkan dari pemuka
Quraisy untuk an-Najasyi dan para uskupnya. Kedua orang
ini mempersembahkan hadiah
kepada para uskup
terlebih dahulu sambil membekali mereka beberapa alasan
yang dengannya kaum muslimin dapat
diusir dari negerinya. Setelah
para uskup menyetujui untuk mengangkat permintaan keduanya tersebut
kepada an-Najasyi agar mengusir kaum muslimin, keduanya langsung berhadapan dengan sang raja, menyerahkan
beberapa buah hadiah kepadanya lalu berbicara dengannya. Keduanya berkata: "wahai tuan raja! Sesungguhnya
beberapa orang yang masih bau kencur memasuki negeri anda sebagai orang asing;
mereka meninggalkan agama kaum
mereka namun tidak
juga menganut agamamu
bahkan mereka membawa
agama baru yang
tidak kami ketahui,
demikian juga dengan
tuan. Kami disini,
adalah sebagai utusan kepadamu. Diantara orang yang mengutus kami
tersebut ada yang merupakan pemuka kaum mereka dari
nenek moyang, paman-paman serta suku mereka agar tuan mengembalikan para pendatang ini kepada mereka.
Tentunya, mereka lebih banyak memantau tindak tanduk
para pendatang tersebut dan polah mereka
mencela dan mencaci-maki mereka".
Para uskup serta
merta menimpali: "benar apa yang dikatakan oleh keduanya wahai
tuan raja! Serahkanlah
mereka kepada keduanya agar keduanya membawa mereka pulang ke kaum dan negeri mereka".
Akan tetapi an-Najasyi berpandangan bahwa masalah
ini perlu ada kejelasan dan mendengarkan dari
kedua belah pihak
sekaligus. Lalu dia
mengutus orang untuk
menemui kaum muslimin dan mengundang mereka untuk hadir. Merekapun
menghadirinya dan telah bersepakat akan mengatakan sejujur-jujurnya apa yang
telah terjadi. An-Najasyi berkata kepada mereka:"apa gerangan agama yang bisa memisahkan kalian dari kaum kalian dan tidak
membuat kalian masuk
ke dalam agamaku
atau agama-agama yang lain?".
Ja'far bin Abi Thalib sebagai
juru bicara kaum muslimin bertutur:"wahai tuan raja! Kami dahulunya adalah ahli Jahiliyyah;
menyembah berhala, memakan bangkai binatang, melakukan perbuatan keji, memutus
tali rahim, suka
mengusik tetangga. Kaum yang kuat diantara kami menindas kaum yang lemah.
Demikianlah kondisi kami
ketika itu, hingga Allah mengutus kepada kami
seorang Rasul dari bangsa kami sendiri yang kami tahu persis nasab,
kejujuran, amanat serta
kesucian dirinya. Lalu dia mengajak
kami kepada Allah guna
mentauhidkan dan menyembahNya serta agar kami tidak lagi menyembah
batu dan berhala yang dulu
disembah oleh nenek
moyang kami. Beliau
memerintahkan kami agar berlaku
jujur dalam bicara,
melaksanakan amanat, menyambung tali rahim, berbuat baik
kepada tetangga dan menghindari pertumpahan darah. Dia melarang
kami melakukan perbuatan yang keji, berbicara ngibul, memakan harta
anak yatim serta menuduh wanita yang
suci melakukan zina tanpa bukti.
Beliau memerintahkan kami
agar menyembah Allah
semata, tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, memerintahkan kami agar melakukan shalat, membayar zakat,
berpuasa, (….selanjutnya Ja'far menyebutkan
hal-hal lainnya) … lalu kami
membenarkan hal itu semua dan beriman
kepadanya. Kami
ikuti ajaran yang
dibawanya dari Allah
; kami sembah Allah semata
dan tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatupun, apa yang diharamkannya atas kami adalah haram menurut kami
dan dan apa yang dihalalkannya adalah halal menurut
kami.
Lantaran itu, kaum
kami malah memusuhi kami, menyiksa, merayu
agar keluar dari
agama yang memerintahkan
kami beribadah kepada Allah, dan mengajak kami kembali menyembah berhala-berhala, menghalalkan kami melakukan perbuatan-perbuatan keji yang dahulu pernah kami
lakukan. Nah, manakala mereka memaksa kami,
menganiaya, mempersempit ruang gerak
serta menghalangi agar
kami tidak dapat
melakukan ritual agama, kami akhirnya
menempuh jalan melarikan diri menuju negeri
tuan. Kami lebih memilih tuan daripada selain
tuan dan lebih
suka berada dibawah
suaka tuan. Ini semua dengan harapan agar kami tidak
terzhalimi disisimu, wahai
tuan raja!".
An-Najasyi bertanya: "apakah ada sesuatu yang
dibawanya dari Allah
bersama kalian?". Ja'far menjawab: "ya! Ada". An-Najasyi bertanya lagi: "tolong bacakan kepadaku!". Lalu dia
membacakan permulaan surat
Maryam, firmanNya: "Kâf -hâ-yâ-'aîn-shâd". Manakala mendengar lantunan ayat
tersebut, demi Allah!
(ucapan ini sebenarnya berasal dari penutur
kisah ini, yaitu
Ummu Salamah yang
menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri peristiwa ini-red)
sang rajapun menangis
hingga air matanya
membasahi jenggotnya.
Demikian pula dengan para uskupnya hingga air mata
mereka membasahi mushhaf- mushhaf (lembaran-lembaran-red) yang berada di tangan mereka.
Kemudian an-Najasyi berkata kepada mereka:"sesungguhnya ini
dan apa yang dibawa oleh 'Isa adalah bersumber dari satu lentera". Lalu kepada kedua utusan Quraisy dia
berkata:"pergilah kalian berdua, demi
Allah, sekali-kali tidak
akan aku serahkan mereka kepada kalian
dan tidak akan hal itu terjadi". Keduanya pun keluar
namun 'Amru bin al -'Ash
sempat berkata kepada 'Abdullah bin Rabi'ah: "demi Allah! sungguh akan
aku datangi lagi dia besok
pagi untuk membicarakan perihal mereka dan
akan aku habisi mereka (argumentasi kaum muslimin-red) sebagaimana aku menghabisi ladang
mereka". 'Abdullah bin Rabi'ah
berkata: "jangan kamu lakukan
itu! Sesungguhnya mereka
itu masih memiliki
hubungan tali rahim dengan
kita sekalipun mereka
menentang kita". Akan tetapi 'Amru
tetap ngotot dengan tekadnya.
Benar saja, keesokan harinya dia mendatangi an-Najasyi dan berkata
kepadanya:"wahai tuan raja! Sesungguhnya mereka itu mengatakan
suatu perkataan yang sangat serius terhadap 'Isa bin Maryam". An-Najasyi pun mengirim utusan
kepada kaum muslimin untuk mempertanyakan perihal perkataan terhadap 'Isa
al -Masih tersebut. Mereka sempat kaget menyikapi hal itu, namun
akhirnya tetap bersepakat untuk berkata dengan
sejujur- jujurnya apapun
yang terjadi. Ketika
mereka datang di hadapan
sang raja dan dia bertanya kepada mereka tentang hal itu, Ja'far
berkata kepadanya:"kami mengatakan tentangnya sebagaimana yang dibawa
oleh Nabi kami Shallallâhu 'alaihi
wasallam : 'dia
adalah hamba Allah, Rasul-Nya, ruh-Nya dan kalimat-Nya
yang disampaikan kepada Maryam, si perawan yang ahli ibadah".
An-Najasyi kemudian memungut
sebatang ranting pohon
dari tanah seraya
berujar:"demi Allah! apa yang
kamu ungkapkan itu tidak melangkahi 'Isa bin Maryam
meski seukuran ranting ini". Mendengar itu, para uskup
mendengus, dan dengusan itu angsung ditimpalinya:'demi Allah!
sekalipun kalian mendengus".
Dia kemudian berkata
kepada kaum muslimin:"pergilah! Kalian
akan aman di negeriku.
Siapa saja yang mencela
kalian, maka dia akan celaka.
Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa
saja yang mencela
kalian, maka dia akan celaka.
Aku tidak akan menyakiti siapapun diantara kalian,
meski aku memiliki gunung emas" (perkataan itu diungkapkan
dalam bahasa Habasyah).
Kemudian an-Najasyi
berkata kepada para
pejabat istana: "Kembalikan hadiah -hadiah
tersebut kepada keduanya, karena aku tidak
memerlukannya. Demi Allah!
Dia Ta'ala tidak pernah mengambil sogokan dariku tatkala kerajaan ini
Dia kembalikan kepadaku, sehingga dengan
itu, aku patut
mengambilnya pula, dan
Dia juga tidak
membuat manusia patuh kepadaku sehingga aku harus patuh
pula kepada mereka
karena itu".
Ummu Salamah yang meriwayatkan kisah ini berkata:
"kemudian keduanya keluar dari hadapannya dengan raut muka yang kusam karena alasan yang dikemukakan
mental sama sekali. Setelah itu, kami menetap disisinya dengan penuh kenyamanan
bersama tetangga yang paling
baik".
Riwayat ini adalah versi Ibnu Ishaq, sedangkan
riwayat lainnya menyebutkan bahwa perutusan
'Amru bin al-'Ash
kepada an-Najasyi terjadi
setelah perang Badr.
Sebagian ahli sejarah menyinkronkan kedua versi riwayat
tersebut dengan menyatakan bahwa perutusan itu terjadi dua kali akan
tetapi tanya jawab-tanya jawab yang disebutkan terjadi antara an- Najasyi dan Ja'far dalam perutusan yang kedua kalinya
itu adalah hampir sama dengan
apa yang diriwayatkan
dalam versi Ibnu Ishaq. Selain itu, materi yang termuat dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan terjadinya proses murâfa'at (pembelaan, pendengaran di muka hakim
dalam istilah hukum-red) pertama yang diadukan kepada an- Najasyi.
LIHAT SAMBUNGAN SIRAH NABAWIYAH DI LINK DI BAWAH INI :
No comments:
Post a Comment