Sebelum kita membahas tentang
hubungan antara akal, wahyu dan nafsu, ada baiknya mengetahui pengertian
daripada akal, wahyu dan nafsu.
Akal secara bahasa merupakan kata
yang berasal dari bahasa Arab, ‘Aqala yang berarti mengikat dan menahan.
Namun, kata akal sebagai kata benda (mashdar) dari “aqala tidak terdapat dalam
al-Quran, akan tetapi kata akal sendiri terdapat dalam bentuk lain yaitu kata
kerja.
Dalam kamus Arab kata
Aqaladiartikan menigkat dan menahan. Maka tali pengikat serban yang dipakai di
Arab Saudi memiliki warna beragam yakni hitam dan terkadang emas, disebut
‘iqal. Dan menahan orang di dalam penjara disebut ‘itaqala dan tahanan mu’taqal.[1]
Adapun secara istilah akal
memiliki arti daya berpikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan salah
satu daa dari jiwa serta mengandung arti berpikir. Bagi al ghazali akal
memiliki beberapa pengetian : pertama, sebagai potensi yang membedakan manusia
dari binatang dan menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan
teoritis. Kedua, pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman yang dilaluinya dan akan
memperhalus budinya. Ketiga, akal merupakan kekuatan instink yang menjadikan
seseorang mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya sehingga dapat
mengendalikan hawa nafsunya.[2]
Sedangkan pengertian wahyu, wahyu
berasal dari bahasa Arab yaitu al Wahy yang berarti suara, api dan
kecepatan, serta dapat juga berarti bisikan isyarat, tulisan dan kitab. Tetapi
wahyu disini berarti sesuatu yang disampaikan Allah kepada para utusan-Nya[3]
Sedangkan pengertian Nafsu,
penggunaan kata nafsu dalam al Quran ialah Nafs jamak dari kata anfus, yang
berarti jiwa, pribadi, diri, hidup, pikiran. Dalam al Quran disebutkan dalam
surat Yusuf :
(53. dan aku tidak membebaskan
diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku
Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.)
Jadi pengertian nafsu bisa dikatakan jiwa, jadi antara nafsu dan jiwa
mempunyai arti yang sama. Dimana jiwa memiliki jaminan bahwa yang diusahakan
seseorang akan memberi pengaruh terhadap jiwa seseorang.
Al Ghazali berpendapat dalam hal ini, jiwa adalah suatu zat (jauhar) dan
bukan keadaan atau aksiden (‘ardh) sehingga ia ada pada diri sendiri. Jasadlah
yang adanya bergantung pada jiwa dan bukan sebaliknya. Jiwa berada dengan jasad
dalam hal yang lain, jiwa berada di alam sepiritual sedang jasad dialam materi.[4]
Jadi dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa : akal
berfungsi untuk berpikir, wahyu untuk mengarahkan, nafsu merupakan bentuk
keinginan dari jiwa. Dari ketiga fungsi ini mempunyai keterikatan
masing-masing, manusia dengan daya pikir yang dihasilkan dari akalnya serta dorongan
nafsu yang ia miliki kadang malah menjadikan manusia semakin ekstrim dalam
kehidupan dunia ini, susah terkendali, brutal dalam perbuatan, inginnya menang
sendiri, namun wahyu sebagai media yang diberikan Allah kepada manusia mampu
mengantarkannya kepada sikap hanif, bijaksana, damai dalam mengekpresikan buah
pikirnya serta mampu mengendalikan nafsu kepada jalan yang di ridhai.
[1]
Mahmud Yunus, kamus Bahasa Arab (Jakarta: serambi, 1992) h 25
[2]
Quraish Shihab, Logika agama, (Jakarta: Lentera Hati, 2001)h 87.
[3]
Harun Nasution, Akal dan wahyu dalam Islam, (Jakarta : UI Press, 1986) h. 15
[4] M Abdul Quasem, Etika al Ghazali
Etika Majemuk di dalam Islam, Pustaka, bandung, 1988. Hal
No comments:
Post a Comment