TauKahAnda

TaukahAnda bertujuan untuk menjangkau informasi yang anda butuhkan dalam segala aspek pengetahuan

Sponsor

Tuesday, October 30, 2018

Biografi Syaikh Mutawali asy Sya’rawi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Syaikh Mutawali asy Sya’rawi merupakan salah satu ulama yang dikarunia Allah SWT suatu  bahtera ilmu sehingga di abad 20 tampaknya tidak terlalu berlebihan kalau gelar Mujaddid kita sandangkan kepada beliau.

Kepribadian yang gigih dalam menuntut ilmu membawa beliau menjadi seorang ilmuan Islam yang terkemuka di kalangan ulama, kecintaan beliau kepada syair-syair Arab tidak hanya menjadikan beliau berkutat dalam ranah ke syairan bahkan beliau menjadi seorang pakar mufassirin, bahkan bahasa yang beliau uraikan bukan hanya mudah dipahami di dalam kontekstual tetapi ritorika beliau dalam berbicarapun mampu menyentuh seluruh hati ummat Muslim bahkan non Muslimpun menghargai sikap beliau dalam berbagai hal, dengan kemampuan yang beliau miliki maka kebanyakan ulama memberikan laqab kepada beliau dengan gelar imam ad du’ah ( إمام الدعاة )  

Dari latar belakang inilah penulis tergugah untuk menulis perihal tentang sosok ulama yang di nobatkan sebagai Imam ad Du’ah ini, semoga dari tulisan ini bisa menggugah para pembaca dalam meneladani beliau baik dalam ranah kehidupan, pendidikan, keagamaan, politik, dll.

1.2  Rumusan Masalah

Diantara rumusan masalah yang ingin penulis uraikan ialah ;
a.       Bagaimana biografi Syaikh Mutawali Sya’rawi..?
b.      Apa saja karya-karya yang dicetus oleh Syaikh Mutawali Sya’rawi..?



1.3  Tujuan Masalah

Tujuan masalah yang ingin dicapai ialah
a.       Untuk mengetahui biografi Syaikh Mutawali Sya’rawi.
b.      Untuk mengetahui karya-karya yang dicetus oleh Syaikh Mutawali Sya’rawi.


 BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Biografi Syaikh Mutawali Sya’rawi

Nama lengkap Syaikh Sya’rawi adalah Syeikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi al-Husaini. Syaikh Mutawali asy Sya’rawi hidup di abad 20 M, beliau dilahirkan di desa  Daqadus[1], Distrik Mith Ghamr, Provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir, tanggal 15 April 1911 M. di dalam kamus al Jugrafi li al bilad al misriyyah menyebutkan bahwa desa Daqadus merupakan desa agraris yang sangat besar dan selalu ramai dikunjungi pada hari pasar yaitu hari rabu.[2]

Desa Daqadus terletak di tengah-tengah Delta, desa ini terkenal dengan desa agraris, penghasilan utama dari sector pertanian, sebagian penduduknya berproduksi kerajinan tangan, terkenal juga sebagai tempat pengobatan patah tulang.[3]

Beliau dilahirkan dari keluarga yang sederhana, garis keturunan beliau sampai kepada ahlul bait yaitu nasab imam Husain bin Ali كرم الله وجهه.[4]

Asy Sya’rawi wafat dan dimakamkan di desa Daqadus pada tanggal 22 Safar 1419 H / 17 juni 1998 M. beliau dianugrahi gelar “amin” oleh ayahnya yang gelar ini kemudian dikenal masyarakat di daerahnya.[5]

Pendidikan syaikh Sya’rawi sangat dipengaruhi oleh peranan orangtuanya yang selalu mengarahkan beliau kepada bidang keilmuan, pendidikan beliau secara tidak formal dimulai dari menghafal al quran dan menyetornya kepada syaikh ‘Abd al Majid Pasya dan selesai pada usia 11 tahun.

Sedangkan jenjang pendidikan syaikh. Sya’rawi secara formal dimulai di sekolah dasar al Azhar Zaqaziq pada tahun 1926 M. lalu beliau melanjutkan ke sekolah menengah di tempat yang sama hingga lulus pada tahun 1936 M. Kemudian beliau melanjutkan jenjang pendidikan ke Universitas al Azhar jurusan Bahasa Arab pada tahun 1937 M hingga tahun 1941 M. jenjang doktoral ditempuhnya pada tahun 1940 M dan memperoleh gelar ‘Alamiyyat (Lc) di bidang bahasa dan sastra Arab. Kemudian beliau melanjutkan studi ke Dirasah ‘Ulya dimana ia mempelajari berbagai ilmu tentang kependidikan. Pada tahun 1943 M ia lulus dengan memperoleh gelar ‘Alamiyat di bidang kependidikan dan menerima surat pengangkatan sebagai guru.[6]

Semasa hidupnya asy Sya’rawi acapkali memangku berbagai jabatan. Pada awal mula karirnya sebagai guru di sekolah al Azhar Tanta, kemudian beliau dimutasi ke Iskandariyah dan Zaqaziq di institusi yang sama. Karirnya mulai menanjak saat ia diangkat sebagai dosen Sembilan tahun lamanya di jurusan Tafsir Hadis di Fakultas Syariah Universitas al Malik ‘Abd al “aziz di Mekkah pada tahun 1951 M. kemudian ia diangkat sebagai wakil kepala sekolah al Azhar di Tanta pada tahun 1960 M. setahun kemudian ia diangkat sebagai direktur dalam bidang engembangan dakwah Islam pada Departemen Waqaf. Lalu pada tahun berikutnya, beliau menjadi pengawas pengembangan bahasa Arab di al Azhar. Lalu pada tahun 1964 M, beliau di tunjuk sebagai asisten pribadi Grand Syaikh Hasan Makmun. Dua tahun kemudian, ia mengikuti program ekspedisi al Azhar ke al Jazair paska kemerdekaannya. Setahun kemudian, ia kembali lagi ke Kairo dan bekerja sebagai Direktur Kantor Gran Syaikh Hasan Makmun. Pada tahun 1970 M ia menjadi dosen tamu di Universitas al Malik ‘Abd al ‘Aziz Mekkah dan diangkat sebagai rektor program pascasarjananya.[7]

Asy Sy’rawi muncul sebagai da’i terkemuka pada awal mulanya berangkat dari tawaran sebagai pengisi acara Nur ‘ala Nur di sebuah stasiun televisi pada tahun 1973 M. sejak saat itu masyarakat Mesir mulai mengenalnya dan senantiasa melihat serta mendengarkan ceramah keagamaan dan penafsirannya terhadap al Quran selama kurang lebih 25 tahun.[8]

Asy Sy’rawi terjun ke birokrasi pemerintahan dimulai pada tahun 1976 M, saat ia diangkat sebagai Menteri Wakaf oleh pimpinan Kabinet Mamduh Salim. Setahun kemudian, beliau ditunjuk kembali pada jabatan yang sama sekaligus merangkap sebagai Menteri Negara yang berkaitan erat dengan al Azhar oleh Mamduh Salim tepatnya pada tanggal 26 Oktober 1977 M. setahun kemudian tepatnya pada tanggal 15 Oktober1978 M, ia diberhentikan secara hormat dari formatur cabinet yang dibentuk oleh Musthafa Khalil. Beliau juga pernah ditunjuk sebagai salah satu pemrakarsa berdirinya sebuah universitas yaitu “al Syu’ub al Islamiyyah al ‘Arabiyyah” tetapi beliau menolak tawaran tersebut. Jabatan tinggi yang juga beliau tolak yaitu tatkala diangkat sebagai anggota MPR ( Majlis Permusyawaratan Rakyat ) pada tahun 1980 M.[9]

Berbagai penghargaan dan tanda jasa pernah disematkan kepada beliau diantaranya yaitu penghargaan dan lencana oleh presiden Husni Mubarak dalam bidang pengembangan ilmu dan budaya di tahun 1983 M saat acara peringatan hari lahir al Azhar yang ke 1000, lalu di tahun 1988 M ia memperoleh wisam al Jumhuriyyah, medali kenegaraan dari presiden Husni Mubarak di acara peringatan hari da’i. ia juga meraih gelar “guru besar” pada tahun 1990 M dari Universitas al Mansurah dalam bidang adab dan pada tahun 1998 M  beliau memperoleh gelar kehormatan sebagai al Syakhsyiyyah al Islamiyyah al Ula  yaitu Islam pertama di dunia Islam di Dubai serta mendapatkan penghargaan berupa uang dari putera mahkota al Nahyan, tetapi ia serahkan kepada al Azhar dan para pelajar yang berasal dari negara-negara Islam seluruh dunia.[10]

2.1.1 Guru-Guru Syaikh Sya’rawi

Diantara guru Syaikh Sya’rawi adalah sebagai berikut[11] :
a.       Syekh Mutawalli al-Sya’rawi (ayah al-Sya’rawi),
b.      Syekh Muhammad al-Sya’rawi (paman al-Sya’rawi),
c.       Sa’ad Zaghlul,
d.      Dr. Muhammad Abdul Mun’im Khafaji (Penyair Thahir Abu Fasya),
e.       Prof. Khalid Muhammad Khalid,
f.       Dr. Ahmad Haikal,
g.      Dr. Hassan Gad.

2.2  Karya-karya Syaikh Mutawali Sya’rawi

Sebelum kita menyebutkan karya-karya asy Sya’rawi, perlu penulis tegaskan terlebih dahulu, apakah syaikh asy Sya’rawi menulis sendiri karya-karyanya atau menggunakan dengan cara lain. Berikut keterangan tentang hal yang kita bicarakan.

Sebagai seorang ulama, pemikir, sekaligus akademisi, keberadaan akan sebuah karya ilmiah tentunya tidak luput dari sejarah kehidupan seseorang. Adapun karya ilmiah merupakan hal yang tidak dapat dinafikan tentunya. Namun, sosok asy Sya’rawi sedikit berbeda dengan kebanyakan para ulama pada umumnya dalam hal kepemilikan karya-karya ilmiah.

Asy Sya’rawi sendiri baik secara eksplisit maupun implisit menyatakan bahwa ia tidak menulis sendiri secara sepihak berbagai karangan ilmiah lainnya yang terdapat dan tersebar di berbagai belahan dunia saat ini. Beliau beranggapan bahwa kalimat atau ajaran yang disampaikan secara langsung dan diperdengarkan akan lebih mengena daripada kalimat yang disebarluaskan dengan perantara media tulisan, sebab manusia akan mampu mendengar dari narasumber yang asli tanpa dibatasi dengan sekat-sekat maupun batasan tertentu jika kalimat atau ujaran tersebut disampaikan dalam bentuk tulisan. Namun beliau dalam hal ini tidak menafikan kebolehan untuk menulis suatu karya ilmiah.

Hal ini dikuatkan dengan pernyataan beliau yang tertuang dalam kitab asy Syaikh Mutawalli asy Sya’rawi Imam al As’r :

“Aku belum pernah berkecimpung dalam kegiatan tulis menulis. Aku tidak menulis sepatah katapun, karena tulisan hanya diperuntukkan kepada satu komunitas saja yaitu komunitas pembaca. Beda halnya dengan lisan. Lisan merupakan perantara yang paling efisien, apakah aku harus menunggu seseorang untuk membacanya atau tidak. Lain halnya ketika aku berbicara dihadapan khalayak ramai. Aku bisa berdialog dengan semua audiens tanpa ada yang membatasi. Yang terpenting aku memperoleh pahala atas apa yang aku sampaikan. Adapun tulisan hanya metode penyampaian sepihak.[12]

Sedangkan mengenai kitab tafsir beliau merupakan manifestasi pembahasan-pembahasan beliau tatkala mengulas seputar permasalahan yang terdapat dalam al Quran (kecuali wawancara yang dicetak dalam buku). Hal senada diperkuat dengan komentar beliau sebagai berikut :

“Apabila sebagian distributor tergesa-gesa, mereka mengganti perkataanku dengan bahasa tulis, maka hal ini tidak terlepas dari faktor efisiensi waktu atau yang lain dan aku sangat berterima kasih atas tersebarluasnya pemikiranku. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan aku akan mengumpulkannya dalam sebuah buku sehingga aku dapat menganalisa, mengkaji ulang dan memahaminya secara detail. Hanya kepada Allah aku bersandar agar cita-citaku terkabulkan.[13]

Sementara itu asy Sya’rawi tidak memiliki tempat kusus untuk bekerja. Ruangannya hanya berisi sajadah dan al Quran disampingnya. Pemikiran-pemikiran yang beliau sampaikan dilakukan secara spontanitas dalam berbagai seminar atau pertemuan khusus. Ahmad Mutawalli asy Sya’rawi (anak bungsu beliau) berkata bahwa setelah meningalnya ayahanda, ia menemukan sebanyak 63 jumlah buku karangan ayahnya yang tersebar luas. Bahkan sebagian darinya menuai kritik atas kesalahan-kesalahan dalam ayat-ayat al Quran dan hadis-hadisnya.

Berdasarkan dari itu, asy Sya’rawi mengantisipasinya dengan cara membuat sebuah lembaga otoritas khusus untuk mengawasi dan berwenang atas karangan-karangan asy Sya’rawi yang bernama Majma’ asy Sya’rawi al Islami. Tugas Majma’(kumpulan) ini adalah menganalisa dan mengkaji ulang kitab-kitab asy Sya’rawi . lembaga ini terdiri atas kumpulan ulama dibawah naungan Syaikh Sami asy Sya’rawi. Selain itu pula menurutnya lembaga yang berhak menrbitkan karangan asy Sya’rawi adalah Akhbar al Yaum dan Maktabah al Turast al Islami dibawah naungan Abdullah Hajjaj. Namun penerbitan ini juga tidak terlepas dari pengawasan Majma’ asy Sya’rawi al Islami. Dua lembaga inilah yang memiliki otoritas untuk memplublikasikan karangan-karangan asy Sya’rawi. Meskipun telah diatur dan diawasi sedemikian rupa tetap saja tidak sedikit dari penerbit-penerbit lainnya yang memalsukan kitab-kitab karangan asy Sya’rawi.[14]

Adapun karangan-karangan yang di cetak adalah :[15]

1)      Cetakan Akhbar al Yaum al Islami
a)      Al Asma’ al Husna
b)      Al Du’a al Mustajabah
c)      Al Ghaib
d)     Al Hajj al Mabrur
e)      Al Halal wa al Haram
f)       Al Hayat wa al Maut
g)      L Isra’ wa al Mi’raj
h)      Al Mar’ah fi al Quran
i)        Al Qadha’ wal al Qadar
j)        Al Rizq
k)      Al Sihr wa al Hasad
l)        Al Syaithan wa al Insan
m)    Ayat al Kursy
n)      Muhammad Rasulullah
o)      Nihayat al ‘Alam
p)      Surah al Kahfi
q)      Tafsir asy Sya’rawi
r)       Yaum al Qiyamah, dll.

2)      Cetakan Maktabah al Turast al Islami
a)      al Fatawa al Kubra
b)      al Hijrah al Nabawiyah
c)      al Jihad al Islami
d)     asy Syaikh al Imam Muhammad asy Sya’rawi wa Qadhaya al ‘Asr
e)      al Sirah al Nabawiyah
f)       nubu’at syaikh asy Sya’rawi
g)      al Mukhtar min Tafsir al Quran al Karim, dll.

3)      Penerbit-penerbit lainnya :

Dar al ‘Audah Beirut.

a)      ‘Ala al Maidat al Fikr al Islami
b)      Al Islam Hadasiah wa Hadharah
c)      Tarbiyat al Insan al Muslim
Wizarah al Difa’ li al Syuun al Ma’nawiyah

a)      Majmu’at Muhadharah asy Sya’rawi
b)      Allah wa al nafsi al Basyariyyah
c)      Ash Shalat wa Arkanu al Islam
d)     Asy Syaithan wa Madakhiluha

Disusun oleh Jamal Ibrahim dan diterbitkan oleh Dar al Hurriyah li al Nasyr wa al Tawzi’

a)      Allah wa al Nafs al Basyariyyah
b)      As Shalat wa Arkan al Islam
c)      Asy Syaithan wa Madaakhiluha

Dar al Ra’id li al Nasyr

a)      Mausu’ah Islamiyah al Athfal

Wizarah al Tarbiyyah wa al Ta’lim

a)      Mukjizat al Quran









2.2.1 Tafsir Syaikh Sya’rawi

Penamaan Tafsir asy Sya’rawi dituangkan dari nama beliau sendiri[16], diantara paparan yang beliau uraikan dalam muqaddimah tafsirnya :

“ Hasil renungan saya terhadap al Quran bukan berarti tafsiran al Quran, melainkan hanya percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seorang mukmin saat membaca al Quran. Kalau memang al Quran dapat ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak menafsirkannya hanya Rasulullah SAW, karena kepada beliaulah al Quran diturunkan. Beliau banyak menjelaskan kepada manusia ajaran al Quran dari dimensi ibadah, karena hal itulah yang diperlukan umatnya saat ini. Adapaun rahasia al Quran tentang alam semesta, tidak beliau sampaikan, karena kondisi sosio-intelektual saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal itu disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya akan merusak puing-puing agama, bahkan akan memalingkan umat dari jalan Allah SWT”.[17]

Tafsir asy Sya’rawi di tulis oleh suatu Lajnah dimana diantara para anggotanya adalah Muhammad as Sinrawi, dan Abdul Waris ad Dasuqi. Tafsir ini terbit pada tahun 1991 M oleh penerbit Akhbar al Yaum dan termuat dalam Majalah al Liwa’ al Islami nomor 251-332 tahun 1986-1989 M. Adapun tokoh yang turut berperan serta dalam Mentakhrij hadis-hadisnya adalah Ahmad Umar Hasyim. Menurutnya, metodologi yang digunakan oleh asy Sya’rawi dalam kitab tafsirnya bertumpu pada pembedahan kata. Secara spesifik dapat dijelaskan bahwa asy Sya’rawi berusaha mengembalikan kata tersebut ke dalam bentuk asalnya kemudian mengembangkannya ke dalam bentuk yang lain untuk dapat dicari korelasi maknanya antara asal kata dengan kata jadiannya.[18]
BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan

Dari uraian yang penulis sampaikan tadi, dapat kita simpulkan bahwa :

1)      Syaikh Sya’rawi merupakan sosok yang gemilang dalam ranah ke ilmuan, walaupun beliau cinta terhadap syair-syair tetapi dengan dorongan orangtuanya untuk masuk ke al Azhar di jurusan Bahasa Arab, membuat Syaikh Sya’rawi semakin mahir di dalam berbahasa sehingga tingkatan beliau mampu memahami al Quran dengan ilmu-ilmu lain yang beliau pelajari.

2)      Sedangkan karya pemikiran Syaikh Sya’rawi, beliau lebih mengedepankan penyampaiannya melalui ceramah-ceramah ketimbang menulis, karena menurut beliau penyampaian lewat media tulis hanya bisa di resapi oleh kelompok pembaca saja sedangkan yang tidak bisa membaca maka tentu tidak dapat tersampaikan. Akan tetapi beliau tetap tidak mencela kegiatan tulis menulis hanya saja pandangan beliau melihat mamfaat dalam mentransfer ilmu lebih kepada media ceramah ketimbang media menulis. Kemudian setelah beliau meninggal dunia, anak Syaikh Sya’rawi membentuk suatu Lajnah untuk membukukan karya ayahandanya supaya tetap bisa dirujuk oleh para ilmuan setelah beliau tiada. Dan ini merupakan hal yang bagus bagi dunia pendidikan khususnya untuk menyelamatkan ide yang dituangkan syaikh syakrawi selama hidupnya sehingga apa yang beliau sampaikan tidak hilang dengan hilangnya hidup beliau, namun kalau sekiranya beliau masih hidup dan beliau sadar akan hal ini tentu karya beliau lebih banyak daripada apa yang dibukukan oleh anaknya setelah beliau meninggal.



3.2 Kritik/Saran

       Syaikh Sya’rawi dalam hal ini tidak suka terjun dalam dunia tulis menulis padahal kapasitas ilmu beliau sangat mumpuni untuk bidang keagamaan dengan berdalih bahwa dunia tulis menulis hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh kelompok yang membaca saja, sedangkan para kaum awam yang tidak bisa membaca mereka akan tertinggal informasi. Namun hal ini tidak seperti yang beliau ucapkan, karena dengan dunia tulis menulislah suatu peradaban akan muncul bahkan bukan hanya merubah masa ketika beliau masih hidup akan tetapi dengan buah pikir yang dibubuhkan dalam bentuk catatan akan merubah berbagai regenarasi setelah ketiadaan beliau. Kita sepakat bahwa dunia tulis menulis hanya bisa dirasakan oleh kaum pembaca, namun ini tidak menutup pintu untuk tidak menulis apa yang terlintas dalam pikiran kita, karena kehidupan manusia pasti beranjak kepada kematian, kematianlah musuh yang akan menghantam seluruh karya kita selama kita hidup. Tetapi orang yang tau akan adanya kematian pasti dia akan mempersiapkan seluruh karyanya untuk di amandemenkan untuk masa selanjutnya, bukan hanya ada dalam pikiran yang akan hilang dengan hilangnya si pemikir.














DAFTAR PUSTAKA


Akhbar al Yaum, al Qahirah, 1999

Abd Muiz ‘Abd Hamid al Jazzar, Asy Sya’rawi Imam ad Du’ah Mujaddid haza al Qarn, dalam majalah al Azhar. T,t

Lajnah al Azhar, asy Sya’rawi Imam ad Duah,  suplemen majalah al Azhar, jumadil akhir 1419

Lajnah Majalah asy Syabab, edisi 64, juli 1999, Rabiul Awal 1420 H

Muhammad Mahjub Hasan, Muhammad mutawali asy sya’rawi min al qaryah ila al alamiyah,Maktabah at Turast al Islami,1998

Muhammad saabit Asy Sya’rawi wa Sulthah, Dar al Rawdah, al Qahirah. T,t

Thaha Badri, Qalu an asy Sya’rawi Ba’da Rahilihi, al Qahirah, Maktabah al Turast al Islami, t.t,

Yaqut Al Hamawi, Mu’jam Buldan, Dar al Kutub, Bairut, 1990 M.






[1]  Yaqut Al Hamawi, Mu’jam Buldan, Dar al Kutub, Bairut, 1990 M, jilid 2, hlm. 522
[2] Ibid, hlm. 52, dikutip dari Yaqut Al Hamawi, Mu’jam Buldan, Dar al Kutub, Bairut, dan susan Mubarak, dkk, al Qamus al jugrafi li al bilad al misriyyah,al hai’ah al misriyyah al amah, al qahirah, 1994 hlm 255. 
[3] Muhammad saabit Asy Sya’rawi wa Sulthah, Dar al Rawdah, al Qahirah, t.th, hlm. 11.
[4] Muhammad mutawali asy sya’rawi min al qaryah ila al alamiyah, hlm. 8.
[5] Ibid, hlm. 21
[6] Di kutip dari Abd Muiz ‘Abd Hamid al Jazzar, Asy Sya’rawi Imam ad Du’ah Mujaddid haza al Qarn, dalam majalah al Azhar hlm. 21
[7] Op Cit, hal 26-27
[8] Op Cit, hlm. 27.
[9] Op Cit,hlm.27-28.
[10] Di kutip dari Thaha Badri, Qalu an asy Sya’rawi Ba’da Rahilihi, al Qahirah, Maktabah al Turast al Islami, t.t, hlm. 56
[12] Ibid, hlm. 30-31, dikutip dari Ahmad al Marsi Husein Jauhar,  asy Syaikh Muhammad Mutawalli, hlm. 124.
[13] Di kutip dari al Azhar, asy Sya’rawi Imam ad Duah,  suplemen majalah al Azhar, jumadil akhir 1419, hlm. 99-104.
[14] Dikutip dari majalah asy Syabab, tahun ke 22, edisi 64, juli 1999, Rabiul Awal 1420 H, hlm. 9.
[15] Ibid, hlm. 34-40
[16] Akan tetapi SYaikh Sya’rawi tidak setuju penamaan bukunya tentang Tafsir, karena beliau beranggapan bahwa tafsir lebih pantas di tafsirkan oleh manusia yang mulia seperti nabi akan tetapi buku beliau lebih tepat dinamakan dengan “Khawatir asy-Sya’rawi Haul al-Qur’an al-Karîm
[17] Muhammad Mutawali asy Sya’rawi, Tafsir asy Sya’rawi, Akhbar al Yaum, al Qahirah, 1999, jilid I, hlm. 9.
[18] Ahmad Umar Hasyim,  al Imam asy Sya’rawi Mufassirun wa Daiyyah, al Qahirah, Maktabah at Turas al Islami, t,t, hlm. 51

No comments:

Sponsor