BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syaikh Mutawali asy Sya’rawi merupakan salah satu ulama
yang dikarunia Allah SWT suatu bahtera
ilmu sehingga di abad 20 tampaknya tidak terlalu berlebihan kalau gelar
Mujaddid kita sandangkan kepada beliau.
Kepribadian yang gigih dalam menuntut ilmu membawa
beliau menjadi seorang ilmuan Islam yang terkemuka di kalangan ulama, kecintaan
beliau kepada syair-syair Arab tidak hanya menjadikan beliau berkutat dalam
ranah ke syairan bahkan beliau menjadi seorang pakar mufassirin, bahkan bahasa
yang beliau uraikan bukan hanya mudah dipahami di dalam
kontekstual tetapi ritorika beliau dalam berbicarapun mampu menyentuh seluruh
hati ummat Muslim bahkan non Muslimpun menghargai sikap beliau dalam berbagai
hal, dengan kemampuan yang beliau miliki maka kebanyakan ulama memberikan laqab
kepada beliau dengan gelar imam ad du’ah ( إمام
الدعاة )
Dari latar belakang inilah penulis tergugah untuk
menulis perihal tentang sosok ulama yang di nobatkan sebagai Imam ad Du’ah
ini, semoga dari tulisan ini bisa menggugah para pembaca dalam meneladani
beliau baik dalam ranah kehidupan, pendidikan, keagamaan, politik, dll.
1.2 Rumusan Masalah
Diantara rumusan masalah yang ingin penulis uraikan
ialah ;
a. Bagaimana biografi Syaikh Mutawali
Sya’rawi..?
b. Apa saja karya-karya yang dicetus oleh
Syaikh Mutawali Sya’rawi..?
1.3 Tujuan Masalah
Tujuan masalah yang ingin dicapai ialah
a. Untuk mengetahui biografi Syaikh Mutawali
Sya’rawi.
b. Untuk mengetahui karya-karya yang dicetus
oleh Syaikh Mutawali Sya’rawi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Syaikh Mutawali Sya’rawi
Nama lengkap Syaikh Sya’rawi adalah Syeikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi al-Husaini. Syaikh Mutawali asy Sya’rawi hidup di abad 20 M,
beliau dilahirkan di desa Daqadus[1], Distrik
Mith Ghamr, Provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir, tanggal 15 April 1911 M. di dalam kamus al
Jugrafi li al bilad al misriyyah menyebutkan bahwa desa Daqadus merupakan
desa agraris yang sangat besar dan selalu ramai dikunjungi pada hari pasar
yaitu hari rabu.[2]
Desa Daqadus terletak di tengah-tengah Delta, desa ini
terkenal dengan desa agraris, penghasilan utama dari sector pertanian, sebagian
penduduknya berproduksi kerajinan tangan, terkenal juga sebagai tempat
pengobatan patah tulang.[3]
Beliau
dilahirkan dari keluarga yang sederhana, garis keturunan beliau sampai kepada
ahlul bait yaitu nasab imam Husain bin Ali كرم الله وجهه.[4]
Asy Sya’rawi wafat dan dimakamkan di desa Daqadus pada tanggal 22 Safar
1419 H / 17 juni 1998 M. beliau dianugrahi gelar “amin” oleh ayahnya yang gelar
ini kemudian dikenal masyarakat di daerahnya.[5]
Pendidikan syaikh Sya’rawi sangat dipengaruhi oleh peranan orangtuanya
yang selalu mengarahkan beliau kepada bidang keilmuan, pendidikan beliau secara
tidak formal dimulai dari menghafal al quran dan menyetornya kepada syaikh ‘Abd
al Majid Pasya dan selesai pada usia 11 tahun.
Sedangkan jenjang pendidikan syaikh. Sya’rawi secara formal dimulai di
sekolah dasar al Azhar Zaqaziq pada tahun 1926 M. lalu beliau melanjutkan ke sekolah
menengah di tempat yang sama hingga lulus pada tahun 1936 M. Kemudian beliau
melanjutkan jenjang pendidikan ke Universitas al Azhar jurusan Bahasa Arab pada
tahun 1937 M hingga tahun 1941 M. jenjang doktoral ditempuhnya pada tahun 1940
M dan memperoleh gelar ‘Alamiyyat (Lc) di bidang bahasa dan sastra Arab. Kemudian
beliau melanjutkan studi ke Dirasah ‘Ulya dimana ia mempelajari berbagai ilmu
tentang kependidikan. Pada tahun 1943 M ia lulus dengan memperoleh gelar
‘Alamiyat di bidang kependidikan dan menerima surat pengangkatan sebagai guru.[6]
Semasa hidupnya asy Sya’rawi acapkali memangku berbagai jabatan. Pada
awal mula karirnya sebagai guru di sekolah al Azhar Tanta, kemudian beliau
dimutasi ke Iskandariyah dan Zaqaziq di institusi yang sama. Karirnya mulai
menanjak saat ia diangkat sebagai dosen Sembilan tahun lamanya di jurusan
Tafsir Hadis di Fakultas Syariah Universitas al Malik ‘Abd al “aziz di Mekkah
pada tahun 1951 M. kemudian ia diangkat sebagai wakil kepala sekolah al Azhar
di Tanta pada tahun 1960 M. setahun kemudian ia diangkat sebagai direktur dalam
bidang engembangan dakwah Islam pada Departemen Waqaf. Lalu pada tahun
berikutnya, beliau menjadi pengawas pengembangan bahasa Arab di al Azhar. Lalu
pada tahun 1964 M, beliau di tunjuk sebagai asisten pribadi Grand Syaikh Hasan
Makmun. Dua tahun kemudian, ia mengikuti program ekspedisi al Azhar ke al
Jazair paska kemerdekaannya. Setahun kemudian, ia kembali lagi ke Kairo dan bekerja
sebagai Direktur Kantor Gran Syaikh Hasan Makmun. Pada tahun 1970 M ia menjadi
dosen tamu di Universitas al Malik ‘Abd al ‘Aziz Mekkah dan diangkat sebagai
rektor program pascasarjananya.[7]
Asy Sy’rawi muncul sebagai da’i terkemuka pada awal mulanya berangkat
dari tawaran sebagai pengisi acara Nur ‘ala Nur di sebuah stasiun
televisi pada tahun 1973 M. sejak saat itu masyarakat Mesir mulai mengenalnya
dan senantiasa melihat serta mendengarkan ceramah keagamaan dan penafsirannya
terhadap al Quran selama kurang lebih 25 tahun.[8]
Asy Sy’rawi terjun ke birokrasi pemerintahan dimulai pada tahun 1976 M,
saat ia diangkat sebagai Menteri Wakaf oleh pimpinan Kabinet Mamduh Salim.
Setahun kemudian, beliau ditunjuk kembali pada jabatan yang sama sekaligus
merangkap sebagai Menteri Negara yang berkaitan erat dengan al Azhar oleh
Mamduh Salim tepatnya pada tanggal 26 Oktober 1977 M. setahun kemudian tepatnya
pada tanggal 15 Oktober1978 M, ia diberhentikan secara hormat dari formatur
cabinet yang dibentuk oleh Musthafa Khalil. Beliau juga pernah ditunjuk sebagai
salah satu pemrakarsa berdirinya sebuah universitas yaitu “al Syu’ub al
Islamiyyah al ‘Arabiyyah” tetapi beliau menolak tawaran tersebut. Jabatan
tinggi yang juga beliau tolak yaitu tatkala diangkat sebagai anggota MPR (
Majlis Permusyawaratan Rakyat ) pada tahun 1980 M.[9]
Berbagai penghargaan dan tanda jasa pernah disematkan kepada beliau
diantaranya yaitu penghargaan dan lencana oleh presiden Husni Mubarak dalam
bidang pengembangan ilmu dan budaya di tahun 1983 M saat acara peringatan hari
lahir al Azhar yang ke 1000, lalu di tahun 1988 M ia memperoleh wisam al
Jumhuriyyah, medali kenegaraan dari presiden Husni Mubarak di acara
peringatan hari da’i. ia juga meraih gelar “guru besar” pada tahun 1990 M dari
Universitas al Mansurah dalam bidang adab dan pada tahun 1998 M beliau memperoleh gelar kehormatan sebagai al
Syakhsyiyyah al Islamiyyah al Ula yaitu Islam pertama di dunia Islam di Dubai
serta mendapatkan penghargaan berupa uang dari putera mahkota al Nahyan, tetapi
ia serahkan kepada al Azhar dan para pelajar yang berasal dari negara-negara
Islam seluruh dunia.[10]
2.1.1 Guru-Guru
Syaikh Sya’rawi
a.
Syekh Mutawalli
al-Sya’rawi (ayah al-Sya’rawi),
b. Syekh Muhammad al-Sya’rawi (paman al-Sya’rawi),
c. Sa’ad Zaghlul,
d. Dr. Muhammad Abdul Mun’im Khafaji (Penyair Thahir Abu Fasya),
e. Prof. Khalid Muhammad Khalid,
f. Dr. Ahmad Haikal,
g. Dr. Hassan Gad.
2.2 Karya-karya Syaikh Mutawali Sya’rawi
Sebelum kita menyebutkan karya-karya asy
Sya’rawi, perlu penulis tegaskan terlebih dahulu, apakah syaikh asy Sya’rawi
menulis sendiri karya-karyanya atau menggunakan dengan cara lain. Berikut
keterangan tentang hal yang kita bicarakan.
Sebagai seorang ulama, pemikir, sekaligus
akademisi, keberadaan akan sebuah karya ilmiah tentunya tidak luput dari
sejarah kehidupan seseorang. Adapun karya ilmiah merupakan hal yang tidak dapat
dinafikan tentunya. Namun, sosok asy Sya’rawi sedikit berbeda dengan kebanyakan
para ulama pada umumnya dalam hal kepemilikan karya-karya ilmiah.
Asy Sya’rawi sendiri baik secara eksplisit
maupun implisit menyatakan bahwa ia tidak menulis sendiri secara sepihak
berbagai karangan ilmiah lainnya yang terdapat dan tersebar di berbagai belahan
dunia saat ini. Beliau beranggapan bahwa kalimat atau ajaran yang disampaikan
secara langsung dan diperdengarkan akan lebih mengena daripada kalimat yang
disebarluaskan dengan perantara media tulisan, sebab manusia akan mampu
mendengar dari narasumber yang asli tanpa dibatasi dengan sekat-sekat maupun batasan
tertentu jika kalimat atau ujaran tersebut disampaikan dalam bentuk tulisan.
Namun beliau dalam hal ini tidak menafikan kebolehan untuk menulis suatu karya
ilmiah.
Hal ini dikuatkan dengan pernyataan beliau
yang tertuang dalam kitab asy Syaikh Mutawalli asy Sya’rawi Imam al As’r :
“Aku belum pernah berkecimpung dalam
kegiatan tulis menulis. Aku tidak menulis sepatah katapun, karena tulisan hanya
diperuntukkan kepada satu komunitas saja yaitu komunitas pembaca. Beda halnya
dengan lisan. Lisan merupakan perantara yang paling efisien, apakah aku harus
menunggu seseorang untuk membacanya atau tidak. Lain halnya ketika aku
berbicara dihadapan khalayak ramai. Aku bisa berdialog dengan semua audiens
tanpa ada yang membatasi. Yang terpenting aku memperoleh pahala atas apa yang
aku sampaikan. Adapun tulisan hanya metode penyampaian sepihak.[12]
Sedangkan mengenai kitab tafsir beliau
merupakan manifestasi pembahasan-pembahasan beliau tatkala mengulas seputar
permasalahan yang terdapat dalam al Quran (kecuali wawancara yang dicetak dalam
buku). Hal senada diperkuat dengan komentar beliau sebagai berikut :
“Apabila sebagian distributor tergesa-gesa,
mereka mengganti perkataanku dengan bahasa tulis, maka hal ini tidak terlepas
dari faktor efisiensi waktu atau yang lain dan aku sangat berterima kasih atas
tersebarluasnya pemikiranku. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan aku akan
mengumpulkannya dalam sebuah buku sehingga aku dapat menganalisa, mengkaji
ulang dan memahaminya secara detail. Hanya kepada Allah aku bersandar agar
cita-citaku terkabulkan.[13]”
Sementara itu asy Sya’rawi tidak memiliki
tempat kusus untuk bekerja. Ruangannya hanya berisi sajadah dan al Quran
disampingnya. Pemikiran-pemikiran yang beliau sampaikan dilakukan secara
spontanitas dalam berbagai seminar atau pertemuan khusus. Ahmad Mutawalli asy
Sya’rawi (anak bungsu beliau) berkata bahwa setelah meningalnya ayahanda, ia
menemukan sebanyak 63 jumlah buku karangan ayahnya yang tersebar luas. Bahkan
sebagian darinya menuai kritik atas kesalahan-kesalahan dalam ayat-ayat al Quran
dan hadis-hadisnya.
Berdasarkan dari itu, asy Sya’rawi
mengantisipasinya dengan cara membuat sebuah lembaga otoritas khusus untuk
mengawasi dan berwenang atas karangan-karangan asy Sya’rawi yang bernama Majma’
asy Sya’rawi al Islami. Tugas Majma’(kumpulan) ini adalah menganalisa dan
mengkaji ulang kitab-kitab asy Sya’rawi . lembaga ini terdiri atas kumpulan
ulama dibawah naungan Syaikh Sami asy Sya’rawi. Selain itu pula menurutnya
lembaga yang berhak menrbitkan karangan asy Sya’rawi adalah Akhbar al Yaum
dan Maktabah al Turast al Islami dibawah naungan Abdullah Hajjaj. Namun
penerbitan ini juga tidak terlepas dari pengawasan Majma’ asy Sya’rawi al
Islami. Dua lembaga inilah yang memiliki otoritas untuk memplublikasikan
karangan-karangan asy Sya’rawi. Meskipun telah diatur dan diawasi sedemikian
rupa tetap saja tidak sedikit dari penerbit-penerbit lainnya yang memalsukan
kitab-kitab karangan asy Sya’rawi.[14]
Adapun karangan-karangan yang di cetak
adalah :[15]
1) Cetakan Akhbar al Yaum al Islami
a) Al Asma’ al Husna
b) Al Du’a al Mustajabah
c) Al Ghaib
d) Al Hajj al Mabrur
e) Al Halal wa al Haram
f) Al Hayat wa al Maut
g) L Isra’ wa al Mi’raj
h) Al Mar’ah fi al Quran
i)
Al Qadha’ wal al Qadar
j)
Al Rizq
k) Al Sihr wa al Hasad
l)
Al Syaithan wa al Insan
m) Ayat al Kursy
n) Muhammad Rasulullah
o) Nihayat al ‘Alam
p) Surah al Kahfi
q) Tafsir asy Sya’rawi
r) Yaum al Qiyamah, dll.
2) Cetakan Maktabah al Turast al Islami
a) al Fatawa al Kubra
b) al Hijrah al Nabawiyah
c) al Jihad al Islami
d) asy Syaikh al Imam Muhammad asy Sya’rawi wa
Qadhaya al ‘Asr
e) al Sirah al Nabawiyah
f) nubu’at syaikh asy Sya’rawi
g) al Mukhtar min Tafsir al Quran al Karim,
dll.
3) Penerbit-penerbit lainnya :
Dar al ‘Audah Beirut.
a) ‘Ala al Maidat al Fikr al Islami
b) Al Islam Hadasiah wa Hadharah
c) Tarbiyat al Insan al Muslim
Wizarah al Difa’ li al Syuun al Ma’nawiyah
a) Majmu’at Muhadharah asy Sya’rawi
b) Allah wa al nafsi al Basyariyyah
c) Ash Shalat wa Arkanu al Islam
d) Asy Syaithan wa Madakhiluha
Disusun oleh Jamal Ibrahim dan diterbitkan oleh Dar al Hurriyah li al
Nasyr wa al Tawzi’
a) Allah wa al Nafs al Basyariyyah
b) As Shalat wa Arkan al Islam
c) Asy Syaithan wa Madaakhiluha
Dar al Ra’id li al Nasyr
a) Mausu’ah Islamiyah al Athfal
Wizarah al Tarbiyyah wa al Ta’lim
a) Mukjizat al Quran
2.2.1 Tafsir Syaikh Sya’rawi
Penamaan Tafsir asy Sya’rawi dituangkan dari nama beliau sendiri[16],
diantara paparan yang beliau uraikan dalam muqaddimah tafsirnya :
“ Hasil renungan saya terhadap al Quran bukan berarti tafsiran al Quran,
melainkan hanya percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seorang mukmin
saat membaca al Quran. Kalau memang al Quran dapat ditafsirkan, sebenarnya yang
lebih berhak menafsirkannya hanya Rasulullah SAW, karena kepada beliaulah al
Quran diturunkan. Beliau banyak menjelaskan kepada manusia ajaran al Quran dari
dimensi ibadah, karena hal itulah yang diperlukan umatnya saat ini. Adapaun
rahasia al Quran tentang alam semesta, tidak beliau sampaikan, karena kondisi
sosio-intelektual saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal
itu disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya akan merusak
puing-puing agama, bahkan akan memalingkan umat dari jalan Allah SWT”.[17]
Tafsir asy Sya’rawi di tulis oleh suatu Lajnah dimana diantara para
anggotanya adalah Muhammad as Sinrawi, dan Abdul Waris ad Dasuqi. Tafsir ini
terbit pada tahun 1991 M oleh penerbit Akhbar al Yaum dan termuat dalam Majalah
al Liwa’ al Islami nomor 251-332 tahun 1986-1989 M. Adapun tokoh yang turut
berperan serta dalam Mentakhrij hadis-hadisnya adalah Ahmad Umar Hasyim.
Menurutnya, metodologi yang digunakan oleh asy Sya’rawi dalam kitab tafsirnya
bertumpu pada pembedahan kata. Secara spesifik dapat dijelaskan bahwa asy
Sya’rawi berusaha mengembalikan kata tersebut ke dalam bentuk asalnya kemudian
mengembangkannya ke dalam bentuk yang lain untuk dapat dicari korelasi maknanya
antara asal kata dengan kata jadiannya.[18]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian yang penulis sampaikan tadi,
dapat kita simpulkan bahwa :
1)
Syaikh Sya’rawi merupakan sosok yang gemilang dalam
ranah ke ilmuan, walaupun beliau cinta terhadap syair-syair tetapi dengan
dorongan orangtuanya untuk masuk ke al Azhar di jurusan Bahasa Arab, membuat
Syaikh Sya’rawi semakin mahir di dalam berbahasa sehingga tingkatan beliau
mampu memahami al Quran dengan ilmu-ilmu lain yang beliau pelajari.
2)
Sedangkan karya pemikiran Syaikh Sya’rawi, beliau
lebih mengedepankan penyampaiannya melalui ceramah-ceramah ketimbang menulis,
karena menurut beliau penyampaian lewat media tulis hanya bisa di resapi oleh
kelompok pembaca saja sedangkan yang tidak bisa membaca maka tentu tidak dapat
tersampaikan. Akan tetapi beliau tetap tidak mencela kegiatan tulis menulis
hanya saja pandangan beliau melihat mamfaat dalam mentransfer ilmu lebih kepada
media ceramah ketimbang media menulis. Kemudian setelah beliau meninggal dunia,
anak Syaikh Sya’rawi membentuk suatu Lajnah untuk membukukan karya ayahandanya
supaya tetap bisa dirujuk oleh para ilmuan setelah beliau tiada. Dan ini
merupakan hal yang bagus bagi dunia pendidikan khususnya untuk menyelamatkan
ide yang dituangkan syaikh syakrawi selama hidupnya sehingga apa yang beliau
sampaikan tidak hilang dengan hilangnya hidup beliau, namun kalau sekiranya
beliau masih hidup dan beliau sadar akan hal ini tentu karya beliau lebih
banyak daripada apa yang dibukukan oleh anaknya setelah beliau meninggal.
3.2 Kritik/Saran
Syaikh Sya’rawi dalam hal ini tidak suka
terjun dalam dunia tulis menulis padahal kapasitas ilmu beliau sangat mumpuni
untuk bidang keagamaan dengan berdalih bahwa dunia tulis menulis hanya bisa
dirasakan manfaatnya oleh kelompok yang membaca saja, sedangkan para kaum awam
yang tidak bisa membaca mereka akan tertinggal informasi. Namun hal ini tidak
seperti yang beliau ucapkan, karena dengan dunia tulis menulislah suatu
peradaban akan muncul bahkan bukan hanya merubah masa ketika beliau masih hidup
akan tetapi dengan buah pikir yang dibubuhkan dalam bentuk catatan akan merubah
berbagai regenarasi setelah ketiadaan beliau. Kita sepakat bahwa dunia tulis
menulis hanya bisa dirasakan oleh kaum pembaca, namun ini tidak menutup pintu
untuk tidak menulis apa yang terlintas dalam pikiran kita, karena kehidupan
manusia pasti beranjak kepada kematian, kematianlah musuh yang akan menghantam
seluruh karya kita selama kita hidup. Tetapi orang yang tau akan adanya kematian
pasti dia akan mempersiapkan seluruh karyanya untuk di amandemenkan untuk masa
selanjutnya, bukan hanya ada dalam pikiran yang akan hilang dengan hilangnya si
pemikir.
DAFTAR PUSTAKA
Akhbar al Yaum, al Qahirah, 1999
Abd Muiz
‘Abd Hamid al Jazzar, Asy Sya’rawi Imam ad Du’ah Mujaddid haza al Qarn,
dalam majalah al Azhar. T,t
Lajnah al Azhar, asy Sya’rawi Imam ad Duah, suplemen majalah al Azhar, jumadil akhir 1419
Lajnah Majalah asy Syabab, edisi 64,
juli 1999, Rabiul Awal 1420 H
Muhammad Mahjub Hasan, Muhammad mutawali asy sya’rawi min al qaryah
ila al alamiyah,Maktabah at Turast al Islami,1998
Muhammad saabit Asy Sya’rawi wa Sulthah, Dar al
Rawdah, al Qahirah. T,t
Thaha Badri, Qalu an asy Sya’rawi Ba’da Rahilihi, al Qahirah, Maktabah al Turast al Islami, t.t,
Yaqut Al Hamawi, Mu’jam Buldan, Dar al Kutub,
Bairut, 1990 M.
[2] Ibid, hlm. 52, dikutip
dari Yaqut Al Hamawi, Mu’jam Buldan, Dar al Kutub, Bairut, dan susan
Mubarak, dkk, al Qamus al jugrafi li al bilad al misriyyah,al hai’ah al
misriyyah al amah, al qahirah, 1994 hlm 255.
[6] Di kutip dari Abd Muiz
‘Abd Hamid al Jazzar, Asy Sya’rawi Imam ad Du’ah Mujaddid haza al Qarn,
dalam majalah al Azhar hlm. 21
[10] Di kutip dari Thaha
Badri, Qalu an
asy Sya’rawi Ba’da Rahilihi, al Qahirah, Maktabah
al Turast al Islami, t.t, hlm. 56
[11] Di akses tgl 22-10-2016,
pukul 22.00 Wib, dari : http://muhammadrifai804.blogspot.co.id/2016/01/tafsir-asy-syarawi-biografi-penulis.html
[12] Ibid, hlm. 30-31, dikutip dari Ahmad al Marsi Husein
Jauhar, asy Syaikh Muhammad
Mutawalli, hlm. 124.
[13] Di kutip dari
al Azhar, asy Sya’rawi Imam ad Duah, suplemen majalah al Azhar, jumadil akhir 1419,
hlm. 99-104.
[16] Akan tetapi SYaikh
Sya’rawi tidak setuju penamaan bukunya tentang Tafsir, karena beliau
beranggapan bahwa tafsir lebih pantas di tafsirkan oleh manusia yang mulia
seperti nabi akan tetapi buku beliau lebih tepat dinamakan dengan “Khawatir asy-Sya’rawi
Haul al-Qur’an al-Karîm”
[17] Muhammad Mutawali asy
Sya’rawi, Tafsir asy Sya’rawi, Akhbar al Yaum, al Qahirah, 1999, jilid
I, hlm. 9.
[18] Ahmad Umar
Hasyim, al Imam asy Sya’rawi
Mufassirun wa Daiyyah, al Qahirah, Maktabah at Turas al Islami, t,t, hlm.
51
No comments:
Post a Comment