TauKahAnda

TaukahAnda bertujuan untuk menjangkau informasi yang anda butuhkan dalam segala aspek pengetahuan

Sponsor

Tuesday, October 30, 2018

Biografi Hassan Hanafi ( HERMENEUTIKA PEMBEBASAN )



Biografi Singkat Hassan Hanafi

Sebelum membahas tentang pola pikir Hassan Hanafi, ada baiknya mengenal sosok Hanafi dari sudut biografi singkatnya. Beliau dilahirkan di Kairo, Mesir tanggal 14 februari 1934. Pendidikan agamanya pun cukup untuk menambah keilmuannya, dan di waktu kecilpun dia sudah berhadapan dengan penjajahan dan pengaruh bangsa asing, sehingga kejadian ini membangkitkan sikap patriotik dan nasionalisnya sehingga di usianya yang masih 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang untuk melawan Israel di tahun 1948. Dia pun sempat belajar di Universitas Kairo di bidang filsafat, di masa dia kuliyahpun Hassan Hanafi sudah mengalami pertentangan buruk antara Ikhwanul Muslimin dan gerakan revolusi sehingga mendorong dirinya untuk menjadi seorang pemikir, pembahru dan reformis (E Kusnadiningrat, 1999: 48).

Hassan Hanafi merupakan seorang reformis pemikiran Islam yang telah berusaha keras untuk mengakumulasikan pemikiran fenomenologis dengan aplikasi metodologi dialektika yang dilandaskan pada kesadaran. Semua ini dilakukan dalam rangka membebaskan masyarakat Muslim dari keterbelakangan dan determinasi baik internal maupun eksternal. Sebagai pemikir yang menyadari urgensi historitas, Hassan Hanafi senantiasa beranjak dari konteks sejarah dalam rangka menapaki kehidupan kontemporer. Inilah yang membuat corak pemikiran Hassan Hanafi berwatak dinamis dan progresif yang dibingkai dalam proyek at Turast wa at Tajdid ( tradisi dan pembaharuan ). Dengan demikian, ia adalah salah seorang pemikir post-tradisional yang berupaya melakukan dekontruksi dan sekaligus rekontruksi terhadap tradisi.

Hassan Hanafi memandang dirinya sebagai “Penyulut Obor” bagi zamannya dalam upaya memberi pencerahan. Ia merupakan seorang pemikir yang menggunakan rasionalitas di samping tetap menghargai dan tidak mengabaikan aspek perasaan manusia. Rasionalitas yang digunakan bersama-sama dengan kekuatan perasaan selalu diwarnai pertimbangan sejauh mana pemikiran itu mampu lebih aktual. Artinya disamping tuntutan relevansi dengan jalan pemikiran manusia. Ia sekaligus memberi kemanfaatan dan kesejahteraan bagi manusia. Aspek rasio dan konteks tuntutan umat harus menjadi starting point bagi sebuah pemikiran.



Pandangan Hassan Hanafi Tentang Wacana Hermeneutika

Setidaknya terdapat tiga dimensi pokok dalam wacana proyek besar Hassan Hanafi;
1.      Pengujian kembali atas Turast al Islami (warisan atau tradisi Islam) dalam hubungannya dengan tajdid (pembaharuan)
2.      Transformasi dan perumusan ( teologi revolusioner Islam) melalui proses minal aqidah ila at tsaurah (dari akidah kepada revolusi)
3.      Perumusan analisis menyeluruh dan komprehensif tentang warisan dan intelektual barat dari perspektif non barat yang pada gilirannya dapat menghasilkn pengertian yang lebih baik tentang hubungan antara Islam, Barat dan modernitas. Inilah kemudian yang menghasilkan ilm al istighrab (oksidentalism) yang merupakan alternatif dari orientalisme.

Hassan Hanafi menggunakan perspektif yang menggabungkan antara tafsir dan takwil al Quran dengan pendekatan-pendekatan kontemporer dalam analisisis-analisis filosofis. Hanafi juga merumuskan hubungan atau penggabungan antara warisan/tradisi Islam dengan modernitas karena hubungan yang tepat antara keduanya sangat krusial. Menurut Hanafi, warisan dan tradisi Islam seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah jadi, melainkan sebagai sesuatu yang terus berkembang dalam proses “menjadi”. Singkatnya otentitas tanpa modernitas hanya akan membawa pada radikalisme yang pada gilirannya akan membawa Islam dan kaum muslimin semakin dekat dengan ketertinggalan.

Hanafi menyatakan bahwa hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi  lebih dari itu adalah aksi. Dalam kaitannya dengan al Quran hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. Dalam bahasa fenomenologis, hermeneutika ini dikatakan sebagai ilmu yang menentukan hubungan antara kesadaran manusia dengan objeknya, dalam hal ini teks al Quran memiliki  kesadaran historis yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya, kemudian al Quran memiliki kesadaran eiditik yang menjelaskan  makna teks dan menjadikannya rasional, kemudian al Quran memiliki  kesadaran praksis yang menggunakan makna-makna tersebut  sebagai sumber teoritis  bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia dan di dunia ini sebagai struktur ideal yang mewujudkan kesempurnaan dunia.

Secara lebih luas, hermeneutika Hassan Hanafi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, kritik  historis, untuk menjamin keaslian teks suci. Menurut Hassan Hanafi keaslian teks suci tidak ditentukan oleh pemuka agama, lembaga sejarah, keyakinan. Keaslian teks suci hanya bisa dijamin oleh kritik sejarah, dan kritik sejarah ini harus didasarkan aturan objektivitasnya sendiri yang bebas dari intervensi teologis, filosofis, mistis atau bahkan fenomenologis. Untuk menjamin keaslian sebuah teks suci, mengikuti prnsip-prinsip kritik sejarah, Hanafi memakai aturan-aturan sebagai berikut; (1) teks tersebut tidak ditulis setelah melewati masa pengalihan secara lisan tetapi harus ditulis pada saat pengucapannya dan ditulis secara in verbatim ( persis sama dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali). Karena itu, narator harus orang yang hidup pada zaman yang sama dengan saat dituliskannya kejadian-kejadian tersebut dalam teks. (2) adanya keutuhan teks. Semua yang disampaikan oleh narator atau nabi harus disimpan dalam bentuk tulisan, tanpa ada yang kurang atau berlebih. (3) nabi atau malaikat yang menyampaikan teks harus bersikap netral, hanya sekedar sebagai alat komunikasi murni dari Tuhan secara in verbatim kepada manusia, tanpa campur tangan sedikitpun baik menyangkut bahasa maupun isi gagasan yang ada di dalamnya. Istilah-istilah dan arti yang ada di dalamnya bersifat ketuhanan yang sinonim dengan bahasa manusia. Teks akan in verbatim jika tidak melewati masa peralihan lisan dan jika nabi hanya sekedar merupakan alat komunikasi. Jika tidak, teks tidak lagi in verbatim, Karena banyak kata yang hilang dan berubah, meski makna dan maksudnya tetap dipertahankan.

Kedua, proses pemahaman terhadap teks. Sebagaimana yang terjadi pada tahap kritik sejarah, dalam pandangan Hanafi pemahaman terhadap teks bukan monopoli atau wewenang suatu lembaga atau agama, bukan wewenang dewan pakar atau lembaga-lembaga tertentu melainkan dilakukan atas aturan-aturan tata bahasa dan situasi kesejarahan yang menyebabkan munculnya teks.

Dalam proses pemahaman teks ini, Hanafi mempersyaratkan (1) penafsir harus melepaskan diri dari dogma atau pemahaman-pemahaman yang ada. Tidak boleh ada keyakinan atau bentuk apapun  sebelum menganalisa linguistis terhadap teks dan pencarian arti-arti. (2)  setiap fase dalam teks, mengingat bahwa teks suci turun secara bertahap  dan mengalami  perkembangan, harus dipahami sebagai suatu keseluruhan yang berdiri sendiri. Masing-masing harus dipahami dan dimengerti dalam kesatuannya, dalam keutuhannya dan dalam intisarinya.

Ketiga, kritik praksis. Menurut Hanafi, kebenaran teoritis tidak bisa diperoleh dengan argumentasi tertentu melainkan dari kemampuannya untuk menjadi sebuah motivasi bagi tindakan . sebuah dogma akan diakui sebagai sistem ideal jika tampak di dalam tindakan manusia. Begitu pula hasil tafsiran, akan dianggap positif dan bermakna jika dapat dikenali dalam kehidupan, bukan atas dasar fakta-fakta material. Karena itu, pada tahap terakhir dari proses Hermeneutika ini, yang penting adalah bagaimana hasil penafsiran ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan manusia, bisa memberi motivasi pada kemajuan dan kesempurnaan hidup manusia. Tanpa keberhasilan tahap ketiga ini, betapapun hebatnya hasil interpretasi tidak ada maknanya. Sebab disnilah memang tujuan akhir dari diturunkannya  teks suci (Hanafi Hassana, 1994: 5-8).

Analisis Penulis

Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa ada tiga bentuk hermeneutika yang lahir pada periode kontemporer sebagai penyempurna ilmu tafsir. Pertama, hermeneutika objektif yang berusaha memahami makna asal dengan cara mengajak kembali ke masa lalu. Kedua, hermeneutika subjektif yang memahami makna dalam konteks kekinian dengan menepikan masa lalu. Ketiga, hermeneutika pembebasan dengan menggabungkan bentuk pertama dan kedua yang memahami makna asal dalam konteks kekinian tanpa menghilangkan masa lalu dan yang terpenting adalah pemahaman tersebut tidak sekedar berkutat dalam wacana melainkan benar-benar mampu menggerakkan sebuah aksi dan perubahan sosial.

Dari pemaparan Hanafi, terlihat dalam kajiannya bahwa hermeneutika Hanafi cenderung ke dalam bentuk yang ketiga, yaitu hermeneutika subjektivis qua objektivis artinya ia mencoba menjembatani antara penafsiran terhadap al Quran dengan memhami makna asal dengan cara mengajak kembali ke masa lalu dan memahami makna dalam teks kekinian dengan menepikan masa lalu. Sebagaimana penafsirannya terhadap makna Islam, yaitu protes, oposisi dan revolusi. Baginya Islam memiliki makna ganda, pertama Islam sebagai ketundukan yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua Islam sebagai revolusi yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status quo suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk, sedangkan jika untuk memulai seuatu perubahan sosial politik melawan status quo maka harus ditafsirkannya Islam sebagai pergolakan.

Kesimpulan

Hanafi menggunakan Hermeneutika pembebasanuntuk menginterpretasikan kembali kalam Tuhan supaya bermakna dalam menyelesaikan problematika  kehidupan manusia. Oleh karena itu, perlunya diadakan rekontruksi terhadap teologi agar lebih bermakna. Hanafi juga menegaskan bahwa rekontruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekontruksi teologi dimaksudkan untuk mengonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsep-konsep dan argumen-argumen antara individu-individu, melainkan dialektika berbagai  masyarakat dan bangsa antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan.









No comments:

Sponsor