Biografi
Singkat Hassan Hanafi
Sebelum
membahas tentang pola pikir Hassan Hanafi, ada baiknya mengenal sosok Hanafi
dari sudut biografi singkatnya. Beliau dilahirkan di Kairo, Mesir tanggal 14
februari 1934. Pendidikan agamanya pun cukup untuk menambah keilmuannya, dan di
waktu kecilpun dia sudah berhadapan dengan penjajahan dan pengaruh bangsa
asing, sehingga kejadian ini membangkitkan sikap patriotik dan nasionalisnya
sehingga di usianya yang masih 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk
menjadi sukarelawan perang untuk melawan Israel di tahun 1948. Dia pun sempat
belajar di Universitas Kairo di bidang filsafat, di masa dia kuliyahpun Hassan
Hanafi sudah mengalami pertentangan buruk antara Ikhwanul Muslimin dan gerakan
revolusi sehingga mendorong dirinya untuk menjadi seorang pemikir, pembahru dan
reformis (E Kusnadiningrat, 1999: 48).
Hassan
Hanafi merupakan seorang reformis pemikiran Islam yang telah berusaha keras
untuk mengakumulasikan pemikiran fenomenologis dengan aplikasi metodologi
dialektika yang dilandaskan pada kesadaran. Semua ini dilakukan dalam rangka
membebaskan masyarakat Muslim dari keterbelakangan dan determinasi baik
internal maupun eksternal. Sebagai pemikir yang menyadari urgensi historitas,
Hassan Hanafi senantiasa beranjak dari konteks sejarah dalam rangka menapaki
kehidupan kontemporer. Inilah yang membuat corak pemikiran Hassan Hanafi
berwatak dinamis dan progresif yang dibingkai dalam proyek at Turast wa at Tajdid
( tradisi dan pembaharuan ). Dengan demikian, ia adalah salah seorang
pemikir post-tradisional yang berupaya melakukan dekontruksi dan
sekaligus rekontruksi terhadap tradisi.
Hassan
Hanafi memandang dirinya sebagai “Penyulut Obor” bagi zamannya dalam upaya
memberi pencerahan. Ia merupakan seorang pemikir yang menggunakan rasionalitas
di samping tetap menghargai dan tidak mengabaikan aspek perasaan manusia.
Rasionalitas yang digunakan bersama-sama dengan kekuatan perasaan selalu
diwarnai pertimbangan sejauh mana pemikiran itu mampu lebih aktual. Artinya
disamping tuntutan relevansi dengan jalan pemikiran manusia. Ia sekaligus
memberi kemanfaatan dan kesejahteraan bagi manusia. Aspek rasio dan konteks
tuntutan umat harus menjadi starting point bagi sebuah pemikiran.
Pandangan
Hassan Hanafi Tentang Wacana Hermeneutika
Setidaknya
terdapat tiga dimensi pokok dalam wacana proyek besar Hassan Hanafi;
1.
Pengujian
kembali atas Turast al Islami (warisan atau tradisi Islam) dalam
hubungannya dengan tajdid (pembaharuan)
2.
Transformasi
dan perumusan ( teologi revolusioner Islam) melalui proses minal aqidah ila
at tsaurah (dari akidah kepada revolusi)
3.
Perumusan
analisis menyeluruh dan komprehensif tentang warisan dan intelektual barat dari
perspektif non barat yang pada gilirannya dapat menghasilkn pengertian yang
lebih baik tentang hubungan antara Islam, Barat dan modernitas. Inilah kemudian
yang menghasilkan ilm al istighrab (oksidentalism) yang merupakan
alternatif dari orientalisme.
Hassan
Hanafi menggunakan perspektif yang menggabungkan antara tafsir dan takwil al
Quran dengan pendekatan-pendekatan kontemporer dalam analisisis-analisis filosofis.
Hanafi juga merumuskan hubungan atau penggabungan antara warisan/tradisi Islam
dengan modernitas karena hubungan yang tepat antara keduanya sangat krusial.
Menurut Hanafi, warisan dan tradisi Islam seharusnya tidak dipandang sebagai
sesuatu yang sudah jadi, melainkan sebagai sesuatu yang terus berkembang dalam
proses “menjadi”. Singkatnya otentitas tanpa modernitas hanya akan membawa pada
radikalisme yang pada gilirannya akan membawa Islam dan kaum muslimin semakin
dekat dengan ketertinggalan.
Hanafi
menyatakan bahwa hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode
pemahaman tetapi lebih dari itu adalah
aksi. Dalam kaitannya dengan al Quran hermeneutika adalah ilmu tentang proses
wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis dan juga
transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. Dalam bahasa
fenomenologis, hermeneutika ini dikatakan sebagai ilmu yang menentukan hubungan
antara kesadaran manusia dengan objeknya, dalam hal ini teks al Quran
memiliki kesadaran historis yang
menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya, kemudian al Quran memiliki
kesadaran eiditik yang menjelaskan makna
teks dan menjadikannya rasional, kemudian al Quran memiliki kesadaran praksis yang menggunakan
makna-makna tersebut sebagai sumber
teoritis bagi tindakan dan mengantarkan
wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia dan di dunia ini sebagai struktur
ideal yang mewujudkan kesempurnaan dunia.
Secara
lebih luas, hermeneutika Hassan Hanafi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama,
kritik historis, untuk menjamin keaslian
teks suci. Menurut Hassan Hanafi keaslian teks suci tidak ditentukan oleh
pemuka agama, lembaga sejarah, keyakinan. Keaslian teks suci hanya bisa dijamin
oleh kritik sejarah, dan kritik sejarah ini harus didasarkan aturan
objektivitasnya sendiri yang bebas dari intervensi teologis, filosofis, mistis
atau bahkan fenomenologis. Untuk menjamin keaslian sebuah teks suci, mengikuti
prnsip-prinsip kritik sejarah, Hanafi memakai aturan-aturan sebagai berikut;
(1) teks tersebut tidak ditulis setelah melewati masa pengalihan secara lisan
tetapi harus ditulis pada saat pengucapannya dan ditulis secara in verbatim
( persis sama dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali). Karena itu, narator
harus orang yang hidup pada zaman yang sama dengan saat dituliskannya
kejadian-kejadian tersebut dalam teks. (2) adanya keutuhan teks. Semua yang
disampaikan oleh narator atau nabi harus disimpan dalam bentuk tulisan, tanpa
ada yang kurang atau berlebih. (3) nabi atau malaikat yang menyampaikan teks
harus bersikap netral, hanya sekedar sebagai alat komunikasi murni dari Tuhan
secara in verbatim kepada manusia, tanpa campur tangan sedikitpun baik
menyangkut bahasa maupun isi gagasan yang ada di dalamnya. Istilah-istilah dan
arti yang ada di dalamnya bersifat ketuhanan yang sinonim dengan bahasa
manusia. Teks akan in verbatim jika tidak melewati masa peralihan lisan
dan jika nabi hanya sekedar merupakan alat komunikasi. Jika tidak, teks tidak
lagi in verbatim, Karena banyak kata yang hilang dan berubah, meski
makna dan maksudnya tetap dipertahankan.
Kedua, proses pemahaman terhadap teks. Sebagaimana yang terjadi pada
tahap kritik sejarah, dalam pandangan Hanafi pemahaman terhadap teks bukan
monopoli atau wewenang suatu lembaga atau agama, bukan wewenang dewan pakar
atau lembaga-lembaga tertentu melainkan dilakukan atas aturan-aturan tata
bahasa dan situasi kesejarahan yang menyebabkan munculnya teks.
Dalam
proses pemahaman teks ini, Hanafi mempersyaratkan (1) penafsir harus melepaskan
diri dari dogma atau pemahaman-pemahaman yang ada. Tidak boleh ada keyakinan
atau bentuk apapun sebelum menganalisa
linguistis terhadap teks dan pencarian arti-arti. (2) setiap fase dalam teks, mengingat bahwa teks
suci turun secara bertahap dan
mengalami perkembangan, harus dipahami
sebagai suatu keseluruhan yang berdiri sendiri. Masing-masing harus dipahami
dan dimengerti dalam kesatuannya, dalam keutuhannya dan dalam intisarinya.
Ketiga, kritik praksis. Menurut Hanafi, kebenaran teoritis tidak bisa
diperoleh dengan argumentasi tertentu melainkan dari kemampuannya untuk menjadi
sebuah motivasi bagi tindakan . sebuah dogma akan diakui sebagai sistem ideal
jika tampak di dalam tindakan manusia. Begitu pula hasil tafsiran, akan
dianggap positif dan bermakna jika dapat dikenali dalam kehidupan, bukan atas
dasar fakta-fakta material. Karena itu, pada tahap terakhir dari proses
Hermeneutika ini, yang penting adalah bagaimana hasil penafsiran ini bisa
diaplikasikan dalam kehidupan manusia, bisa memberi motivasi pada kemajuan dan
kesempurnaan hidup manusia. Tanpa keberhasilan tahap ketiga ini, betapapun
hebatnya hasil interpretasi tidak ada maknanya. Sebab disnilah memang tujuan
akhir dari diturunkannya teks suci
(Hanafi Hassana, 1994: 5-8).
Analisis
Penulis
Sebagaimana
yang diketahui bersama bahwa ada tiga bentuk hermeneutika yang lahir pada periode
kontemporer sebagai penyempurna ilmu tafsir. Pertama, hermeneutika
objektif yang berusaha memahami makna asal dengan cara mengajak kembali ke masa
lalu. Kedua, hermeneutika subjektif yang memahami makna dalam konteks
kekinian dengan menepikan masa lalu. Ketiga, hermeneutika pembebasan
dengan menggabungkan bentuk pertama dan kedua yang memahami makna asal dalam
konteks kekinian tanpa menghilangkan masa lalu dan yang terpenting adalah
pemahaman tersebut tidak sekedar berkutat dalam wacana melainkan benar-benar
mampu menggerakkan sebuah aksi dan perubahan sosial.
Dari
pemaparan Hanafi, terlihat dalam kajiannya bahwa hermeneutika Hanafi cenderung
ke dalam bentuk yang ketiga, yaitu hermeneutika subjektivis qua objektivis
artinya ia mencoba menjembatani antara penafsiran terhadap al Quran dengan
memhami makna asal dengan cara mengajak kembali ke masa lalu dan memahami makna
dalam teks kekinian dengan menepikan masa lalu. Sebagaimana penafsirannya
terhadap makna Islam, yaitu protes, oposisi dan revolusi. Baginya Islam
memiliki makna ganda, pertama Islam sebagai ketundukan yang diberlakukan oleh
kekuatan politik kelas atas. Kedua Islam sebagai revolusi yang diberlakukan
oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk
mempertahankan status quo suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai
tunduk, sedangkan jika untuk memulai seuatu perubahan sosial politik melawan
status quo maka harus ditafsirkannya Islam sebagai pergolakan.
Kesimpulan
Hanafi
menggunakan Hermeneutika pembebasanuntuk menginterpretasikan kembali kalam
Tuhan supaya bermakna dalam menyelesaikan problematika kehidupan manusia. Oleh karena itu, perlunya
diadakan rekontruksi terhadap teologi agar lebih bermakna. Hanafi juga
menegaskan bahwa rekontruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya
tradisi-tradisi lama. Rekontruksi teologi dimaksudkan untuk mengonfrontasikan
ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang
terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih
banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang.
Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri
atas konsep-konsep dan argumen-argumen antara individu-individu, melainkan
dialektika berbagai masyarakat dan
bangsa antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan.
No comments:
Post a Comment